Manusia tampaknya masih saja menyepelekan mikroba meski kenyataan menunjukkan bahwa mikroba sudah banyak menang.
Laurie Garrett, ”The Coming Plague”, 1994
Hari-hari ini, dunia kembali dikhawatirkan dengan merebaknya ebola di kawasan Afrika Barat. Berawal Desember 2013 dan sempat menurun April 2014, kasus ebola meningkat lagi Juli dan belum menunjukkan tanda-tanda mereda hingga sekarang. Di Guinea, Liberia, dan Sierra Leone, korban terus berjatuhan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Persis seperti yang digambarkan Albert Camus dalam novelnya, The Plague (1960)—ketika pemerintah Oran menutup pintu gerbang kota begitu wabah sampar meluas—Pemerintah Liberia memasang garis pembatas untuk mengisolasi kawasan yang terinfeksi ebola dan melarang setiap orang untuk meninggalkan Monrovia, ibu kota negeri itu. Mayat bergelimpangan dan dibiarkan membusuk di jalanan (Time, 25/8/2014).
Untuk kesekian kali, manusia tidak berdaya menghadapi ebola. Kisah ebola berawal di Rumah Sakit Misi Yambuku di kawasan Bumba Zone, Agustus 1976. Bumba Zone berada di perbatasan utara Zaire, kini Republik Demokratik Kongo, dengan padang sabana dan hutan hujan tropis yang kaya monyet hijau, babon, simpanse, gajah, kuda nil, antelop, dan kerbau liar.
Dalam Yambuku (bab V, The Coming Plague), Garrett menulis tentang Mabalo Lokela (44), yang akhir Agustus 1976 datang ke rumah sakit minta suntikan anti malaria karena demam. Ini gejala biasa jika malarianya kambuh.
Belum seminggu, Lokela balik ke rumah sakit. Ia panas tinggi, muntah, diare, sakit kepala, dan hidungnya terus mengalirkan darah. Tak ada laboratorium di rumah sakit itu untuk membantu diagnosis. Para suster mengupayakan segala cara, tetapi selang tiga hari Lokela meninggal.
Dua minggu kemudian, kecemasan meluas. Ibu dan ibu mertua Lokela, juga bayinya, meninggal dengan gejala sama. Total 21 keluarga dan teman Lokela tertular, 18 orang meninggal. Suster Beata yang merawatnya juga meninggal.
Kecemasan berkembang menjadi kepanikan nasional ketika korban terus berdatangan. Pemerintah mengirim dua profesor dari Universitas Nasional Zaire untuk meneliti. Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) yang bermarkas di Atlanta, Amerika Serikat, dari 318 kasus yang tercatat saat itu, 280 korban meninggal. Berarti tingkat kematiannya 90 persen.
Terus merebak
Dinamai seperti nama sungai kecil di Kongo—awal virus ditemukan—ebola terus merebak di kawasan Afrika. Sepanjang 1976-2014, ebola telah menyerang 11 negara di Afrika, juga Spanyol dan AS meski strainnya berbeda.
Dengan tingkat kematian yang tinggi, yaitu 40-90 persen, dan penularan yang mudah lewat kontak langsung dengan cairan tubuh penderita, seperti ludah, darah, muntahan, air seni, dan tinja, ebola menjadi momok manusia modern saat ini.
Virus ebola termasuk famili Filoviridae. Berasal dari kata filum—bahasa Latin yang berarti benang—virus ini memang mirip benang di bawah mikroskop. Peter Piot, salah satu penemu ebola, seperti melihat kumpulan tanda tanya ”????” di mikroskop.
Menurut Garrett, kemunculan virus yang mematikan ini tak lepas dari kerusakan lingkungan masif yang mengubah ekosistem. Mulai dari pembabatan hutan, sistem pertanian yang intensif dan monokultur, hingga perubahan iklim membuat puluhan penyakit baru ditemukan.
Semua itu berpadu dengan kepadatan penduduk dan mobilitas manusia yang luar biasa terkait dengan perbaikan infrastruktur dan kemajuan transportasi. Jadi, ketika pedalaman hutan menjadi obyek wisata baru, seseorang yang tak sadar terinfeksi bisa saja membawa penyakit pulang.
Serangga yang terangkut di kargo atau monyet-monyet untuk menguji coba vaksin dan obat baru bisa saja terkontaminasi virus dan kemudian menyebarkannya ke seluruh dunia.
Seperti kasus tahun 1967 di pabrik vaksin Behring Works, virus berpindah dari monyet hijau Afrika ke petugas kandang dan penduduk kota. Virus yang juga famili Filoviridae ini kemudian dinamai marburg, kota tua di Jerman tempat pabrik berada.
Berasal dari jauh
Subtipe ebola-reston juga pernah dideteksi di pusat karantina Virginia, Pennsylvania, dan Texas (AS) tahun 1989-1990. Setelah diteliti, ebola-reston ini ternyata ditularkan oleh monyet yang didatangkan dari Filipina.
Pada orangutan Kalimantan yang sehat ternyata juga ditemukan subtipe ebola dari Afrika, ebola-reston, dan virus marburg. Penelitian ini dilakukan Universitas Airlangga bekerja sama dengan Kementerian Pertanian dan Hokkaido University, Jepang.
”Artinya, virus dari famili Filovirus, baik ebola maupun marburg, pernah ada di Indonesia,” kata CA Nidom dari Universitas Airlangga yang terlibat penelitian (Kompas, 12/9/2012).
Menurut Rene Dubos, mikrobiolog Perancis, dalam Mirage of Health, 1959, setiap organisme akan beradaptasi untuk bertahan pada setiap perubahan lingkungan. Jadi, nasib manusia menjadi taruhan karena alam akan membalas dengan cara tak terduga.
Oleh: Agnes Aristiarini
Sumber: Kompas, 11 Oktober 2014