Secara klasik, manusia Indonesia biasanya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu penutur Austronesia dan penutur Papua. Pengelompokan ini terutama didasarkan pada perbedaan bahasa dan kebudayaan selain ciri fisik. Namun, hasil penelitian terbaru, pembauran budaya dan genetika di antara dua penutur ini sejak perjumpaan ribuan tahun silam.
Orang Melanesia memang berbeda,” kata Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Frans Lebu Raya, dalam pembukaan Konferensi Internasional Melanesia, di Kupang, akhir Oktober 2015. “Kulit kami hitam, rambut keriting kriwil-kriwil,” ujarnya.
Bukan hanya ciri fisik, kebudayaan Melanesia juga khas, seperti tenun ikat, arsitektur, dan seni ukir. “Dari 22 kabupaten/kota di NTT, 11 di antaranya punya latar belakang budaya Melanesia,” katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Konferensi dihadiri 200 peserta dari negara yang tergabung dalam Melanesian Spearhead Group (MSG), seperti Fiji, Papua Niugini (PNG), Kepulauan Solomon, Timor Leste, Kaledonia Baru. Indonesia diwakili masyarakat lima provinsi: NTT, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.
Istilah “melanesia” awalnya disematkan penjelajah Perancis, Jules Dumont d’Urville (1790-1842) tahun 1832 untuk menunjukkan populasi manusia yang mendiami ujung barat Lautan Pasifik. Secara lateral, kata ini berasal dari bahasa Yunani, Melano-nesos, ‘nusa-hitam’ atau ‘kepulauan hitam’, sehingga kerap dianggap sebagai sebuah klasifikasi yang rasial.
Jadi, Melanesia awalnya lebih mengacu pada zona geografis. Belakangan kerap dipakai menyebut populasi. Gugus kepulauan itu saat ini berimpit dengan teritori sejumlah negara, yang lalu terhimpun dalam MSG; Indonesia menjadi anggotanya sejak pertengahan 2015.
Secara sederhana, keberadaan “Melanesia” di Indonesia ada di kawasan timur. Sebagaimana disebut Alfred Russel Wallace (1823-1913), Kepulauan Nusantara dibelah batas geografis yang membedakan flora, fauna, dan manusia. “Ras Melayu mendiami hampir seluruh bagian barat kepulauan itu, sedangkan ras Papua mendiami New Guinea (Papua) dan beberapa pulau di dekatnya…,” sebut Wallace pada buku The Malay Archipelago (1869).
Selain sebutan kelompok Melayu, yang dinilai tidak tepat menggambarkan populasi manusia Indonesia di bagian barat, istilah “ras” sendiri belakangan tak dipakai lagi. Pakar genetika populasi asal Italia, Luigi Luca Cavalli-Sforza (2000), membuktikan bahwa membagi manusia dalam “ras” adalah usaha keliru. Secara biologis, hanya ada satu ras manusia modern, yaitu Homo sapiens, walaupun kemudian tiap populasi mengembangkan kebudayaan. Bahkan, ciri fisik berbeda sebagai adaptasi terhadap lingkungan yang berbeda.
Gelombang kedatangan
Ahli genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo, pembicara konferensi, menolak pemisahan populasi manusia Indonesia di timur dan barat. Genetika manusia Indonesia adalah produk campuran dua atau lebih populasi moyang, walaupun presentasi genetika Austronesia lebih dominan di bagian barat Indonesia, sedangkan presentasi genetika Papua lebih tinggi di bagian timur Indonesia.
“Studi genetika di lima provinsi Indonesia yang dianggap bagian dari Melanesia menunjukkan ada pembauran genetika. Jadi, Melanesia bukan sebuah entitas gen yang tunggal, demikian juga Austronesia,” ujarnya.
Bahkan, di Papua, yang selama ini dianggap wilayah yang dihuni hanya penutur Papua, ternyata secara genetika terjadi pencampuran, terutama di kawasan pesisir. Motif genetika (haplotipe) DNA-mitokondria P dan Q dan haplotipe C-M208, C-M38, dan M-P14 dalam kromosom-Y yang jadi penanda keberadaan genetika Papua juga ditemui dalam persentase sangat tinggi di Pulau Alor. “Jadi, tipe genetik Papua tidak khas hanya di Provinsi Papua dan Papua Barat,” ucap Herawati.
Arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Harry Truman Simanjuntak, mengatakan, keberagaman manusia Indonesia dipengaruhi gelombang kedatangan dan jalur perjalanan yang berbeda walaupun asal- usulnya tetap satu, yaitu dari Afrika (out of Africa). “Kapan manusia modern (Homo sapiens) keluar dari Afrika memang masih kontroversi. Ada versi terjadi 100.000 tahun lalu, ada yang mengatakan 70.000 tahun lalu,” kata Truman.
Migran awal dari Afrika inilah yang lalu mencapai kawasan Indonesia sekitar 60.000 tahun silam. “Mereka nenek moyang jauh sebagian masyarakat Indonesia di kawasan timur, yang sekarang sering disebut Melanesia ini,” papar Truman.
Bukti-bukti keberadaan migrasi awal manusia modern ini bisa ditemui di banyak situs di Jawa Timur (Song Terus, Braholo, dan Song Kepek), Sulawesi Selatan (Leang Burung dan Leang Sekpao), serta di sejumlah wilayah lain Nusantara. Temuan lukisan tangan di Leang Timpuseng, Maros, berusia 40.000 tahun, dan yang tertua di dunia, juga berasosiasi dengan kelompok migran awal ini.
Di akhir Zaman Es, sekitar 12.000 tahun lalu, menurut Truman, kembali terjadi gelombang migrasi manusia ke Kepulauan Nusantara akibat perubahan iklim. “Mereka datang dari Asia daratan dan membuat diaspora ke berbagai arah, termasuk ke Nusantara,” katanya.
Kelompok yang dikenal sebagai Austromelanesia atau Austroasiatik ini lalu mengembangkan hunian goa yang sebelumnya dilakukan manusia migran pertama dan melanjutkan tradisi berburu serta meramu. Gelombang migrasi berikutnya ke Nusantara adalah kedatangan populasi Austronesia (out of Taiwan) sekitar 4.000 tahun lalu.
Pembauran
Dari penelitian genetika, seperti dijelaskan Herawati, ternyata menunjukkan ada pembauran genetika melalui kawin-mawin penutur Austronesia dan Papua ini sejak fase-fase awal perjumpaan mereka, 4.000 tahun lalu. Dengan menganalisis DNA 2.740 individu dari 12 pulau, enam dari Indonesia barat dan selebihnya dari NTT (Sumba, Flores, Lembata, Alor, Pantar, dan Timor), Tumonggor (2013) menemukan pembauran intensif antara penutur Austronesia dan penutur Papua itu.
Jejak pembauran dalam genetika ini ternyata juga bisa dilihat dalam produk kebudayaan di antara dua penutur. Truman mencontohkan tradisi menyirih dan menginang dari Austronesia yang membudaya di Papua. Sebaliknya, arsitektur rumah penutur Austronesia di Wae Rebo, Flores, menunjukkan peminjaman kebudayaan Papua.
Pembauran ini, kata ahli bahasa dari Universitas Indonesia, Multamia RMT Lauder, juga terlihat dalam penggunaan bahasa. Sekalipun secara garis besar ada dua rumpun bahasa di Indonesia, yaitu Austronesia dan Papua, keduanya menunjukkan ada saling meminjam kata, terutama di Indonesia timur.
“Di kawasan ini, penutur Austronesia banyak pinjam bahasa non-Austronesia. Demikian sebaliknya. Pertukaran terutama terkait angka dan cara berhitung yang menunjukkan adanya barter dan perdagangan,” tuturnya.
Bukti-bukti genetik, kebudayaan, hingga bahasa memang menunjukkan evolusi pembauran manusia Nusantara sejak ribuan tahun lalu, dan kian intensif sejak pembentukan Indonesia sebagai negara berdaulat tahun 1945. Jejak pembauran ini mestinya jadi bekal penting pembangunan ekonomi-politik Indonesia yang lebih adil dan merata, dari Aceh hingga Papua.–AHMAD ARIF
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 November 2015, di halaman 14 dengan judul “Jejak Pembauran Melanesia dan Austronesia”.
