Pemerintah dalam sidang isbat atau penetapan di Kementerian Agama, Jakarta, Selasa (16/6) malam, menetapkan 1 Ramadhan 1436 Hijriah jatuh pada Kamis, 18 Juni. Semua organisasi massa Islam sepakat dengan hal itu. Namun, penetapan Idul Fitri 1 Syawal akan ada potensi berbeda dan Idul Adha 10 Zulhijah nanti dipastikan berbeda.
Kesamaan penetapan awal Ramadhan kali ini ditentukan oleh posisi Bulan. Saat Matahari terbenam pada Selasa (16/6), ijtimak atau konjungsi yang menandai dimulainya periode bulan baru dalam penanggalan hijriah belum terjadi. Ijtimak yang secara sederhana diartikan sebagai kesegarisan posisi Matahari-Bulan dan Bumi terjadi pukul 21.05 WIB.
Selasa kemarin, ijtimak terjadi sesudah Matahari terbenam. Konsekuensinya, secara perhitungan (hisab) hilal tak mungkin terbentuk (wujud), apalagi bisa diamati (rukyat). Hilal adalah Bulan sabit muda yang tampak sesaat setelah Matahari terbenam setelah terjadi ijtimak. Namun, ada pula ormas yang mendefinisikan hilal sebagai Bulan sabit muda yang terbentuk sesudah terjadi ijtimak, tak harus terlihat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Karena hilal tak mungkin terbentuk atau teramati, bulan Syakban atau bulan kedelapan dalam kalender hijriah dibulatkan jadi 30 hari. Jadi, Ramadhan dimulai Kamis esok.
Dalam sistem penanggalan Bulan, satu bulan terdiri atas 29 hari atau 30 hari. Karena itu, andai Rabu petang nanti hilal tak bisa diamati karena tertutup awan atau hujan, Ramadhan tetap dimulai Kamis sebab tak mungkin satu bulan dalam kalender hijriah ada 31 hari.
Sesuai data Proyek Pengamatan Hilal Global (ICOP), 18 Juni juga ditetapkan sebagai 1 Ramadhan di Jepang, Turki, Malaysia, dan Amerika Serikat.
Meski tak lagi menentukan, tim pengamat hilal dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bersama staf Kementerian Agama akan tetap mengamati hilal di 16 lokasi di Indonesia. “Itu untuk mendapat data bentuk, posisi, dan waktu hilal teramati serta faktor lain yang memengaruhi keteramatan hilal,” kata peneliti hilal di Pusat Seismologi Teknik, Geofisika Potensial dan Tanda Waktu BMKG, Rukman Nugraha.
Potensi perbedaan
Meski Ramadhan dimulai bersamaan, ada potensi Idul Fitri akan berbeda. Perbedaan itu terjadi karena kriteria tentang awal bulan dalam kalender hijriah di Indonesia belum disepakati. Setidaknya ada tiga kriteria besar yang dipakai di Indonesia, yakni kriteria wujudul hilal, imkannur rukyat MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura), dan imkannur rukyat Lapan (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional).
Berbeda dengan awal Ramadhan, posisi hilal bulan Syawal nanti tak memenuhi tiga kriteria yang ada. Kondisi itu yang bisa menimbulkan perbedaan.
Ijtimak Syawal terjadi pada Kamis 16 Juli pukul 08.24 WIB. Bagi ormas yang memakai kriteria wujudul hilal, Idul Fitri akan jatuh pada Jumat 17 Juli.
Bagi yang memakai kriteria imkannur rukyat MABIMS, sesuai kriteria yang dipakai, Idul Fitri jatuh pada 17 Juli karena ketinggian hilal di wilayah Indonesia barat 2-3 derajat. Namun, secara astronomis, posisi hilal sulit diamati sehingga ada potensi hilal gagal teramati. Jika hilal tak bisa diamati, Idul Fitri akan jatuh pada Sabtu 18 Juli.
Jika itu terjadi, pemerintah dan ormas yang memakai kriteria imkannur rukyat MABIMS perlu mengoreksi kalendernya. Kasus seperti itu pernah terjadi pada Idul Fitri 2011 yang membingungkan masyarakat.
Kepala Lapan yang juga anggota Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama Thomas Djamaluddin mengatakan, secara astronomi, hilal pada 16 Juli sulit diamati. Namun, jika ada kesaksian hilal teramati di kawasan Indonesia barat, kesaksian itu akan diterima karena sesuai kriteria MABIMS. “Kalau ada kesaksian melihat hilal dari Indonesia timur, pasti akan ditolak karena ketinggian hilal di sana kurang dari 2 derajat,” ucapnya.
Sementara ormas yang memakai kriteria imkannur rukyat Lapan dalam surat edarannya menyatakan akan ber-Idul Fitri pada 18 Juli. Namun, mereka akan menerima keputusan Idul Fitri pada 17 Juli jika ada laporan melihat hilal di lebih dari satu lokasi yang dibuktikan lewat citra visual.
Thomas menyarankan ormas yang memakai kriteria imkannur rukyat Lapan untuk mengikuti keputusan pemerintah dalam penetapan Idul Fitri. Itu jadi langkah awal mewujudkan kalender Islam yang mapan yang salah satu syaratnya ada otoritas tunggal yang diakui.
Untuk Idul Adha 10 Zulhijah 1436, dipastikan akan ada perbedaan. Ormas yang memakai kriteria wujudul hilal akan ber-Idul Adha pada Rabu 23 September dan yang memakai kriteria imkannur rukyat MABIMS dan Lapan akan ber-Idul Adha, Kamis 24 September.
Kalender tunggal
Menyikapi ada potensi perbedaan Idul Fitri dan perbedaan Idul Adha, Thomas mengajak umat Islam bercita-cita besar punya kalender Islam yang mapan, yang tak hanya untuk keperluan ibadah, tetapi juga untuk keperluan administrasi sipil.
Menurut pengalaman kalender Masehi, syarat mewujudkan kalender tunggal Islam ialah ada otoritas tunggal yang menjaga, kriteria yang disepakati bersama, dan batas wilayah jelas.
Di Indonesia, ada batas wilayah yang disepakati. Untuk kriteria awal bulan, ada perbedaan yang terus didialogkan untuk disatukan. Namun, untuk syarat otoritas penjaga sistem kalender, masyarakat dan ormas belum sepakat. Pemerintah belum sepenuhnya diakui sebagai otoritas tunggal penjaga sistem kalender.
“Jika kesepakatan kalender tunggal umat Islam Indonesia bisa dicapai, lebih mudah mengembangkan kalender itu di tingkat regional ASEAN dan internasional,” ujarnya.–M ZAID WAHYUDI
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Juni 2015, di halaman 14 dengan judul “Hari Raya Bisa Jadi Berbeda”.