Dua Tsunami Besar Pernah Terjadi di Selatan Jawa hingga Sumba
Jejak dua endapan tsunami ditemukan secara konsisten di selatan Jawa, Bali, Lombok, hingga Sumba. Diperkirakan endapan ini berasal dari dua tsunami besar di masa lalu yang bersumber dari zona subduksi di bawah Samudra Hindia. Ini harus menjadi perhatian bersama.
“Kami masih harus menguji umur endapan ini, apakah memiliki kesamaan. Tetapi, dari kedalaman ditemukan endapannya menunjukkan konsistensi sehingga dugaan kami ini dari dua kejadian yang sama,” kata Ron Harris, guru besar geologi dari Universitas Brigham Young, Amerika Serikat, dalam diskusi di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), di Jakarta, Jumat (4/8).
Ron diundang BMKG untuk memaparkan hasil survei paleotsunami yang baru selesai dilakukan timnya di Bali, Lombok, dan Sumba. Tahun sebelumnya Ron melakukan survei di selatan Jawa. Sebelumnya diberitakan, dua deposit tsunami ditemukan di selatan Bali. (Kompas, 15/7)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lapisan pertama yang diduga deposit tsunami itu berupa pasir halus sampai sedang dengan tebal rata-rata 5 sentimeter (cm) dan ditemukan di kedalaman 90 cm. Lapisan kedua berupa pasir kasar yang memiliki ketebalan 15 cm di kedalaman 170 cm. Dari Bali, tim kemudian melanjutkan survei di Lombok dan Sumba.
“Survei kami di Lombok dan Sumba juga menemukan dua lapisan yang sama seperti di Bali,” kata Ron. Dengan temuan terbaru ini, tambah Ron, garis pantai yang terdampak tsunami sudah lebih dari 1.000 km atau setara dengan tsunami Aceh 2004. “Kalau gempanya terjadi bersamaan, kemungkinannya sangat besar, kekuatannya bisa M 9,2 atau bahkan M 9,5,” katanya.
Penelitian sebelumnya oleh tim Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga menemukan dua lapisan tsunami di sejumlah lokasi di selatan Jawa, terutama di Lebak dan Pangandaran. Penanggalan yang telah dilakukan menemukan deposit tsunami ini berumur sekitar 300 tahun lalu dan sekitar 1000 tahun lalu. Baru-baru ini mereka juga menemukan jejak deposit tsunami di dekat lokasi rencana bandar udara di Kulon Progo, DI Yogyakarta.
Dalam acara ini, Suci Dewi Anugerah dari Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG mempresentasikan temuan survei paleotsunami yang telah dilakukan timnya di selatan Jawa, Bali, dan Lombok. Mereka juga menemukan banyak lapisan tsunami. Namun, temuan BMKG lebih merekam tsunami-tsunami relatif kecil yang terjadi di kawasan ini dalam kurun sejarah, sekitar tahun 1800 hingga awal 1900-an.
Tsunami besar
Ron mengatakan, surveinya tidak menemukan lapisan tsunami-tsunami kecil yang tercatat sejarah karena lokasi pengeborannya lebih jauh, sekitar 500 meter-2 km dari pantai. “Kami memang fokus mencari jejak tsunami besar. Hanya tsunami besar yang bisa masuk jauh ke daratan di titik-titik yang kami survei,” katanya.
Peserta diskusi, Agustan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, menanyakan kemungkinan bahwa dua lapisan tsunami itu dipicu gempa relatif kecil secara terpisah-pisah, bukan satu gempa besar. “Selatan Jawa memiliki karakter slow earthquake tsunami (gempa kecil, tetapi tsunami besar). Pengalaman gempa Pangandaran 2006, gempanya tidak begitu kuat, tetapi bisa tsunami besar. Demikian juga gempa Banyuwangi 2004,” katanya.
Menurut Ron, hal itu memungkinkan, terutama jika gempa tersebut diikuti longsor bawah laut. Meski demikian, peluang terjadinya gempa besar sekaligus juga sangat mungkin. “Setelah gempa Aceh 2004 dan gempa Jepang 2011, kita belajar bahwa gempa di satu segmen zona subduksi bisa memicu runtuhnya segmen lain dan kemudian menjadi gempa yang besar,” ujarnya.
Menanggapi pemaparan ini, Direktur Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Medi Herlianto mengatakan, kajian ini harus menjadi perhatian bersama.
“Dibutuhkan upaya untuk membangun kesadaran masyarakat yang berpotensi risiko sehingga mereka bisa merespons dengan baik. Ini tantangan terbesar. Lima tahun lalu, kita sudah punya masterplan pengurangan risiko tsunami. Namun sayang, di era pemerintahan baru, hal ini tidak lagi menjadi perhatian. Kita harus memunculkan lagi strategi menghadapi tsunami besar,” katanya. (AIK)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Agustus 2017, di halaman 14 dengan judul “Jejak Tsunami Konsisten”.