——————————
Riwayat Bencana hingga Migrasi
AHMAD ARIF
Dengan 1.340 suku yang berbicara dalam 700 lebih bahasa berbeda, Indonesia adalah negeri yang memiliki keragaman amat tinggi. Selain karena perbedaan periode kedatangan dan rute perjalanan nenek moyang kita, keragaman ini diakibatkan kompleksitas rupa bumi di negeri ini.
Jika mengacu pada perbedaan bahasa, ciri fisik, dan budaya, sulit mencari kesamaan masyarakat Aceh yang tinggal di ujung barat Indonesia dengan warga Papua di ujung timur negeri ini.
Bahkan, di tiap etnis ada keragaman. Aceh sejatinya kumpulan sejumlah suku bangsa. Aceh pesisir berbicara dengan bahasa berbeda dengan Aceh dataran tinggi (Gayo dan Alas). Di pesisir Aceh dari timur ke barat, ada variasi amat tinggi.
Di Papua, ada sekitar 250 bahasa, terbagi atas empat famili bahasa, yakni Papua Barat, Kepala Burung Timur, Teluk Geelvink, dan Trans-New Guinea. Selain itu, ada juga beberapa populasi di Papua berbahasa Austronesia (Cribb, 2000). “Banyak bahasa mencerminkan keragaman karakteristik budaya dan genom,” kata ahli genetika Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo.
Studi genetika populasi yang dilakukan Herawati dalam 15 tahun terakhir mengonfirmasi keragaman manusia Indonesia. Dari 780 sampel yang diperiksa, ditemukan 474 haplotipe (tipe genetika) berbeda. Perbedaan tipe haplotipe mengindikasikan tingkat perbedaan antarindividu. “Indonesia punya beragam haplotipe karena hampir separuh populasi yang diperiksa memiliki haplotipe berbeda,” ujarnya.
Dinamika geologi
Sebagaimana dikisahkan pada tulisan sebelumnya, nenek moyang manusia Indonesia berasal dari tiga gelombang besar migrasi, yakni migrasi pertama dari Afrika (out of Afrika) hingga ke Papua sekitar 60.000 tahun lalu, migrasi dari Asia tengah atau Austroasiatik hingga 10.000 tahun lalu. Selain itu, ada migrasi para penutur Austronesia dari Taiwan 5.000 tahun lalu.
Austroasiatik dan Austronesia, jika dirunut genetikanya, berasal dari Afrika. Berbeda dengan penutur Papua yang bermigrasi menyusuri garis pantai menuju Nusantara, Austroasiatik dan Austronesia memilih jalur memutar dan jauh lebih belakangan tiba di Nusantara.
Selain karena perbedaan periode kedatangan, keragaman manusia Indonesia terkait kompleksitas geologi yang menyusun negeri ini. Pulau-pulau yang terbentuk sejak berakhirnya zaman es 10.000 tahun lalu menciptakan isolasi manusia yang menyemai banyak kebudayaan.
Isolasi terjadi di pulau-pulau akibat bentang alam ekstrem, seperti gunung api, lembah dalam, dan hutan hujan tropis, yang di masa lalu sulit ditembus. Jadi, di satu pulau kecil pun ada beragam bahasa dan kebudayaan.
Meski Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dikisahkan pernah menguasai Nusantara, jejak penyatuan sulit ditemukan. Menurut naskah Negarakertagama, armada Majapahit pernah menjelajahi banyak pulau dan daerah di Nusantara, tetapi tak ada bukti mereka menguasai wilayah itu dalam waktu lama.
Keragaman bahasa dan kebudayaan di Nusantara menjadi bukti tiadanya imperium besar yang menyatukan di masa lalu. Nasionalisme yang melahirkan Indonesia sebagai negara jadi upaya politik atas persamaan nasib sebagai jajahan Belanda.
Faktor bencana
Berada di tumbukan tiga lempeng benua, Indonesia menjadi negara dengan rona muka bumi terumit. Jumlah gunung api aktifnya 127 buah, terbanyak di dunia. Frekuensi gempa merusak juga tertinggi.
