Hadiah Nobel Fisika 2017 diberikan untuk penemuan ilmiah yang umurnya belum genap dua tahun. Catatan jarak waktu ini mungkin hanya kalah dengan pemberian Hadiah Nobel Perdamaian 2009 kepada Barack Obama, kurang dari setahun sejak ia dilantik sebagai Presiden AS. Namun, tak bakal ada kontroversi terkait pemberian Hadiah Nobel Fisika tahun ini.
Hadiah prestisius tersebut diumumkan dan diberikan kepada trio fisikawan yang berada di balik proyek Observatorium Gelombang Gravitasi dengan Interferometer Laser (LIGO), yaitu Rainer Weiss (85), Kip S Thorne (77), dan Barry C Barish (81), Selasa (3/10).
Dua detektor raksasa ultrasensitif milik LIGO berhasil mendeteksi untuk pertama kali gelombang gravitasi pada 14 September 2015. Namun, temuan bersejarah ini baru diumumkan kepada publik pada 11 Februari 2016, setelah lebih dari 1.000 peneliti LIGO memastikan kembali sinyal yang mereka peroleh bukan sinyal palsu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Butuh waktu lama, dua bulan, untuk meyakinkan kami sendiri bahwa kami telah melihat sesuatu dari luar sana, gelombang gravitasi yang sesungguhnya,” kata Weiss.
Tak ada satu pun ilmuwan, termasuk mereka bertiga, yang meragukan arti penting temuan ini dan kelayakan Hadiah Nobel untuk itu. “Bagian terbaiknya adalah ini hanyalah awal dari eksplorasi baru alam semesta yang penuh petualangan,” tutur Profesor Alberto Vecchio dari Institut Astronomi Gelombang Gravitasi di Universitas Birmingham, Inggris.
Apa sebenarnya gelombang gravitasi dan mengapa itu penting bagi dunia ilmu pengetahuan?
Gelombang gravitasi pertama kali diungkapkan Albert Einstein pada 1915, sebagai salah satu konsekuensi matematis dari Teori Relativitas Umum-nya. Dalam teori itu, Einstein memandang alam semesta sebagai sebuah entitas empat dimensi yang terdiri atas tiga dimensi ruang dan satu dimensi waktu atau disebut ruang-waktu.
Sementara gravitasi adalah lengkungan dari jalinan ruang-waktu tersebut yang disebabkan sebuah benda bermassa. Saat sebuah benda bermassa sangat besar itu bergerak, akan tercipta riak-riak pada lengkungan ruang-waktu ini yang merambat ke seluruh alam semesta. Riak inilah gelombang gravitasi.
Namun, Einstein menyatakan akan sangat sulit mengukur gelombang gravitasi ini. “Dia bahkan mengatakan bahwa barang baru yang ia temukan ini atau yang ia dapatkan dari persamaan-persamaan (matematika)-nya, tak akan punya peran dalam sains,” ujar Weiss dalam konferensi pers yang dikutip LiveScience.com, Selasa.
Tentu saja itu tidak benar. Selama ini para ilmuwan hanya mengandalkan informasi yang dibawa radiasi gelombang elektromagnetik, mulai dari gelombang radio, cahaya tampak, sampai sinar-X, untuk mempelajari alam semesta seisinya. Masalahnya, ada beberapa tempat di alam semesta di mana gelombang elektromagnet pun tak bisa lolos, misalnya dari lubang hitam.
Namun gelombang gravitasi, yang merupakan distorsi pada ruang-waktu itu sendiri, merambat dengan kecepatan cahaya ke seluruh penjuru alam semesta tanpa bisa dihalangi apa pun.
Menurut Thorne, dengan adanya kemampuan “meraba” gelombang gravitasi ini, para ilmuwan kini bisa menyaksikan berbagai peristiwa besar di alam semesta. “Kita akan melihat bagaimana bintang-bintang neutron bertabrakan, saling membinasakan. Kita akan melihat lubang hitam menyobek-sobek bintang neutron. Kita pada dasarnya akan bisa mengeksplorasi kelahiran alam semesta,” ujar Thorne.
Patrick Sutton, astronom dari Universitas Cardiff di Wales, menambahkan, “Kita bahkan akan bisa melihat berbagai obyek yang sama sekali baru, yang bahkan belum kita bayangkan saat ini.”
Interferometer raksasa
Gelombang gravitasi ini pertama kali terdeteksi dua interferometer raksasa yang menjadi detektor utama LIGO. Sinyal pertama ditangkap interferometer di Livingston, Negara Bagian Louisiana, AS tenggara. Tujuh milidetik kemudian, interferometer kedua di Hanford, Washington, AS barat laut, menangkap sinyal yang sama.
Kedua interferometer ini menerapkan konfigurasi dan prinsip dasar yang sama dengan interferometer Michelson-Morley tahun 1887, hanya dengan skala yang jauh lebih besar, lebih canggih, dan lebih presisi. Seberkas sinar laser ditembakkan melalui sebuah pemecah sinar (beam splitter) sehingga terbentuk dua berkas sinar yang tegak lurus satu sama lain seperti huruf L.
Pada interferometer LIGO ini, setiap “lengan” pada huruf L itu berupa terowongan sepanjang 4 kilometer. Di ujung terowongan terdapat cermin yang akan memantulkan sinar laser itu kembali ke beam splitter dan detektor. Apabila gelombang gravitasi melintas, ruang-waktu akan terdistorsi dan jarak yang ditempuh salah satu atau kedua ruas sinar akan berubah, yang akan menimbulkan perubahan pola yang bisa dideteksi.
Namun, peralatan yang digunakan harus ultrasensitif karena perubahan yang ditimbulkan gelombang gravitasi ini sangat kecil. “Ukuran (perubahan) sesungguhnya akibat efek (gelombang gravitasi) pada temuan pertama itu hanya seperseribu ukuran proton,” ungkap Barish.
Penghitungan selanjutnya menunjukkan gelombang itu ditimbulkan tumbukan dua lubang hitam yang masing-masing bermassa 29 kali dan 36 kali massa Matahari. Tumbukan itu terjadi di sebuah tempat berjarak 1,3 miliar tahun cahaya dari Bumi.
Begitu kecilnya efek yang bisa terukur ini sehingga para peneliti memperhitungkan betul semua efek pengganggu yang mungkin muncul, bahkan hingga ke efek termal kuantum atom-atom penyusun permukaan cermin.
Selain dua detektor LIGO, kini sudah ada satu detektor lagi yang berada di Eropa, yakni Interferometer VIRGO di Cascina, Italia. Sejak temuan pertama itu, tiga detektor ini telah mendeteksi total empat gelombang gravitasi yang melintasi Bumi.
Saat ini, India dan Jepang juga tengah membangun interferometer gelombang gravitasi mereka yang akan berkolaborasi dengan LIGO dan VIRGO di masa depan. Dengan makin banyak detektor yang terlibat, sumber gelombang gravitasi akan bisa ditentukan makin presisi.(AP/AFP/NOBELPRIZE.ORG–DAHONO FITRIANTO)
Sumber: Kompas, 8 Oktober 2017