Upaya memajukan teknologi informasi dan komunikasi di setiap provinsi telah dirasakan, tetapi capaian itu belum cukup mampu mengikis jarak senjang yang terbangun. Diperlukan puluhan tahun…
KOMPAS/PRIYOMBODO Seorang warga berjalan setelah mencari karaka atau kepiting bakau khas Papua di Otakwa, Distrik Mimika Timur Jauh, Mimika, Papua, Senin (4/3/2019).
Upaya memajukan teknologi informasi dan komunikasi di setiap provinsi telah dirasakan, tetapi capaian itu belum cukup mampu mengikis jarak senjang yang terbangun. Diperlukan puluhan tahun bagi provinsi-provinsi tertinggal untuk mengejar provinsi maju. Jika hanya mengandalkan pada capaian setiap provinsi saat ini, mustahil pemerataan terwujud.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Esensi dan eksistensi tidak selalu sejalan. Salah satu esensi kehadiran teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK) misalnya, tidak lain sebagai suatu kreasi ciptaan manusia yang memfasilitasi keterbatasan manusia dalam mengendalikan ruang dan waktu yang dihadapinya.
Dengan teknologi sebagai kreasi inovasi, harapannya kerja-kerja produktif manusia semakin berkualitas, tidak lagi terkendala sekat-sekat ruang dan waktu.
Esensi teknologi semacam itu tampaknya masih tetap berada dalam tataran ideal. Teknologi nyatanya dihadirkan dengan tidak bebas nilai. Penguasa ekonomi dan politik, ataupun negara yang sekaligus menjadi pengendali kebijakan teknologi dengan segenap orientasinya, terbukti memegang peran paling signifikan.
Jika dalam kendali negara yang benar, kehadiran ataupun eksistensi teknologi sejalan dengan esensi idealnya. Sebaliknya, dalam kendali yang keliru, eksistensi teknologi hanya akan menguntungkan pihak-pihak yang menguasainya.
Becermin pada dialektik esensi dan eksistensi teknologi tersebut, menarik dicermati esensi kehadiran TIK dalam praktik pengelolaan negeri ini. Isu kesenjangan digital (digital divide), misalnya, relevankah di negeri ini? Sudah seberapa jauhkah kehadiran TIK ataupun perkembangannya mampu mempersempit ketertinggalan di antara sejumlah wilayah yang tersebar luas itu? Ataukah, justru kehadiran TIK semakin memperlebar jarak senjang di antara provinsi?
Menarik mencermati publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) yang sejak 2015 secara berkala menampilkan Indeks Pembangunan TIK (IP-TIK). Indeks ini mencoba memotret kondisi pembangunan TIK di semua provinsi. Berdasarkan indeks itu, dapat diperkirakan seberapa besar jarak senjang TIK terbangun.
Indeks disusun oleh 11 indikator. Seluruh indikator merepresentasikan tiga aspek ataupun kondisi pembangunan TIK, yaitu ”akses dan infrastruktur”, ”penggunaan”, serta ”keahlian” TIK di setiap provinsi.
Hasil pengukuran terakhir, IP-TIK 2017, menunjukkan skor Indonesia 4,99. Skor ini berada di antara rentang skor indeks 0-10. Tinggikah? Secara kualitas, skor sebesar itu masuk dalam kategori ”Sedang”.
Dibandingkan dengan capaian pada tahun sebelumnya, terdapat perkembangan positif. Tahun 2016, misalnya, skor IP-TIK 4,34. Begitu pula pada 2015, sebesar 3,88. Semua tetap dalam kategori ”Sedang”.
Apabila dielaborasi berdasarkan setiap aspeknya, skor ”akses dan infrastruktur” yang terdiri dari indikator pelanggan telepon dan persentase penguasaan komputer, akses internet di negeri ini tergolong tinggi. Begitu pula aspek ”keahlian” yang meliputi rata-rata lama sekolah serta angka partisipasi kasar pendidikan sekunder dan tersier tergolong tinggi.
Namun, skor yang tergolong rendah terdapat pada aspek ”penggunaan”. Aspek ”penggunaan” merujuk pada berbagai indikator yang menunjukkan proporsi penduduk dalam mengakses internet ataupun pelanggan internet broadband yang masih ”Rendah”.
Dari grafik itu jelas terlihat bahwa secara nasional terjadi peningkatan signifikan pembangunan TIK. Peningkatan terjadi pada seluruh aspek dan indikator yang dikaji.
Akan tetapi, capaian peningkatan indeks tersebut akan menjadi berbeda maknanya jika ditelusuri lebih detail hingga tingkat provinsi. Di balik kemajuan, tergambar jarak perbedaan kondisi yang besar di antara provinsi. Pada sisi inilah digital divide menjadi persoalan.
