Yayasan Burung Indonesia pada Senin (18/2/2019) merilis jumlah jenis burung di Indonesia meningkat menjadi 1.777 jenis pada 2019. Penambahan ini mencakup jenis-jenis penetap maupun migran yang berkunjung ke wilayah Indonesia setiap tahun.
Dibandingkan pada 2018, terdapat penambahan enam jenis burung dari jumlah sebelumnya yang sebanyak 1.771 jenis. Penambahan jumlah ini disebabkan adanya perubahan taksonomi dan juga catatan baru untuk Indonesia.
Enam jenis yang merupakan catatan baru di Indonesia di antaranya salah satu jenis burung perancah Eurasian Oystercatcher (Haematopus ostralegus), poksai kepala-botak (Garrulax calvus), jenis burung sikatan Zappey’s Flycatcher (Cyanoptila cumatilis), sikatan-burik sulawesi (Muscicapa sodhii), cikrak rote (Phylloscopus rotiensis), dan kedidi paruh-sendok (Calidris pygmaea). Beberapa di antaranya adalah jenis burung migran yang pertama kali tercatat di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
YAYASAN TERBANG INDONESIA–Yayasan Terbang Indonesia atau FLIGHT: Protecting Indonesia’s Birds menunjukkan foto hasil investigasinya terkait penangkapan burung di alam yang masih marak. Sebagian besar burung-burung ini mati karena perlakuan dan transportasi yang menyebabkan stres.
Dari seluruh jenis tersebut, 168 jenis burung dinyatakan terancam punah berdasarkan hasil kajian Burung Indonesia yang dilakukan hingga akhir 2018 dari sebelumnya berjumlah 163 jenis. Dari 168 jenis, 30 jenis dinyatakan berstatus kritis oleh badan konservasi dunia—IUCN, status terakhir sebelumnya dinyatakan punah di alam. Selain itu, 44 jenis dinyatakan berstatus genting dan 94 jenis rentan terhadap kepunahan di alam.
Biodiversity Conservation Specialist Burung Indonesia, Ferry Hasudungan, Senin di Bogor dalam siaran pers Burung Indonesia, mengatakan, dari ribuan jenis burung yang tercatat di Indonesia, 557 jenis di antaranya telah dilindungi oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomer P 106 tahun 2018.
“Namun, sayangnya, dari 14 jenis burung yang status keterancamannya meningkat pada 2018, ada empat jenis yang belum mendapatkan status perlindungan dari pemerintah,” kata dia.
Hal tersebut terjadi pada perenjak jawa (Prinia familiaris), poksai mantel (Garrulax palliatus), dan cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus). Sedangkan jenis baru cikrak rote (Phylloscopus rotiensis), status keterancamannya belum dievaluasi.
Selain itu, dari sejumlah jenis burung yang dilindungi, tiga jenis burung belum dimasukkan ke dalam daftar terbaru karena daerah sebarannya tidak tercatat di Indonesia atau belum diakui taksonominya oleh BirdLife International, yaitu nasar himalaya (Gyps himalayensis), poksai jambul (Garrulax leucolophus), dan gosong forsten (Megapodius forstenii).
Cucak rawa
Sementara itu, terkait cucak rawa, status keterancamannya naik menjadi kritis dengan jumlah populasi di alam diperkirakan hanya 600 – 1.700 ekor. Daerah sebarannya mencakup Semenanjung Malaysia, Singapura, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan, termasuk Brunei Darussalam, Sabah, serta Sarawak.
“Perburuan jenis ini di alam terutama di Indonesia telah membuat hutan-hutan di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan kehilangan kicauan merdunya. Permintaan yang tinggi terhadap cucak rawa sebagai burung peliharaan dan lomba burung berkicau menjadi faktor ancaman kepunahan jenis ini,” kata Ferry.
Cucak rawa sebenarnya pernah termasuk ke dalam daftar jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P 20 tahun 2018, namun kemudian dikeluarkan bersama dua jenis burung lainnya yakni anis-bentet kecil (Colluricincla megarhyncha) dan anis-bentet sangihe (Colluricincla sanghirensis) hanya dua bulan setelah peraturan tersebut diterbitkan.
Anis-bentet kecil dan anis-bentet sangihe tidak termasuk ke dalam jenis yang dilombakan dan belum ditangkarkan. Anis-bentet kecil memiliki beberapa anak-jenis dengan sebaran terbatas dan endemis di pulau-pulau kecil di Papua dan Papua Barat. Sedangkan anis-bentet sangihe merupakan jenis endemis yang hanya bisa ditemukan di Pegunungan Sahendaruman di Pulau Sangihe dengan populasi 92-255 individu sehingga berstatus kritis.
Terkait dikeluarkannya burung-burung dilindungi ini, beberapa waktu lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan, hal ini bersifat sementara. Ia mengatakan kebijakan ini diberikan mengingat dampak yang sangat besar bagi masyarakat yang menggantungkan hidup dari perdagangan/perlombaan burung kicau.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 18 Februari 2019