Sejak Desember 2008, lahan milik masyarakat itu ditanami tanaman jarak pagar (Jatropha curcas). Tahap pertama 200.000 pohon dan pada Desember 2009 lalu ditanam 300.000 pohon. Total 500.000 pohon atau sekitar 2.500 pohon per hektar (ha).
Penanaman jarak di Reroroja itu merupakan bagian dari proyek Pengembangan Ramah Lingkungan dengan Aneka Pemanfaatan Jarak Pagar di Indonesia (Environmentally Friendly Development by Multiple Use of Jatropha curcas in Indonesia). Proyek ini direncanakan berjalan selama tiga tahun, yakni dari tahun 2008 sampai 2011.
Penyelenggara proyek adalah kerja sama antara Yayasan Dian Desa (YDD) dengan Asian People’s Exchange (Apex), lembaga swadaya masyarakat (LSM) Jepang, yang didukung dana bantuan dari Kementerian Luar Negeri Jepang. Dana proyek yang sudah terkucur hingga tahun ini berkisar Rp 7 miliar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada 10 April telah diresmikan gedung Gathering Center sebagai pos pengumpulan biji jarak, juga proses pemecahan buah menjadi biji jarak.
Kemudian, pada tanggal 26 Agustus diresmikan Jatropha Center di lahan seluas 8 ha di Kampung Wairita, Desa Wairbleler, Kecamatan Waigete, Sikka. Peresmian dilakukan oleh Gubernur NTT Frans Lebu Raya.
Jatropha Center yang diresmikan terdiri atas gudang biji (288 meter persegi), gudang produksi dengan fasilitas ekstraksi dan pemurnian minyak (128 meter persegi), tempat penyimpanan minyak (192 meter persegi), tempat pengolahan limbah (96 meter persegi), serta kantor atau laboratorium (57 meter persegi), dengan kapasitas pengolahan biji 700 kilogram per jam.
Tanaman semak besar dengan cabang yang tidak teratur itu dinilai cocok ditanam di kawasan NTT sebagai daerah kering dan tandus. Tanaman tersebut dapat tumbuh pada tanah berbatu, tanah berpasir, tanah liat, bahkan di tanah yang kurang subur.
Tanaman jarak juga dapat tumbuh di dataran rendah, sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut, curah hujan 300-2.380 mm per tahun, temperatur tahunan 20-28 derajat celsius. Suhu di NTT 23-34 derajat celcius, curah hujan 800-3.000 mm per tahun.
Pihak pengelola pun mulai melakukan pembelian biji jarak dari masyarakat. Harga belinya Rp 2.500 per ember, yang isinya sekitar 2,5 kg biji. Bagi masyarakat Reroroja, harga itu sudah cukup membuat mereka senang karena sebelumnya biji jarak di NTT nyaris tak ada harganya atau sangat murah, berkisar Rp 500 per kg.
Sekian lama, masyarakat di NTT pun hanya memfungsikan tanaman jarak sebagai pagar hidup ataupun tanaman obat tradisional, antara lain untuk mengobati sakit kulit dan rematik, belum sampai untuk industri.
”Hasil dari penjualan biji jarak ini lumayan, bisa untuk menambah pemasukan keluarga. Lahan tidur juga menjadi hijau. Hasil penjualan cukuplah buat uang jajan anak-anak,” kata Kepala Desa Reroroja Sirilus Bajo.
Sirilus berharap, ke depan harga beli biji jarak bisa meningkat sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat desanya yang berpenduduk sekitar 6.000 jiwa atau 787 keluarga itu. Diharapkan, proyek tersebut juga tidak berhenti setelah tahun 2011.
Proyek berprospek
Proyek penanaman jarak ini merupakan proyek yang berprospek menjanjikan. Tak heran, Pemerintah Jepang merespons serius hingga mau mendanai proyek tersebut di Sikka dan mengeluarkan dana miliaran rupiah.
