Meski melimpah di Indonesia, belum ada aturan spesifik menyebutkan jelantah sebagai limbah maupun larangan penggunaannya untuk bahan baku konsumsi. Sementara jelantah marak digunakan sebagai bahan baku industri makanan.
KOMPAS/IRENE SARWINDANINGRUM–Suasana salah satu gudang jelantah yang dipasarkan untuk ekspor di Kabupaten Tangerang, Rabu (26/2/2020). Indonesia menghasilkan jelantah dalam jumlah besar, namun masih minim dalam pengaturannya.
Penggunaan jelantah yang sebagian masih untuk sektor konsumsi menunjukkan lemahnya pengawasan soal tata kelola minyak goreng bekas pakai tersebut. Produksi minyak jelantah Indonesia diperkirakan melimpah, antara 2-3 juta ton setahun. Namun aturan, baik dari tata niaga, lingkungan, maupun kesehatan warga terkait penggunaan jelantah masih sangat minim.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di tingkat nasional, belum ada aturan yang secara spesifik menyebutkan jelantah sebagai limbah maupun larangan penggunaannya untuk bahan baku konsumsi. Satu-satunya aturan yang sudah berlaku dan secara spesifik mengatur baru Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 167/2016 tentang Pengelolaan Limbah Minyak Goreng.
Pergub mendorong agar limbah minyak goreng dimanfaatkan untuk bahan bakar alternatif berupa biodiesel atau sektor non-konsumsi. Padahal, penggunaan jelantah untuk sektor konsumsi telah banyak diteliti berbahaya untuk kesehatan dalam jangka panjang.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan, dalam setahun rata-rata konsumsi minyak goreng 5,2 juta ton. Dengan perkiraan susut sekitar 40-60 persen, jelantah yang dihasilkan diperkirakan sekitar 2-3 juta ton per tahun.
“Jumlahnya tidak sedikit. Secara nasional diperkirakan jelantah untuk konsumsi sekitar 20 persen dari minyak goreng yang beredar karena masih minimnya aturan,” katanya di Jakarta, Selasa (18/2/2020) lalu.
Dari tata niaga, kata Sahat, pengaturan perdagangannya belum ada sehingga siapa saja dapat membelinya dari penghasil jelantah tanpa pengawasan ke mana jelantah akan digunakan.
KOMPAS/IRENE SARWINDANINGRUM–Suasana pengumpulan jelantah oleh para kader juru pemantau jentik RW 2, Pela Mampang, Jakarta Selatan, Jumat (26/2/2020). Kegiatan pengumpulan jelantah untuk ditampung sejumlah organisasi dan lembaga ini menumbuhkan kesadaran warga bahwa jelantah adalah limbah yang perlu dikelola. Indonesia menghasilkan jelantah dalam jumlah besar, namun masih minim dalam pengaturannya.
Dari sisi lingkungan, Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, Minyak goreng bekas atau biasa disebut jelantah tidak termasuk limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang tercantum dalam lampiran PP Nomor 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3. Jelantah tidak pula termasuk dalam kategori Sampah yang diatur dalam UU Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Kendati belum ada penyebutan spesifik, Rosa mengatakan, jelantah dapat dikategorikan limbah non-B3. Oleh karena itu, jelantah sebagai limbah harus dikelola dan tidak boleh dibuang karena akan mencemari lingkungan.
Hal ini sesuai UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 69 Ayat (1) a, yaitu setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup.
Dari sisi kesehatan, Direktur Kesehatan Lingkungan, Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan, Imran Agus Nurali, mengatakan, sejumlah peraturan untuk melindungi keamanan produksi makanan sudah ada.
KOMPAS/IRENE SARWINDANINGRUM–Jelantah masih disalahgunakan untuk sektor konsumsi seperti yang ditemui di usaha tahu pon di Kabupaten Bogor, Senin (2/3/2020). Indonesia menghasilkan jelantah dalam jumlah besar, namun masih minim dalam pengaturan dan pengawasannya.
Beberapa di antaranya adalah Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 942/Menkes/SK/VII/2003 tentang Pedoman Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1096/Menkes/Per/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga, dan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1098/Menkes/SK/VII/2003 tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Rumah Makan dan Restoran.
Ketiga regulasi bertujuan untuk melindungi masyarakat dari makanan dan minuman yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Baik yang diproduksi pada skala rumahan, jasaboga, maupun rumah makan dan restoran. “Dalam peraturan tersebut memang tidak ada secara spesifik tertulis tentang jelantah, tetapi pemilihan bahan makanan harus aman,” kata Imran.
Namun, ketiga aturan itu pun tak secara spesifik melarang penggunaan jelantah untuk konsumsi. “Dalam peraturan tersebut memang tidak ada secara spesifik tertulis tentang jelantah, tetapi pemilihan bahan makanan harus aman,” kata Imran.
