Kalender Islam dan Kalender Jawa, Produk Budaya yang Kian Terpinggirkan

- Editor

Selasa, 25 Agustus 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kalender Islam dan kalender Jawa adalah sistem penanggalan yang disusun berdasarkan pergerakan Bulan (”moon”). Meski demikian, keduanya punya konsep dan aturan berbeda, termasuk dalam penentuan awal bulannya (”month”).

Tahun ini, Tahun Baru Islam dan Tahun Baru Jawa kembali berlangsung bersamaan. Tanggal 1 Muharam 1442 Hijriah dan 1 Sura 1954 (Jimakir) Jawa jatuh bertepatan dengan Rabu (19/8/2020) selepas matahari terbenam hingga Kamis (20/8/2020) sebelum matahari tenggelam.

Namun, pandemi Covid-19 membuat perayaan Tahun Baru Islam kali ini tak semeriah tahun-tahun sebelumnya. Pawai obor ataupun arak-arakan yang sering dijumpai saat menyambut Tahun Baru Hijriah, kali ini sulit ditemui.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Demikian pula perayaan penyambutan Tahun Baru Jawa. Upacara Mubeng Benteng di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Kirab 1 Sura di Keraton Kasunanan Surakarta juga ditiadakan. Masyarakat Kejawen yang akan melakukan ritual di sejumlah tempat pun tidak bisa melakukannya akibat pembatasan yang masih dilakukan di sejumlah daerah.

Kalender Islam dan kalender Jawa adalah sistem penanggalan yang disusun berdasarkan pergerakan Bulan (moon). Meski demikian, keduanya memiliki konsep dan aturan berbeda, termasuk dalam penentuan awal bulannya (month). Walau kedua sistem kalender itu sama-sama menggunakan fase Bulan baru sebagai patokan untuk menentukan awal bulannya, awal bulan pada kedua kalender itu sering kali tidak bersamaan.

Perbedaan awal bulan itu di antaranya pernah terjadi dalam perayaan Tahun Baru Islam dan Tahun Baru Jawa pada tahun 2017 Masehi. Saat itu, tahun 1439 Hijriah jatuh sehari lebih awal dibandingkan dengan tahun 1951 (Dal) Jawa. Kondisi serupa terjadi lagi pada 2018 ketika tahun 1440 H datang sehari lebih cepat daripada Tahun Baru Jawa 1952 (Be).

Beda awal bulan dalam kalender Islam dan Jawa juga sering terjadi dalam penentuan hari raya Idul Fitri atau Lebaran, seperti yang terjadi pada 2016. Bulan puasa Ramadhan dalam kalender Jawa yang disebut sebagai bulan Pasa selalu berlangsung 30 hari, sedangkan bulan Ramadhan dalam kalender Islam bisa terjadi 29 hari atau 30 hari.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO—-Kirab malam satu suro di Keraton Surakarta tahun 2009.

Walau demikian, masyarakat umumnya menganggap sistem kalender Islam dan kalender Jawa itu sama. Kekeliruan tersebut umumnya terlihat dari tumpang tindihnya penyebutan keduanya, seperti penyebutan Tahun Baru Islam tanggal 1 Sura. Terbatasnya penggunaan kalender Islam, apalagi kalender Jawa, membuat produk budaya itu makin tersisih dari kehidupan masyarakat.

Astronomis vs matematis
Sistem penanggalan Hijriah berakar dari sistem kalender yang digunakan masyarakat Arab pra-Islam. Kebutuhan untuk memiliki sistem penanggalan yang bisa digunakan untuk keperluan administrasi sipil dan pemerintah membuat Khalifah Umar bin Khattab menjadikan kalender masyarakat Arab itu sebagai kalender Islam.

Epoch atau titik awal tahun dari kalender Islam itu ditentukan berdasarkan hijrah atau berpindahnya Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya dari Mekkah ke Madinah pada tahun 622 M. Dengan demikian, seperti dikutip Kompas, 22 September 2017, tanggal 1 Muharam 1 H bertepatan dengan 16 Juli 622 M.

Dalam kalender Islam, panjang atau jumlah hari dalam satu bulannya ditentukan berdasarkan fase penampakan atau fase sinodis Bulan, yaitu dari Bulan mati ke Bulan mati berikutnya. Panjang rata-rata satu fase sinodis Bulan itu adalah 29,5 hari. Akibatnya, jumlah hari dalam satu bulan kalender Islam hanya ada dua jenis, yaitu 29 hari atau 30 hari. Tidak ada bulan yang jumlah harinya 28 hari atau 31 hari seperti dalam kalender Masehi.

