Sejarah pembauran genetika leluhur kita dan perubahan pola makan menjadi kunci penting proses evolusi yang berpengaruh pada kesehatan manusia modern. Berbagai masalah kesehatan saat ini, seperti penyakit diabetes hingga kanker, terkait erat dengan hal ini.
Kaitan antara genetik leluhur (ancient DNA) dengan profil kesehatan manusia saat ini disampaikan empat ahli dari Australian Centre for Ancient DNA (ACAD) Universitas Adelaide dalam seminar bertema ”Human Evolution into Sahul” di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, Kamis (2/5/2019). Keempatnya adalah pendiri ACAD, Alan Cooper, serta tiga peneliti, yaitu Raymond Tobler, Joao Teixeira, serta Yassine Souilmi.
KOMPAS/AHMAD ARIF–Ahli DNA kuno dari Australian Centre for Ancient DNA (ACAD) Universitas Adelaide, Alan Cooper, mempresentasikan pentingnya mempelajari DNA kuno untuk memahami evolusi manusia modern, dalam seminar di Lembaga Eijkman, Kamis (2/5/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam presentasinya, Alan memaparkan upayanya membangun laboratorium untuk mempelajari DNA kuno di Universitas Oxford pada tahun 1995 dan kemudian membangun ACAD di Universitas Adelaide sejak tahun 2005. Jika dulu, ekstraksi DNA kuno yang berumur ribuan tahun menjadi tantangan terberat, kini secara teknis persoalan itu sudah bisa diatasi. ”Kami sudah punya sekitar 2.000 genom DNA kuno,” katanya.
Tantangan ke depan, menurut Alan, adalah analisisnya yang melibatkan big data (mahadata) dan mencari implikasi DNA kuno dengan evolusi manusia modern. Berbagai kajian membuktikan, populasi manusia modern saat ini memiliki sejarah panjang genetika di masa lalu.
Dia mencontohkan, populasi Eropa saat ini merupakan melting pot (pembauran) dari pemburu dan peramu awal dengan petani awal dari Anatolia (Turki) serta populasi semi nomadik dari stepa atau padang rumput Asia Tengah. ”Fenomena yang sama terjadi di Indonesia, yang juga pembauran banyak leluhur di masa lalu,” ungkapnya.
Yassine mengatakan, adaptasi dan mutasi genetik pada manusia banyak dipengaruhi lingkungan, patogen, dan pola makan. Perubahan kebudayaan dari berburu meramu menjadi bercocok tanam telah mengubah pola diet dari tinggi protein ke karbohidrat. Beberapa penyakit, seperti diabetes hingga kanker, diketahui terkait erat konsumsi karbohidrat tinggi glikemik dari biji-bijian.
Menurut Yassine sejarah pembauran genetik masa lalu yang jejaknya bisa dilihat dalam profil penyakit masyarakat modern saat ini, misalnya rematik, diabates, asma, dan kanker.
Kolaborasi
Raymond Tobler memaparkan sejarah penghunian Australia sejak 50.000 tahun lalu dengan menganalisis DNA dari 6.000 sampel rambut leluhur orang Aborigin yang dikumpulkan para antropolog pada periode 1920-1970-an. ”DNA kuno bisa membantu membuat pohon keluarga (genealogi) untuk semua orang di masa lalu dan kemudian bisa dihubungkan dengan geografi untuk mempelajari migrasi masa lalu,” ujarnya.
Seperti diketahui, leluhur Aborigin merupakan bagian dari kelompok migran awal yang sezaman dengan leluhur Papua. Mereka bermigrasi dari Afrika melalui bagian barat Nusantara sebelum tiba di Paparan Sahul. Populasi Papua dan Aborigin kemudian berpisah setelah berakhirnya zaman es yang memisahkan Pulau Papua dan Papua Niugini dengan Australia. ”Kita butuh informasi dari Indonesia untuk melengkapi gambaran tentang Aborigin-Australia,” katanya.
Ahli genetik yang juga Wakil Direktur Lembaga Eijkman Herawati Sudoyo Supolo mengatakan, lembaganya menandatangani kerja sama dengan ACAD untuk berkolaborasi mengungkap evolusi Papua dan Aborigin.
”Hal ini jadi penting untuk melengkapi pemahanan tentang sejarah hunian dan keberagaman populasi di Kepulauan Asia Tenggara, khususnya Indonesia,” ucapnya.
Selain itu, menurut Herawati, menjadi lebih penting lagi adalah melakukan kolaborasi untuk mempelajari dampak introgresi atau bauran gen manusia purba Denisovan terhadap manusia modern saat ini.
Menurut Joao Teixeira, Indonesia menjadi tempat terpenting untuk mempelajari evolusi manusia di dunia, terutama dengan temuan populasi di Papua dan sekitarnya yang memiliki komposisi Denisovan tertinggi di dunia. Kajian sebelumnya pada populasi di Flores menemukan jejak gen yang belum diketahui spesiesnya (unknown DNA) sehingga membuka peluang penemuan-penemuan baru. Oleh karena itu, kerja sama dengan Lembaga Eijkman diharapkan menjadi pintu penting untuk mempelajari hal ini.–AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 3 Mei 2019