Contohnya, untuk bahan baku yang dikemas harus memiliki label atau merek, terdaftar dan mempunyai nomor daftar, dan kemasan tidak rusak, pecah atau kembung. Selain itu, bahan makanan juga belum kedaluwarsa serta hanya satu kali digunakan.
Kepala Center for South East Asia Food Agricultural Science and Technology (Seafast) Institut Pertanian Bogor (IPB) Nuri Andarwulan mengatakan, belum ada acuan teknis untuk menggunakan minyak goreng yang aman di Indonesia selain standar SNI minyak goreng yang ditujukan untuk standar produksi.
Padahal negara-negara lain sudah memiliki regulasi terkait ambang batas maksimal penggunaan, yaitu dengan mengukur total polar material (TPM) atau nilai total material larut air dalam minyak goreng. Semakin sering digunakan, nilai TPM semakin tinggi, dan semakin meningkatkan risiko kanker.
Dorong pengaturan
Ketua Umum Asosiasi Pengumpul Minyak Jelantah untuk Energi Baru Terbarukan Indonesia (Apjeti) Matias Tumanggor meminta pemerintah untuk membuat regulasi yang mengatur tata kelola perdagangan jelantah agar pemanfaatannya bisa tepat guna. Dampaknya, publik tidak tahu yang disebut jelantah adalah minyak goreng yang berapa kali pemakaian.
Selain itu, publik juga belum tahu bagaimana mengurus jelantah yang usai pemakaian. Jelantah dalam jumlah besar masih dibuang ke selokan sehingga membuat alirannya mampat.
Menurutnya, ada lima kementerian yang perlu duduk bersama membahas soal regulasi jelantah. Lima kementerian itu adalah Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Keuangan.
Peneliti Minyak Sawit Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Maxensius Tri Sambodo menegaskan, penggunaan jelantah yang tepat seharusnya untuk bahan baku biodiesel dan bukan untuk digunakan kembali sebagai bahan baku penggorengan yang akan dikonsumsi. “Jelantah itu untuk ‘dimakan’ mesin bukan ‘dimakan’ manusia,” ujar Max.
Demi mencegah jelantah bocor untuk dikonsumsi, menurut Max langkah awal yang harus dilakukan pemerintah adalah mewajibkan minyak goreng menggunakan kemasan dan melarang curah. Sebab, tampilan visual jelantah dengan minyak curah yang serupa dan tak bisa teridentifikasi asalnya, bisa mengelabui warga sehingga jelantah mudah masuk ke pasaran curah.
KOMPAS/IRENE SARWINDANINGRUM–Kepala Laboratorium Biodiesel dan Proses Katalitik Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ali Rimbasa Siregar di Jakarta, Jumat (6/3/2020), menunjukkan biodiesel dari jelantah yang dihasilkan dari ujicoba yang dilakukan lembaga penelitian itu.
Dengan pemberlakuan minyak goreng kemasan, maka minyak goreng yang ada memiliki identitas, kode produksi, sehingga memudahkan penelusuran pihak produsennya. Hal ini lebih menjamin warga agar memperoleh minyak goreng yang jelas produksi dan kualitasnya.
Setelah minyak goreng kemasan wajib diberlakukan, lanjut Max, pengaturan tahap berikutnya adalah mengatur tata kelola alur pembuangan limbah. Pengaturan itu harus memastikan bahwa jelantah tidak untuk kembali dikonsumsi dan harus dipasok untuk menjadi bahan baku biodiesel.
“Dengan jumlah penduduk yang besar disertai konsumsi yang besar, kita punya potensi menjadi penghasil jelantah terbesar. Ini potensi yang besar sebagai bahan baku biodiesel. Sebagian malah dieskpor ke Eropa. Mereka bisa melihat peluang ini tapi kita malah belum,” ujar Max.
Inisiatif minyak goreng wajib kemasan itu sebetulnya sudah digulirkan sejak 2014 melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 80 tahun 2014 tentang Minyak Goreng Wajib Kemasan. Namun pelaksanaannya selalu tertunda. Paling anyar, pelaksanaan minyak goreng wajib kemasan sedianya diberlakukan 1 Januari 2020 namun kembali tertunda.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Suhanto menjelaskan, mundurnya pelaksanaan peraturan itu karena belum siapnya industri minyak goreng untuk membuat kemasan.
Selain itu juga ada kekhawatiran dari pelaku usaha yang khawatir terjadi kenaikan harga karena harus menggunakan minyak goreng wajib kemasan yang tentu lebih mahal dari curah. Setelah melakukan diskusi dengan semua pemangku kepentingan termasuk pengusaha minyak goreng dan pelaku usaha, disepakati pemberlakuan peraturan minyak goreng wajib kemasan mundur pada awal Januari 2022.
Oleh IRENE SARWINDANINGRUM / BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA / KURNIA YUNITA RAHAYU
Editor: KHAERUDIN KHAERUDIN
Sumber: Kompas, 8 April 2020