Beberapa bencana alam di Nusantara berskala merusak luar biasa. Tak hanya berdampak lokal, bahkan global, seperti dibahas geolog dari Museum Geologi Bandung, Indyo Pratomo, dalam Borobudur Writer and Cultural Festival di Magelang, dua pekan lalu.
Dampak letusan Gunung Toba di Sumatera Utara 74.000 tahun lalu nyaris memunahkan umat manusia. “Letusan gunung ini terkuat di Bumi dalam 2 juta tahun terakhir, menyebabkan atmosfer Bumi berselimut lapisan tebal aerosol sulfat bertahun-tahun,” ujarnya.
Riset yang dilakukan ahli genetika dari University of Oxford, Stephen Oppenheimer, menyimpulkan, letusan Toba memengaruhi sejarah migrasi manusia. Bersama Martin Richards dari University of Leeds (Inggris), Oppenheimer berteori, setelah keluar daerah Tanduk Afrika, 120.000 tahun lalu, Homo sapiens mengalami kemacetan populasi 74.000 tahun lalu.
Saat itu, populasi manusia diperkirakan menyusut dari puluhan ribu jiwa-menurut perhitungan Kenneth Weiss, 1984- menjadi 3.000-10.000 orang di Afrika. Lalu, 65.000 tahun lalu, populasi kecil Homo sapiens yang terisolasi tumbuh dan menyebar ke berbagai penjuru dunia, termasuk Nusantara hingga Australia. Populasi di Papua dan Aborigin menjadi bagian migrasi pertama manusia dari Afrika.
Pada 1998, antropolog Stanley H Ambrose dari University of Illinois mengusulkan “skenario musim dingin vulkanik” untuk menjelaskan kemacetan populasi manusia modern 71.000- 60.000 tahun lalu. Dengan mencocokkan tahun letusan Toba, Ambrose menyimpulkan, letusan gunung di Sumatera itu memicu musim dingin vulkanik dan menimbulkan kemacetan populasi.
Indonesia punya beberapa gunung api yang pernah meletus dahsyat. Misalnya, letusan Gunung Tambora pada 1815 di Sumbawa mengubur dua kerajaan, seperti dipaparkan Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Arkenas I Made Geriya. Menurut arkeolog dari Puslit Arkenas, Sugeng Riyanto, jejak letusan Sindoro mengubur peradaban Mataram kuno.
Hal itu menunjukkan daya bencana mengontrol migrasi dan membelokkan sejarah peradaban manusia Indonesia. Bukti terbaru adalah kedahsyatan tsunami di Aceh pada 2004. Aceh pulih karena bantuan warga Indonesia dan dunia. Di masa lalu, saat kita terkotak-kotak di komunitas dan kerajaan lokal, bencana berskala sebesar tsunami 2004 bisa menghabisi peradaban lokal.
———————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 November 2015, di halaman 14 dengan judul “Riwayat Bencana hingga Migrasi”.
————
Pertemuan Dua Budaya dalam Rumah Timor
Apa jadinya jika kebudayaan Afrika yang dibawa para migran pertama ke Nusantara sekitar 60.000 tahun lalu bertemu dengan kebudayaan Austronesia yang baru tiba di kepulauan ini sekitar 5.000 tahun lalu? Pulau Timor di Nusa Tenggara Timur menyimpan jawaban ini dalam arsitektur rumah mereka.
Pulau Timor di awal November 2015 terbakar teriknya matahari. Tanah kering, udara gerah. Orang-orang antre di ceruk sungai dan lembah yang menyisakan air, berebut dengan ternak. Di sepanjang jalan dari Soe, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan, menuju Desa Boti, pepohonan meranggas.
Namun, begitu memasuki desa tradisional Boti, udara terasa sejuk. Aneka jenis tanaman tumbuh merimbun, kontras dengan rumah-rumah berbentuk bulat dengan atap dari ilalang berwarna kelabu kehitaman.
Boti adalah salah satu desa tradisional di Pulau Timor yang masih mempertahankan adat mereka. Selain tetap memegang teguh agama leluhur, Halaika, mereka mempertahankan rumah bulat (umebubu) dan lopo, lumbung yang juga berbentuk bulat. Jika lopo dibangun tanpa dinding dan diperuntukkan bagi lelaki, umebubu yang diperuntukkan bagi rumah perempuan itu memiliki pintu satu, biasanya tingginya kurang dari satu meter, dan tanpa jendela. Struktur dalam umebubu terdiri atas dua lantai: bagian bawah untuk tidur dan lantai atas untuk menyimpan makanan dan bibit tanaman.