Sementara itu, panjang satu tahun dalam kalender Islam juga terdiri atas 12 bulan, sama seperti kalender Masehi. Dengan demikian, panjang satu tahun dalam kalender Islam 354-355 hari, lebih pendek 11 hari daripada panjang tahun dalam kalender Masehi. Sebagai perbandingan, sejumlah kalender yang menggabungkan sistem penghitungan Bulan dan Matahari, seperti kalender China, jumlah bulannya dalam satu tahun bisa mencapai 13 bulan pada saat tahun kabisat.

Tanggal 1 pada setiap bulan dalam kalender Islam ditentukan berdasarkan penampakan hilal atau Bulan sabit tipis yang pertama kali terlihat sesudah terjadinya konjungsi pada saat setelah Matahari terbenam atau berdasarkan kemungkinan terlihatnya hilal. Proses penentuan awal bulan tersebut menjadikan kalender Islam sebagai sistem penanggalan astronomis atau didasarkan pada terlihatnya obyek astronomi. Metode ini sekaligus menjadikan kalender Islam sebagai satu-satunya kalender astronomis.

Meski demikian, kalender Islam pernah menjadi sistem penanggalan matematis yang penentuan panjang pendek bulannya ditentukan berdasarkan pola matematika tertentu. Model matematis ini menjadikan kalender Islam lebih mudah diprediksi dan memiliki kepastian tinggi hingga bisa digunakan untuk kepentingan administrasi publik.

Namun, selama beberapa dekade terakhir, kalender Islam kembali mengarah ke kalender astronomis. Situasi inilah yang membuat umat Islam selalu bertanya-tanya apakah Bulan (hilal) sudah bisa dilihat atau belum ketika memasuki bulan Ramadhan atau Syawal. Kondisi itu pula yang membuat kalender Islam relatif sulit dijadikan acuan untuk pencatatan atau perencanaan.

KOMPAS/KOMPAS—-Sistem kalender Islam

Walaupun dalam kalender yang beredar di Indonesia umumnya sudah menyertakan kalender Islam yang ditulis dalam angka-angka kecil, masyarakat belum menjadikannya sebagai patokan untuk berkegiatan sehari-hari. Dalam lingkup kecil, kalender Islam ini umumnya digunakan di lingkungan pesantren, masjid, atau kegiatan umat Islam lainnya.

Untuk pencatatan sipil, Arab Saudi tercatat sebagai negara terakhir yang menggunakan kalender Islam untuk ketentuan penggajian pegawai negerinya. Namun, pada 2016, negara itu beralih menggunakan kalender Masehi karena bisa menghemat anggaran cukup besar karena panjang kalender Masehi 11 hari lebih lama daripada kalender Islam. Sama seperti di Indonesia, kalender Hijriah tetap digunakan untuk keperluan keagamaan atau kepentingan lokal lainnya.

Sementara itu, kalender Jawa adalah kalender matematis. Awal bulannya juga ditentukan berdasarkan penghitungan awal periode sinodis Bulan. Namun, jumlah hari dalam setiap bulannya sudah dipatok. Panjang hari pada bulan ganjil (bulan 1, 3, 5, dan seterusnya… atau bulan Sura, Mulud, Jumadilawal, dan seterusnya…) adalah 30 hari, sedangkan pada bulan-bulan genap (bulan 2, 4, 6, dan seterusnya… atau bulan Sapar, Bakdamulud, Jumadil Akir…) panjangnya 29 hari. Aturan ini membuat bulan Pasa yang merupakan bulan kesembilan panjangnya selalu 30 hari.

”Sifat kalender Jawa yang matematis membuat kalender ini tak mengalami perdebatan seperti kalender Islam,” kata pendiri observatorium mini Imah Noong, Lembang, Jawa Barat, yang kini juga menjadi Wakil Ketua Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama Hendro Setyanto (Kompas, 12 September 2018).

Kalender Jawa merupakan penggabungan antara sistem dalam kalender Islam, kalender Saka Hindu, dan konsep-konsep penanggalan khas Jawa. H Djanudji dalam Penanggalan Jawa 120 Tahun Kurup Asapon (2006) menyebut kalender ini mulai digunakan pada 1 Muharam 1043 H atau 8 Juli 1633 M yang bertetapan dengan tahun 1555 Saka, di zaman berkuasanya Sultan Agung Hanyakrakusuma sebagai Raja Mataram.