Direktur Eksekutif Asian People’s Exchange Nao Tanaka, Kamis (26/8) di Kabupaten Sikka, mengatakan, dipilihnya NTT, khususnya Kabupaten Sikka, karena NTT memiliki lahan kritis yang luas dan cocok untuk penanaman jarak. Data Direktorat Jenderal Perkebunan tahun 2006 menyebutkan, lahan di NTT yang berpotensi untuk pengembangan jarak seluas 1.750.888 ha.
Konselor Kedutaan Besar Jepang di Jakarta Takashi Yoshizawa mengemukakan, kegiatan budidaya jarak sebagaimana di Reroroja selain mendukung penghijauan dan mitigasi pemanasan global, juga memperbaiki masalah pasokan energi.
Tanaman jarak mulai berbuah pada umur lima bulan dan mencapai produktivitas penuh pada umur lima tahun. Dengan pemeliharaan yang baik, umur tanaman ini bisa mencapai 50 tahun. Dengan tingkat populasi tanaman 2.500 pohon per hektar, produktivitas rata-rata antara 7,5 dan 10 ton biji per hektar. Jika kandungan minyak jarak sebesar 30 persen dan yang dapat terekstrak sebesar 25 persen, dari setiap hektar lahan dapat diperoleh 1,9-2,5 ton minyak per hektar per tahun.
Cadangan minyak bumi dunia ataupun Indonesia juga sangat terbatas. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2006 menyebutkan, cadangan minyak bumi di Indonesia hanya sekitar 9 miliar barrel, produksi Indonesia hanya sekitar 500 juta barrel per tahun. Jika terus dikonsumsi dan tidak ditemukan cadangan minyak baru atau teknologi baru, diperkirakan cadangan minyak bumi Indonesia akan habis pada 19 tahun mendatang.
Indonesia perlu mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dengan mengembangkan sumber energi alternatif terbarukan, salah satunya biodiesel, bahan bakar nabati (BBN) sebagai pengganti bahan bakar mesin untuk motor diesel.
Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional telah menetapkan bauran minyak bumi sebagai energi akan dikurangi dari 52 persen pada saat ini hingga kurang dari 20 persen pada tahun 2025. Energi alternatif diharapkan dapat menyuplai 17 persen terhadap bauran energi nasional, termasuk di dalamnya biofuel atau BBN ikut memasok sebanyak 5 persen.
Produksi biodiesel
Jatropha Center juga telah memproduksi biodiesel, yang hasilnya telah diuji coba selama tujuh hari pada generator penghasil listrik Subranting Magepanda PLN Cabang Flores Bagian Timur, sekitar bulan Juli. Dari pengolahan 4 kg biji jarak itu dapat menghasilkan biodiesel 1 liter.
Dari keberhasilan uji coba itu PLN Wilayah NTT pun membuat nota kesepahaman akan membeli minyak jarak dari Jatropha Center Maumere. Pasalnya, dengan biodiesel, harga bahan bakar lebih murah, yakni berkisar Rp 9.000 per liter jika dibandingkan dengan PLN harus membeli solar dengan harga industri di Pertamina, yaitu Rp 12.000-Rp 13.000 per liter.
Keberanian dan kejelian YDD dan Apex dalam mengembangkan budidaya jarak pagar di Maumere menunjukkan bahwa sebenarnya terdapat peluang besar untuk menciptakan industri baru.
Pemerintah Jepang saja menaruh perhatian begitu besar pada pengembangan industri biodiesel di NTT dan mau mengeluarkan uang sampai Rp 7 miliar untuk ”uji coba” proyek jarak pagar. Pertanyaannya, bagaimana respons Pemerintah Kabupaten Sikka, Pemprov NTT, ataupun pemerintah pusat? (SAMUSEL OKTORA)
Sumber: Kompas, Sabtu, 27 November 2010 | 04:07 WIB
Keteranagan foto: Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya (nomor 2 dari kiri) sedang mendengarkan penjelasan Direktur Eksekutif Asian People’s Exchange (Apex) Nao Tanaka (nomor 3 dari kiri) terkait sejumlah fasilitas di gudang produksi Jatropha Center di Kampung Wairita, Desa Wairbleler, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.