“Rumah-rumah bulat ini merupakan rumah tertua di Timor yang biasanya ditemukan di kawasan pegunungan tengah. Selain di Boti, juga bisa ditemukan di Desa Kaenbaun,” kata Djarot Purbadi, peneliti arsitektur tradisional Pulau Timor yang juga pengajar Fakultas Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Rumah bulat di Timor ditemukan secara luas di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan di bagian barat Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Dari sisi arsitektural, rumah bulat di Timor ini mengingatkan pada rumah honai yang banyak dijumpai di Papua. Rumah dengan bentuk sama juga banyak dijumpai di Afrika, misalnya rumah suku Zulu di Afrika Selatan dan rumah suku Ibel di Senegal, Afrika sebelah barat.
Kesamaan bentuk arsitektural antara rumah bulat di Timor dan rumah honai di Papua, ataupun rumah sejenis di Afrika tidak kebetulan, tetapi menandai anyaman sejarah dan kebudayaan di masa lalu. Seperti dikisahkan dalam tulisan sebelumnya, manusia modern (Homo sapiens) pertama kali tiba di Nusantara dan Australia sekitar 60.000 tahun lalu. Mereka datang dari Afrika (out of Africa) menyusuri garis pantai dan kini dikenal sebagai kelompok Papua dan Aborigin-Australia.
Berikutnya datang para migran dari Asia tengah atau Austroasiatik secara bergelombang hingga 10.000 tahun lalu. Selain itu, ada migrasi para penutur Austronesia dari Taiwan 5.000 tahun lalu. Komposisi tiga populasi migran utama itu mewarnai genetika manusia Indonesia, selain ada percampuran dari migran yang lebih belakangan seperti dari Arab, India, Tiongkok, dan negara-negara Eropa.
Rumah-rumah bulat jadi bukti migrasi manusia dari Afrika ke Nusantara, sekaligus menunjukkan kedekatan interaksi kebudayaan orang Timor dan orang Papua. Namun, bagaimana dengan rumah-rumah panggung berbentuk kotak yang banyak dijumpai di Pulau Timor?
Di Wehali, Kabupaten Malaka, dan perbatasan Lembata, rumah-rumah tradisional masyarakatnya berganti tipe jadi rumah panggung berbentuk persegi, mengingatkan pada arsitektur rumah tradisional Indonesia di bagian barat, seperti rumah Batak (Sumatera Utara) dan Toraja (Sulawesi Selatan), yang merupakan ciri arsitektur Austronesia.
Selain dari segi bentuk bangunan, rumah bulat dan rumah panggung persegi itu juga punya perbedaan teknologi dan penggunaan material. Dinding rumah bulat umumnya melingkar dengan garis tengah 3-5 meter, terbuat dari potongan kayu kecil atau ranting, bambu, atau di beberapa tempat dilapisi tanah liat. Adapun atapnya, yang menutup seluruh tubuh rumah itu hingga menyentuh permukaan tanah, terbuat dari rumput alang-alang yang dikeringkan.
Sementara itu, rumah panggung suku Wehali dibangun dari tiang-tiang kayu besar ditumpukan di atas batu dengan dinding dari papan atau anyaman bambu. Atap rumah mereka dari daun gowang atau lontar, dengan pembagian ruang lebih jelas antara lelaki dan perempuan.
Hal menarik dari Timor ialah, dua bentuk rumah berakar dari kebudayaan berbeda, yang dipisahkan periode kedatangan hingga puluhan ribu tahun ini, ternyata tersemai di tanah yang sama. Di banyak kebudayaan lain di Indonesia, hal itu biasanya tak terjadi beriringan. Itu menandai adanya komposisi genetika hampir berimbang antara tipe Papua dan Austronesia di Pulau Timor khususnya, dan NTT umumnya.