Kalender Jawa itu dibuat untuk menyatukan sejumlah penanggalan yang digunakan masyarakat Jawa pada masa itu, yaitu kalender Saka digunakan kaum kejawen dan kalender Hijriah digunakan kaum santri.

Dalam kalender Jawa, penentuan hari dan bulan diserap dari aturan dalam kalender Islam walau tidak digunakan mentah-mentah. Pengucapan hari atau bulan itu sudah disesuaikan dengan lidah orang Jawa atau nama bulannya dipaskan dengan budaya masyarakat Jawa. Namun, angka tahun kalender Jawa diambil dengan mempertahankan angka tahun kalender Saka sehingga awal kalender Jawa adalah 1 Sura 1555 Jawa, bukan 1 Sura 1 Jawa.

Namun, kalender Jawa memiliki fitur-fitur unik yang tidak ada dalam kalender Islam ataupun kalender Saka. Untuk konsep hari, kalender Jawa memiliki dua sistem, yaitu saptawara atau siklus mingguan (minggon) sebanyak tujuh hari dan pancawara atau siklus hari pasaran yang terdiri atas lima hari. Konsep hari pasaran ini lebih tua keberadaannya dibandingkan dengan siklus mingguan.

Untuk nama hari dalam siklus mingguan, kalender Jawa menyerap penamaan hari dari kalender Islam, yaitu Ahad, Itsnain, Tsalatsa, dan seterusnya menjadi Akad, Senen, Selasa, dan seterusnya. Penamaan hari dalam kalender Islam itu bermakna urutan hari, yaitu Ahad artinya hari pertama, Itsnain bermakna hari kedua, dan seterusnya. Sementara penyebutan hari dalam kalender Saka didasarkan atas penyebutan nama-nama benda langit, sama seperti dalam kalender Masehi.

Untuk penyebutan hari dalam siklus hari pasaran, nama yang digunakan adalah Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi. Nama-nama ini diambil dari kisah mitologi Resi Raddhi dan Empu Sengkala yang menciptakan pancawara.

Masyarakat Jawa umumnya menyebut hari dengan menggabungkan antara konsep saptawara dan pancawara secara bersamaan, seperti pada perayaan 1 Sura 1954 (Jimakir) kemarin yang jatuh pada hari Kemis Pon. Penggabungan penyebutan hari itu banyak digunakan untuk keperluan astrologi Jawa, seperti meramal nasib, memprediksi karakter, atau menentukan hari baik untuk acara tertentu pada orang tertentu pula. Namun kini, pancawara sudah jarang digunakan anak muda.

Fitur unik lain dalam kalender Jawa adalah aturan windu atau siklus delapan tahunan. Urutan nama dalam siklus windu ini menggunakan huruf Arab dengan penyebutan lidah Jawa, yaitu mulai dari Alip untuk menyebut tahun pertama, Ehe bagi tahun kedua, hingga Jimakir untuk menyebut tahun kedelapan.

Dalam penyebutan tahun Jawa, urutan windu selalu disebutkan di belakang angka tahun sehingga orang langsung tahu sedang berada dalam siklus windu keberapa, seperti tahun 1954 (Jimakir) Jawa atau terkadang ditulis tahun Jimakir 1954, menunjukkan tahun 1954 itu merupakan tahun terakhir dalam siklus windu saat ini.

Penyebutan urutan tahun windu juga memudahkan dalam penentuan tahun kabisat dalam kalender Jawa. Dalam satu windu terdapat tiga tahun kabisat, yaitu tahun Ehe (tahun kedua), tahun Dal (tahun kelima), dan tahun Jimakir (kedelapan).

Dalam tahun kabisat Jawa, jumlah hari dalam satu tahun menjadi 355 hari, beda dengan jumlah hari dalam tahun basit (tahun biasa) yang hanya 354 hari. Tambahan satu hari itu akan diletakkan pada bulan ke-12 atau bulan Besar. Dalam tahun basit, bulan ke-12 seharusnya memiliki panjang 29 hari karena merupakan bulan dengan angka genap. Namun, karena tahun kabisat, maka jumlah hari di bulan Besar menjadi 30 hari.

Karena ada tiga tahun kabisat dalam satu windu, maka panjang rata-rata satu tahun dalam kalender Jawa adalah 354 3/8 hari. Sementara panjang rata-rata satu tahun dalam kalender Islam yang jadi acuan kalender Jawa adalah 354 11/30 hari. Saat kalender Islam ditetapkan secara matematis, dalam 30 tahun terdapat 11 tahun hari kabisat.

