Kompas edisi Jumat (26/5) melaporkan suatu persoalan pendidikan yang menarik. Sebuah laporan dari seminar ”Jurusanku Education Conference 2017”.
Persoalan penjurusan di SMA memang sesuatu yang perlu dikaji secara saksama. Penjurusan tersebut diwarisi dari sistem pendidikan Bumiputera yang diperkenalkan Pemerintah Hindia Belanda, yang memang khusus untuk orang Indonesia. Anak-anak Belanda dan keturunan Eropa lain mengikuti sistem pendidikan Eropa, yang berbeda dari yang diperuntukkan bagi anak Indonesia. Sistem persekolahan 6-3-3 (SD 6 tahun, SMP 3 tahun, SMA 3 tahun) itu pun adalah warisan dari sistem yang diciptakan pada waktu itu.
Untuk SMA, yang pada zamannya dinamakan Algemene Middelbare School (AMS), berkembang menjadi Afdeling A (Sastra), Afdeling B (Pasti-Alam), Afdeling C. Setelah Indonesia merdeka jadi SMA-A, SMA-B, dan SMA-C. Sejak awal, calon siswa sudah memilih jurusan yang dipilihnya, bukan ditentukan sekolah. Penjaluran terpisah ini masih berlaku pada awal kemerdekaan sampai masa awal Orde Baru, ketiganya digabungkan dalam satu sekolah. Pada kenyataan tidak setiap SMA memiliki ketiganya, paling banyak dua, yaitu IPA dan IPS.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Struktur yang demikian menyusahkan dan membebani orangtua, juga menyulitkan kebijakan Wajib Belajar 9 Tahun ataupun Wajib Belajar 12 Tahun. Dapat dikatakan pula bahwa sistem persekolahan Indonesia ini unik. Sebab, di banyak negara hanya dikenal sekolah dasar dalam satu organisasi mandiri dan sekolah menengah—secondary atau high school, di beberapa negara bagian AS ada middle school yang terdiri dari junior secondary (SMP) dan senior secondary (SMA)—dalam suatu manajemen terpadu.
Sistem persekolahan terpisah antara SD, SMP, dan SMA/SMKmenyusahkan orangtua karena mereka harus mendaftarkan anaknya ke SD, lalu ke SMP dan ke SMA atau SMK, baru kemudian ke perguruan tinggi (PT). Pembagian wewenang pengelolaan SMP di tingkat pemerintahan kabupaten/kota dan SMA serta SMK di tingkat pemerintahan provinsi telah menambah kesulitan tersebut karena berbagai perbedaan dalam kebijakan, seperti penerimaan siswa baru. Mungkin tidak berlebihan jika dikatakan program Wajib Belajar 9 Tahun dan 12 Tahun tidak menguntungkan warga negara, tetapi baru sebatas isu politik.
Dua kurikulum, dua pemikiran
Penjurusan di SMA sebenarnya didasarkan pada pembagian minat yang tidak berdasarkan kenyataan yang kuat. Pembagian tersebut lebih berdasarkan pada pembagian filosofi ilmu dan bukan pada teori psikologi ataupun pendidikan. Sayangnya, minat seseorang tidaklah terbagi berdasarkan pembagian disiplin ilmu.
Persoalan penjurusan itu juga menunjukkan, mereka yang berminat ke IPA tidak berminat ke ilmu-ilmu sosial atau ke bahasa dan sebaliknya. Semua mata tertutup dan pemikiran itu menjadi dasar sampai dengan Kurikulum 2006 atau Standar Isi menurut ketetapan dalam Permendikbud Nomor 22 Tahun 2006. Kurikulum 2006 masih mengembangkan struktur kurikulum berdasarkan pembagian jurusan ketat, sebagaimana struktur kurikulum SMA pada masa sebelumnya.
Kurikulum 2013 mengambil sikap yang berbeda, yaitu minat seseorang tidak sepenuhnya terkungkung oleh pengelompokan filsafat tentang disiplin ilmu. Dalam strukturnya, Kurikulum 2013 tidak menggunakan istilah jurusan, tetapi kelompok peminatan, yaitu kelompok peminatan Matematika dan IPA, IPS, Bahasa dan Budaya. Kurikulum 2013 juga memberi kesempatan bagi mereka untuk mengambil mata pelajaran di luar bidang kelompok ilmunya, siswa di kelompok IPA mengambil pilihan ke IPS atau Bahasa dan sebaliknya.
Dengan demikian, kekakuan pengelompokan sedikit teratasi. Usaha awal mengatasi masalah tradisi penjurusan itu cukup baik walaupun memang masih belum menyelesaikan seluruh permasalahan.