Zona transisi
Dari aspek fauna, Pulau Timor dimasukkan sebagai wilayah Wallacea, yaitu zona transisi yang punya keragaman jenis fauna Asiatik yang biasanya dijumpai di wilayah barat Nusantara, sekaligus memiliki fauna bercorak Australis dari Nusantara bagian timur. Zona transisi ini dibatasi Garis Wallacea dan Garis Weber. Garis Wallacea memanjang dari Selat Lombok ke Selat Makassar, sedangkan garis Weber memanjang dari Papua hingga Australia.
Transisi terhadap fauna ini juga terjadi pada populasi manusianya. Jika secara klasik manusia Indonesia dibagi dalam dua tipe, yaitu orang Papua yang menghuni Indonesia bagian timur dan penutur Austronesia yang menghuni Indonesia bagian barat, maka Pulau Timor dan pulau-pulau kecil lain di NTT menjadi zona transisi manusia dari dua tipe populasi.
Transisi itu terlihat jelas dari aspek bahasa sebagaimana ditunjukkan penelitian yang dilakukan Mona dkk (2009). Riset itu menemukan, sebagian orang di NTT masuk dalam kelompok penutur Central Malayo Polynesian (rumpun Austronesia), tetapi sebagian lainnya Trans New Guinea (rumpun Papua).
Transisi dan pembauran juga tampak jelas dari aspek genetika. Menurut ahli genetika lembaga biologi molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo, di NTT, ditemukan ada dua tipe genetik (haplotipe) dominan, yaitu Austronesia dan Papua. Sebanyak 19 haplogroup DNA mitokondria (penanda genetik dari jalur perempuan) bersumber dari Asia Timur (Austronesia), serta 6 haplogroup berasal dari Papua (Q1, Q2, P1, P1e, P4a, dan R14).
Adapun dengan menganalisis 35 penanda genetik biner kromosom Y (penanda genetik dari jalur lelaki) dapat diidentifikasi 14 macam haplogroup, 7 di antaranya berasal dari Papua (C-M38*, C-M208, M-M4*, M-P34, S-M230*, S-M254, dan K-M9*), sedangkan lainnya berasal dari genetik Asia timur (O-M122*, O-M134, O-M119, O-M175, NO-M214 dan C-RPS4Y*).
Menurut Herawati, komposisi tipe Papua dan Austronesia itu berlainan pada populasi berbeda. Namun, ada kecenderungan makin ke timur kian tinggi tipe genetika Papua-nya dibandingkan tipe Austronesia-nya. Sebagai contoh, frekuensi haplogroup kromosom Y Papua ditemukan sebesar 45.2 persen pada penutur Austronesia di Lembata, 84,4 persen di Adonara, dan 100 persen di Alor. Adapun frekuensi haplogroup mtDNA sebesar 0 persen pada penutur non-Austronesia di Timor Leste dan 70 persen pada penutur Austronesia di Pantar.
Dengan melihat struktur genetika itu, bisa dilihat bahwa masyarakat NTT memiliki sumbangan genetika dari penutur Austronesia dari Asia timur dan juga non-Austronesian dari penutur bahasa Papua. Bahkan, menurut Herawati, ditemukan juga komponen yang memberi jejak migrasi purba yang dimiliki juga oleh Aborigin-Australia.
Dengan demikian, secara genetik, NTT merupakan suatu melting pot yang menunjukkan ada pembauran manusia dan kebudayaannya secara intensif. “Pulau-pulau di NTT adalah contoh menarik terjadinya pembauran genetika yang terjadi secara kompleks dan berlangsung selama ribuan tahun,” ujarnya.
Jejak pembauran genetik ini memang tak terbantahkan meskipun tak bisa diketahui secara kasatmata karena membutuhkan penelitian biologi molekuler yang rumit. Namun, secara sederhana, jejak pembauran ini bisa diketahui dengan melihat variasi rumah tradisional Timor.
Sayangnya, kini ada pergeseran di sana-sini. Rumah-rumah tembok mulai bermunculan di desa-desa pedalaman di Timor dan perlahan menggantikan rumah tradisional yang dianggap tidak sehat. Bahkan, oleh pemerintah, rumah itu dianggap sebagai salah satu indikator kemiskinan.
AHMAD ARIF
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Desember 2015, di halaman 14 dengan judul “Pertemuan Dua Budaya dalam Rumah Timor”.