Bantuan Industri Diperlukan
Hampir setiap tahun, lebih dari satu juta lulusan sekolah menengah kejuruan menganggur. Bahkan, selama dua tahun terakhir, tingkat pengangguran di kalangan lulusan SMK paling tinggi ketimbang lulusan dari sejumlah jenjang pendidikan lainnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2014, tingkat pengangguran di kalangan lulusan SMK 7,21 persen, masih lebih rendah ketimbang tingkat pengangguran di kalangan lulusan SMA (9,10 persen). Februari 2015, tingkat pengangguran di kalangan lulusan SMK menjadi yang tertinggi, yakni 9,05 persen. Ada 1,2 juta lulusan SMK yang menganggur pada periode ini.
Pada Februari 2016, tingkat pengangguran di kalangan lulusan SMK bertambah menjadi 9,84 persen (1,35 juta orang). Persentase pengangguran di antara lulusan SMA turun menjadi 6,95 persen. Tingkat pengangguran di kalangan lulusan diploma 1-diploma 3 adalah 7,22 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kondisi ini merupakan tantangan besar bagi pemerintah yang kini berupaya menambah jumlah SMK. Jika jumlah SMK dan siswanya terus bertambah, sementara tingkat pengangguran di kalangan lulusan jenjang pendidikan ini juga tinggi, SMK akan menjadi “pencetak penganggur”. Tujuan pemerintah menghasilkan tenaga terampil siap pakai dengan memperbanyak SMK tidak akan pernah tercapai.
Agus Sartono, Deputi Bidang Pendidikan dan Agama Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, pekan lalu, di Jakarta, menyebutkan, pemerintah tengah berupaya meningkatkan jumlah rasio SMK terhadap SMA menjadi 55 : 45 hingga 60 : 40. Saat ini, rasio SMK terhadap SMA baru hampir mencapai 50:50.
Berdasarkan data Direktorat Pembinaan SMK Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, saat ini ada 13.552 SMK. Sebagian besar di antaranya adalah SMK swasta, yakni 10.084 sekolah. Sisanya, 3.468 sekolah, merupakan SMK negeri.
Agus mengatakan, kondisi SMK saat ini memerlukan penguatan. Karena itu, dikeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK. Penguatan terutama dilakukan pada empat SMK dengan bidang keahlian pertanian, maritim, ekonomi kreatif, dan pariwisata yang menjadi prioritas bidang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Revitalisasi sangat memerlukan keterlibatan industri sebagai pengguna. Oleh karena itu, menurut dia, Kemdikbud dalam penyusunan kurikulum SMK harus bersanding dengan industri dan asosiasi.
Direktur Pembinaan SMK Kemdikbud Mustaghfirin Amin mengakui, pengembangan SMK menghadapi banyak kendala. Kemdikbud harus mengupayakan agar kurikulum SMK sesuai dengan industri. Harus pula dipastikan 70 persen praktik kerja terlaksana bersama dengan pasangan industri yang tepat.
Belum puas
Satryo Soemantri Brodjonegoro, pemimpin tim penelitian kebijakan pendidikan untuk The Education Sector Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP) berjudul Linking the National Plans for Acceleration and Expansion of Economic Development To Programming in The Education Sector (2015), mengatakan, secara umum, dunia kerja belum puas dengan kompetensi lulusan sekolah mulai SMA/SMK hingga perguruan tinggi. Ada ketidaksesuaian keterampilan lulusan dengan kebutuhan dunia usaha. Padahal, pada saat yang sama, banyak perusahaan merencanakan ekspansi dan memerlukan tenaga kerja.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Benny Soetrisno menuturkan, penyiapan sumber daya manusia dengan kompetensi sesuai kebutuhan industri adalah salah satu tantangan yang harus dihadapi. “Bicara reindustrialisasi gendangnya hanya dua: power (energi, seperti gas dan listrik) serta manpower (tenaga kerja),” kata Benny.
Ia menuturkan, pendidikan tenaga kerja di Indonesia dilakukan bukan dari sisi kebutuhan atau permintaan. Akibatnya, lulusan pendidikan di Indonesia terkadang tidak selaras dengan kebutuhan dunia kerja. Bahkan, ada yang berpendapat, di Indonesia, banyak orang berpendidikan tinggi, tetapi berkemampuan rendah. “Kebutuhan tukang jahit, tukang las, dan tukang listrik kurang terpenuhi karena tak ada yang mendidik,” ucapnya.
Komputer rusak
Kepala SMK Purnama 1 Hayatin di Jakarta mengatakan, kendala utama pengelolaan sekolah yang memiliki bidang kejuruan administrasi perkantoran, akuntansi, dan multimedia itu adalah pembiayaan. Mayoritas siswanya berasal dari keluarga berekonomi lemah.
Laboratorium yang tersedia, seperti laboratorium komputer untuk jurusan administrasi perkantoran dan akuntansi, belum sesuai standar. Beberapa komputer rusak sehingga dipakai bergantian dengan siswa lain.
“Komputer juga lambat mengoperasikan perintah,” ucap Iksan Alfariz, siswa kelas XI jurusan administrasi perkantoran.
SMK Purnama 3, Jakarta, bahkan hanya memiliki satu jurusan, nautika kapal niaga. Dengan jumlah siswa hanya 53 orang, pemasukan sekolah itu sangat sedikit. Menurut Wakil Kepala SMK Purnama 3 Budy Ismanto, jurusan teknika kapal niaga ditutup empat tahun lalu karena sekolah tidak mampu membiayai pengoperasian jurusan itu.
Sebaliknya, SMK Negeri 2 Surabaya mendidik 2.924 siswa. Dengan segala keterbatasan sarana laboratorium, pengelola praktikum laboratorium mencari akal agar siswa dan lulusan SMK tetap dapat memiliki keterampilan yang memadai.
“Bahan praktikum pembuatan gir mesin mobil dan sepeda motor yang seharusnya dibuat dari besi diakali dengan memakai bahan bukan besi, misalnya aluminium. Bahan ini lebih murah dan gampang dikelola. Pisau mesin bubut juga lebih awet sehingga biaya perawatan mesin dan pembelian pisau bubut bisa ditekan,” kata Wakil Kepala SMK Negeri 2 Surabaya Suyanto.(ELN/DNE/C09/ODY/CAS)
————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Oktober 2016, di halaman 1 dengan judul “Jutaan Lulusan SMK Menganggur”.