Dalam indeks, BPS mengelompokkan capaian 34 provinsi di seluruh Indonesia dalam empat kualitas capaian. Pertama, kelompok provinsi dengan capaian pembangunan TIK tergolong ”Tinggi”. Pada kelompok ini, terdapat 9 provinsi, di antaranya DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Kalimantan Timur, dan Bali.
Jika dicermati, sepanjang tiga kali publikasi indeks (2015- 2017), tidak terdapat perubahan signifikan dalam kelompok tersebut. Posisi ke-9 provinsi relatif tetap dan tidak tergantikan oleh provinsi-provinsi lainnya.
Kedua, kelompok provinsi dengan capaian pembangunan TIK yang ”Sedang”. Masuk dalam kelompok ini, ada delapan provinsi, di antaranya Riau, Jawa Timur, Sumatera Barat, ataupun Kalimantan Selatan.
Pada kelompok itu, terjadi perubahan konfigurasi. Sebelumnya, Provinsi Jambi dan Bangka Belitung tergolong ”Sedang”, tetapi kini posisi kedua provinsi melorot. Sebagai gantinya adalah Jawa Tengah, yang tergolong pesat dalam capaian.
Ketiga, kelompok provinsi yang capaian indeksnya tergolong ”Rendah”. Terdapat sembilan provinsi di kelompok ini, di antaranya Gorontalo, Jambi, Sumatera Utara, Papua Barat, dan Bangka Belitung.
Pada kelompok ”Rendah” juga terjadi beberapa perubahan. Selain Bangka Belitung dan Jambi, Provinsi Gorontalo juga mengalami peningkatan dan menjadi bagian dari kelompok ”Rendah”. Namun, sebaliknya, Aceh yang sebelumnya masuk kelompok ”Rendah” kini masuk dalam kelompok lebih rendah.
Keempat, kelompok provinsi dengan skor paling bawah dan terkategorikan sebagai kelompok ”Sangat Rendah”. Kalimantan Barat, Papua, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Aceh, dan Lampung menjadi bagian dengan capaian indeks terendah.
Jika membandingkan skor capaian kelompok provinsi ”Sangat Rendah” dan membandingkannya dengan skor indeks nasional, perbedaan terlihat cukup mencolok. Ambil contoh provinsi dengan jarak perbedaan skor terbesar, yaitu Papua, yang berselisih 2,4 poin. Dengan menghitung rata-rata kecepatan pertumbuhan indeks IP-TIK Papua selama tiga tahun terakhir, masih diperlukan sekitar 10 tahun bagi Papua untuk menyamai kondisi rata-rata Indonesia saat ini.
Potret senjang yang lebih kontras tampak jika dibandingkan kelompok provinsi berskor indeks ”Sangat Rendah” dengan kelompok provinsi berskor ”Tinggi”. Mengingat jarak perbedaan yang terbangun, diperlukan puluhan tahun bagi kelompok provinsi ”Sangat Rendah” untuk menyamai capaian kelompok provinsi ”Tinggi”.
Papua (provinsi dengan skor terendah) kesulitan mengatasi ketertinggalannya dengan DKI Jakarta (provinsi dengan skor tertinggi) karena perbedaan indeks lebih dari 3,5 poin. Apabila hanya menghitung rata-rata pertumbuhan indeks Papua, diperlukan waktu 17 tahun bagi provinsi tersebut untuk menyamai kondisi DKI Jakarta.
Lantas, pada saat yang bersamaan, kapan Papua mendekati kondisi DKI Jakarta? Dengan kecepatan pertumbuhan pembangunan TIK yang dicapai provinsi tersebut dan membandingkannya dengan kecepatan pertumbuhan DKI Jakarta, kalkulasi sederhana menunjukkan diperlukan waktu 37 tahun bagi Papua untuk mengejar pertumbuhan DKI Jakarta. Baru pada 2054 kondisi TIK kedua provinsi itu dapat dipadankan.
Bagaimana dengan provinsi- provinsi lain yang capaian indeks IP-TK tergolong ”Sangat Rendah”? Dengan perhitungan yang sama, diperlukan 28,5 tahun bagi NTT. Begitu pun bagi Kalbar, NTB, Sulbar, dan Maluku Utara, masih perlu berpuluh tahun lagi untuk mengejar kondisi TIK seperti yang dirasakan warga DKI Jakarta.
Inilah potret persoalan eksistensi teknologi sesungguhnya. Jika tidak ada perubahan yang radikal, dapat dipastikan jarak senjang akan terus-menerus terpelihara. Permasalahan semacam ini jelas mengkhawatirkan, terlebih jika dikaitkan usia republik yang telah berjalan 74 tahun. (LITBANG KOMPAS)
Oleh BESTIAN NAINGGOLAN
Sumber: Kompas, 23 Agustus 2019