Perbedaan itu membuat dalam 120 tahun, kalender Jawa akan kelebihan satu hari dibandingkan dengan kalender Islam. Jika dibiarkan, situasi itu akan membuat tahun Islam akan terus maju dibandingkan dengan tahun Jawa hingga perbedaannya akan makin besar seiring waktu.

Kondisi ini baru diketahui 72 tahun setelah kalender Jawa berjalan hingga diperlukan adanya koreksi. Perbaikan yang dilakukan adalah pada tahun ke-120 atau tahun kedelapan (Jimakir) pada windu ke-15 yang seharusnya merupakan tahun kabisat, dibuat tetap menjadi tahun basit. Penyesuaian itu akan membuat Tahun Baru Jawa akan tetap selaras dengan tahun Islam yang menjadi acuannya.

Siklus 120 tahun itu disebut kurup. Pola kurup ini akan membuat Tahun Baru Jawa pada 120 tahun ke depan akan jatuh satu hari lebih awal, baik dalam saptawara atau pancawara, dibandingkan dengan hari dan pasaran tahun baru saat ini.

Kasunanan Surakarta menetapkan 1 Sura 1627 (Alip), atau 72 tahun setelah pelaksanaan kalender Jawa, jatuh pada Kamis Kliwon. Akibatnya, pada 120 tahun kemudian atau 1 Sura 1747 (Alip) akan jatuh pada Rabu Wage. Indikator Alip, Rabu, dan Wage itulah yang kemudian disingkat Aboge. Kurup Aboge ini berlangsung dari 1 Sura 1747 (Alip) hingga 29 Besar 1866 (Jimakir).

KOMPAS—Sistem Kalender Jawa

Pada 1 Sura 1867 (Alip) yang jatuh pada Selasa Pon, kalender Jawa memasuki kurup baru yang dinamakan kurup Asapon (Alip, Selasa, Pon). Kurup Asapon ini akan berakhir pada 29 Besar 1986 (Jimakir). Kurup Asapon itulah yang saat ini berlaku, yaitu antara 24 Maret 1936 M dan 25 Agustus 2052 M.

Namun, nyatanya, sebagian masyarakat Jawa masih menggunakan kurup Aboge. Melemahnya peran keraton atau wilayah yang jauh dari jangkauan keraton membuat pembaruan kalender Jawa itu belum diterima masyarakat. Karena masih menggunakan pola perhitungan lama itulah yang membuat masyarakat pengguna kalender Aboge sering mengawali Ramadhan atau Idul Fitri lebih awal satu atau dua hari daripada masyarakat umum, baik yang menggunakan kalender Jawa kurup Asapon maupun kalender Islam yang ditetapkan pemerintah.

Terpinggirkan
Kalender Jawa sebenarnya memiliki sistem yang cukup mapan. Sistem kalender matematis yang digunakan membuat kalender ini relatif tidak menimbulkan pro dan kontra. Namun, melemahnya otoritas keraton sebagai penjaga kalender Jawa dan mulai ditinggalkannya tradisi akibat komodernan masyarakat membuat kalender ini makin jarang digunakan.

”Walau ada pro dan kontra atau kritik, sebuah kalender harus digunakan. Jika tidak dimanfaatkan, kalender itu akan hilang,” kata ahli kalender yang juga dosen Astronomi Institut Teknologi Bandung, Moedji Raharto (Kompas, 6 November 2014).

Situasi berbeda dialami kalender Islam. Sistem kalender ini belum mapan yang terlihat dari banyaknya kriteria penentuan awal bulan yang digunakan, termasuk di Indonesia. Namun, pengguna kalender Islam cukup banyak, yaitu sekitar 1,8 miliar jiwa di seluruh dunia walau mereka umumnya menggunakannya saat menyambut Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha saja.

Meski tidak ada otoritas tunggal penjaga sistem kalender Islam, ilmuwan Islam, organisasi Islam, ataupun pemerintah negara-negara berpenduduk Muslim umumnya cukup peduli untuk menjaga dan melestarikan kalender ini.

Kondisi kalender Jawa lebih memprihatinkan dibandingkan dengan kalender Islam. Meski sistemnya mapan dan ada otoritas keraton sebagai penjaganya meski perannya melemah, penggunanya relatif lebih sedikit. Populasi orang Jawa diperkirakan mencapai 100 juta jiwa lebih. Walau demikian, nasib kalender Jawa masih jauh lebih baik darpada kalender suku-suku lain di Nusantara yang terancam punah.