Penerapan pengelompokan disiplin ilmu dalam struktur kurikulum didasarkan pula oleh pandangan pendidikan esensialisme yang kuat dan berkembang bersamaan dengan pengembangan kurikulum di SMA. Dalam pandangan esensialisme, tujuan pendidikan menghasilkan manusia yang intelektual dan intelektualitas diukur berdasarkan disiplin ilmu. Untuk menghasilkan manusia yang demikian, pendidikan haruslah pendidikan disiplin ilmu dan label mata pelajaran haruslah berdasarkan nama disiplin ilmu.
Persoalan lain dari penjurusan di SMA adalah berkaitan dengan sistem penerimaan calon mahasiswa di perguruan tinggi. Sebenarnya, kebijakan membebaskan jurusan tersebut untuk mendaftar hanya bagi jurusan yang dalam kelompok disiplin keilmuan sudah mulai longgar sejakdasawarsa terakhir abad lalu, tahun 1990-an. Calon mahasiswa dari jurusan IPA boleh memilih IPS dan Bahasa. Calon mahasiswa dari IPS boleh memilih, tetapi tetap dengan keterbatasan dalam jumlah pilihan.
Pandangan bahwa kelompok ilmu-ilmu alamiah dan matematika adalah kelompok ilmu dengan derajat ilmu yang lebih tinggi dan sulit dikuasai masih menguasai pemangku kepentingan pendidikan. Masyarakat masih beranggapan masuk ke IPA lebih terhormat dibandingkan masuk ke IPS. Selain itu, teori kecerdasan lama yang diwakili oleh IQ masih dominan walaupun banyak pendidik dan pengambil kebijakan pendidikan sudah mengenal adanya kecerdasan jamak (multiple intelligences). Untuk berubah memang bukanmenyenangkan karena harus keluar dari zona aman yang sudah nyaman dilakukan selama ini.
Perubahan ke depan
Bagaimana Indonesia menatap masa depan pendidikannya, terutama dalam struktur persekolahan dan pembagian kelompok peminatan/jurusan di SMA? Tampaknya, pembenahan yang reformatif atau bahkan revolusioner diperlukan dengan suatu kebijakan baru untuk mengubah sistem persekolahan yang lebih menguntungkan masyarakat dan dunia pendidikan, serta pembenahan kelompok jurusan perlu diupayakan.
Sudah waktunya Indonesia mengubah warisan sistem tersebut menjadi lebih sederhana dan menguntungkan orangtua. SMP dan SMA sudah harus dikelola dalam satu atap sehingga orangtua hanya satu kali mengeluarkan biaya dan menyediakan waktu untuk putra/putrinya yang tamat SD. Kurikulum pun dapat dirancang lebih baik, disesuaikan dengan lama belajar wajib.
Alternatif pertama adalah kebijakan yang reformatif, yaitu sekolah menengah dikembangkan jadi enam tahun, meliputi SMP dan SMA. Alternatif ini hanya mengubah manajemen persekolahan dan penyesuaian kurikulum SMA. Untuk model ini struktur Kurikulum SMA 2013 kelompok C (akademik) perlu perubahan dalam bentuk penyederhanaan mata pelajaran wajib kelompok minat. Tentu saja perencanaan pendidikan siswa harus dirancang dengan tingkat ketelitian tinggi untuk dapat memenuhi minat siswa.
Alternatif kedua, kebijakan yang revolusioner, yaitu sekolah menengah jadi empat tahun jika pendidikan dasar dijadikan 10 tahun. Kurikulum kelas X dikembangkan sebagai perluasan dan pendalaman dari kelas di bawahnya. Nama SMP tetap dapat dipertahankan atau menjadi SMP 4 tahun, atau diganti jadi sekolah menengah umum atau sekolah lanjutan.
Jika dijadikan sekolah menengah umum atau sekolah lanjutan 4 tahun, struktur kurikulum untuk SMP yang berlaku sekarang dapat digunakan. Dalam alternatif ini, SMA jadi dua tahun, terbagi atas persiapan untuk mereka yang mau melanjutkan ke PT dan mereka yang tidak akan melanjutkan ke PT. Kurikulum untuk kedua jalur ini perlu dikembangkan khusus
Alternatif ketiga, pembenahan koordinasi dan kolaborasi; tanpa mengubah sistem persekolahan, tetapi berkenaan hanya dengan struktur bidang akademik (C). PT perlu menyepakati persyaratan apa yang diperlukan untuk memasuki satu fakultas, satu jurusan ataukah seluruh fakultas? Kesepakatan itu harus dituangkan dalam bentuk dokumen legal dan kurikulum SMA menyesuaikan struktur kelompok C dengan persyaratan tersebut. Kelompok A dan B dalam struktur kurikulum SMA adalah untuk pendidikan karakter dan mengakomodasi keragaman kepentingan daerah, baik dalam bentuk mata pelajaran maupun komptensi dasar sehingga sekolah dan masyarakat memiliki keterkaitan.
S HAMID HASAN, GURU BESAR EMERITUS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
————————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Juli 2017, di halaman 7 dengan judul “Kaji Ulang Penjurusan di SMA”.