Jarang digunakannya kalender Islam, apalagi kalender Jawa, membuat sering muncul kerancuan dalam penggunaannya. Kebingungan yang paling sering terjadi, antara lain, dalam penentuan selamatan atas kematian seseorang.

Dalam budaya masyarakat Jawa dan sebagian umat Islam, peringatan kematian seseorang merupakan tradisi penting. Kegiatan itu dilaksanakan sejak hari pertama kematian, hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1.000. Ada pula yang mengirimkan doa selama tujuh hari berturut-turut sejak hari pertama kematian seseorang pada peringatan kematian pada tahun pertama, kedua, dan seterusnya.

Dalam kalender Jawa dan Islam, pergantian hari terjadi saat maghrib atau matahari terbenam. Pergantian hari tidak terjadi pada pukul 00.00, seperti dalam kalender Masehi. Artinya, jika seseorang meninggal pada pukul 15.00, maka selepas maghrib berarti sudah memasuki hari kedua dan esok malamnya adalah peringatan hari ketiga. Kurang dipahaminya aturan kalender Islam atau Jawa tersebut membuat sebagian masyarakat, khususnya di perkotaan saat ini, menggunakan patokan perhitungan kalender Masehi untuk memperingati kematian seseorang.

Pergantian hari saat matahari terbenam dalam kalender Islam dan Jawa itu juga memunculkan istilah yang unik dalam penyebutan waktu di Indonesia. Sejak dulu, masyarakat lebih suka menyebut malam Jumat atau malam Minggu untuk menunjuk Kamis malam atau Sabtu malam seperti di negara-negara lain.

Selain itu, dalam kalender Islam atau Jawa, hari pertama adalah Ahad atau Akad atau disebut juga Minggu. Karena itu, dalam sistem kalender Indonesia, hari Minggu selalu diletakkan pada sisi paling kiri atau pertama dalam kalender. Sementara di posisi paling kanan kalender adalah hari Sabtu sebagai hari terakhir dalam siklus mingguan.

Kondisi itu berbeda dengan kalender di negara-negara Barat yang meletakkan hari Senin pada posisi pertama atau paling kiri dalam deretan tanggal pada kalender. Sedangkan hari Minggu diletakkan paling kanan atau hari ketujuh dalam seminggu. Kultur inilah yang membuat tampilan deretan tanggal di kalender Indonesia sedikit berbeda dengan di negara Barat.

Namun, semua keunikan itu, baik yang ada dalam kalender Jawa maupun kalender Islam, tidak akan berguna jika kalender tidak digunakan. Sistem kalender Jawa, apalagi kalender Islam, memang belum sempurna. Namun, kondisi itu seharusnya tak menghalangi untuk terus menggunakan kalender tersebut.

Kalender Masehi yang kini digunakan sebagai acuan sistem penanggalan global pun sejatinya harus melalui sejarah panjang ribuan tahun sejak sebelum Masehi hingga akhirnya memiliki sistem yang ajek seperti sekarang dan bisa diterima sebagai kalender global. Namun, kalender Masehi pun belum sempurna karena masih memiliki peluang kesalahan.

Koreksi besar-besaran dan terakhir kali pada kalender Masehi terjadi pada tahun 1582. Saat itu, diperkenalkan aturan baru penghitungan tahun kabisat, yaitu tahun yang habis dibagi empat dan habis dibagi 400 untuk tahun yang merupakan kelipatan angka 100. Ketentuan ini membuat tahun 1800,1900, dan 2100 tidak termasuk tahun kabisat.

Selain aturan tahun kabisat, Paus Gregorius XIII sebagai pemegang otoritas pengaturan kalender Masehi juga memotong 10 hari kalender, antara 5 dan 14 Oktober 1582. Artinya, setelah 4 Oktober 1582 adalah 15 Oktober 1582. Aturan baru kabisat dan pemotongan tanggal itu dilakukan agar titik musim semi jatuh di waktu yang hampir sama setiap tahunnya, yaitu ketika matahari ada di arah titik Aries, pada 19-21 Maret.

Meski demikian, seperti dikutip Kompas, 29 Februari 2012, kalender Masehi masih memiliki peluang kesalahan tiga hari dalam 10.000 tahun. Kesalahan kecil ini mungkin baru akan dirasakan umat manusia yang hidup dalam beberapa milenium ke depan. Kepastian yang ada dalam sistem kalender Masehi membuat kalender ini tetap digunakan meski mengandung potensi kesalahan jauh di masa depan.

Oleh Mohammad Zaid Wahyudi, Wartawan

Editor: ICHWAN SUSANTO

Sumber: Kompas, 24 Agustus 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 23 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB