Pandemi Covid-19 memaksa dunia pendidikan mengubah metode belajar-mengajar siswa dari tatap muka menjadi belajar jarak jauh. Namun, tak semua anak bisa melakukannya karena keterbatasan ekonomi dan kondisi geografis.
DOKUMENTASI DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT–Seorang guru mengajar dari rumah ke rumah di Desa Taniwel, Kabaten Seram Bagian Barat, Maluku, pada Jumat (4/6/2020).
Pandemi Covid-19 memaksa dunia pendidikan mengubah metode belajar-mengajar siswa dari tatap muka menjadi belajar jarak jauh. Namun, tak semua anak bisa melakukannya. Jangankan jaringan internet, telepon genggam pun mereka tak punya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Alan Latumutuani (11) menghitung jari tangan dan kaki, lalu menuliskannya ke dalam angka. Kemudian, ia meletakkan pena, menutup lembaran buku, dan menghampiri ayahnya, Dance Latumutuani (41), yang duduk mengawasinya. Ia memberi tahu bahwa tugas Matematika dari guru sudah dikerjakan.
Dance belum yakin. Ia memeriksa pekerjaan Alan sebelum mengizinkan anaknya yang duduk di bangku kelas V Sekolah Dasar Kristen Piliana itu bermain. Piliana berada di bawah kaki Gunung Binaiya di Pulau Seram, Kecamatan Telutih, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku.
Mulai Senin hingga Sabtu, Dance meluangkan waktu satu jam untuk menemani Alan belajar atau mengerjakan tugas dari guru, yang sesekali mengunjungi rumah mereka. ”Kalau tidak diawasi, anak-anak tak belajar,” kata Dance, Minggu (12/7/2020).
Sejak Covid-19 merebak Maret lalu, kegiatan belajar-mengajar di sekolah
dihentikan. Banyak sekolah menerapkan pembelajaran jarak jauh. Mereka mengajak siswa memakai telepon genggam sebagai sarana komunikasi. Telepon itu harus memiliki aplikasi yang terhubung dengan jaringan internet.
Menurut Dance, sistem belajar semacam itu tidak bisa diterapkan di sana. Selain sulitnya jaringan internet, banyak anak berasal dari keluarga ekonomi lemah. ”Jangankan beli HP (handphone/telepon genggam), beli beras saja susah,” ujarnya.
Harga gawai lengkap dengan aplikasi berbasis internet di daerah itu paling murah Rp 1,8 juta. Belum lagi biaya pembelian pulsa internet. Warga yang rata-rata hidup di bawah garis kemiskinan tak sanggup memenuhi kebutuhan itu.
Guna menyiasati hal itu, di Kabupaten Seram Bagian Barat, pihak sekolah mengunjungi siswa di rumah. Khusus siswa sekolah dasar, tanggung jawab itu dibebankan kepada wali kelas. ”Tiap siswa akan mendapat pendampingan dari guru,” kata Kepala Dinas Pendidikan Seram Bagian Barat Masudin Sangadji.
Kondisi serupa dialami anak-anak di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Mereka tak bisa belajar daring di rumah karena buruknya jaringan internet. Akhirnya, lahir program Labewa, belajar melalui siaran radio oleh guru.
”Selamat siang teman-teman, kembali menemani pendengar di Labewa, Lagu dan Belajarnya Anak Wamena, dari RRI Wamena,” sapa Sara Gombo (15) di ruang siaran RRI Wamena, Kamis (2/7).
Kemudian, Ratna, guru SD Inpres Kulitarek, menyapa dan mengingatkan anak-anak untuk menyiapkan buku catatan dan alat tulis. ”Apa kabar adik-adik di rumah? Hari ini kita belajar sejarah telepon, setelah itu kitong akan bermain membuat telepon dengan kaleng,” tutur Ratna.
Sementara Aprilio (9), siswa kelas IV SD, didampingi ibunya di rumah, di Jayawijaya, mendengarkan siaran RRI yang dibawakan Ratna. Ia siap dengan buku catatan, pensil, dan penghapus di atas meja belajar lipat. Sambil mendengarkan, ia mencatat materi tentang Alexander Graham Bell, penemu telepon.
Aprilio belajar di rumah selama wabah Covid-19. Awalnya, guru-guru memberi tugas untuk dikerjakan siswa di rumah. Namun, banyak anak belum bisa mengerjakan tugas karena tak paham dan tidak ada yang menjelaskan.
Lembaga Wahana Visi Indonesia (WVI) bekerja sama dengan stasiun radio milik pemerintah, Dinas Pendidikan Jayawijaya, dan Forum Anak Wamena menyiarkan program Labewa tiap Selasa dan Kamis. Menurut Joko Prasetiyo, Area Program Manager WVI Pegunungan Tengah Papua, program itu melibatkan anak-anak sebagai penyiar.
Berdasarkan pendataan Pemerintah Provinsi Papua, hanya 46 persen dari 608.000 pelajar di Papua yang dapat mengikuti pembelajaran jarak jauh di tengah pandemi. Menurut Kepala Dinas Pendidikan, Perpustakaan, dan Arsip Daerah Papua Christian Sohilait, sebagian pelajar yang tak dapat belajar daring ataupun melalui siaran radio ada di pedalaman.
Kendala dalam pembelajaran jarak jauh pun dialami siswa di ibu kota Jakarta. Guru kelas I sekaligus Wakil Kepala SD Negeri 06 Pagi Tanjung Duren Bidang Kurikulum, Len Sumarni, menuturkan, setidaknya ada tiga siswanya yang kesulitan mengakses gawai.
Putus sekolah
Penutupan sekolah akibat pandemi Covid-19 berdampak buruk pada hasil pembelajaran jutaan anak di dunia, termasuk Indonesia. Efek pandemi menambah kendala yang dihadapi anak-anak miskin dalam menuntaskan pendidikan.
Laporan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) 2020 yang diterbitkan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 7 Juli 2020 menyebut, penutupan sekolah menghambat akses pendidikan. Penutupan sekolah di lebih dari 190 negara, termasuk Indonesia, mengakibatkan 90 persen atau 1,5 miliar siswa tak dapat sekolah. Sekitar 500 juta siswa atau 33 persen tak bisa mengikuti pembelajaran jarak jauh karena kendala akses perangkat teknologi dan internet.
Kesenjangan digital membuat anak yang selama ini terpinggirkan kian tersisih. Di Indonesia, banyak siswa belum memiliki akses pada komputer dan internet. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2019, baru 53,06 persen siswa usia 5-24 tahun yang bisa mengakses internet dan 23,5 persen siswa memakai komputer.
Survei Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 3-8 April 2020 menyebut, 30,6 persen SD menerapkan pembelajaran jarak jauh secara luring atau di luar jaringan karena akses internet terbatas. Menurut catatan Kompas, sejumlah anak berhenti sekolah karena faktor geografis.
Karena itu, kata Wakil Sekretaris Jenderal untuk Urusan Ekonomi dan Sosial PBB Liu Zhenmin, penutupan sekolah yang berkepanjangan menyebabkan tingkat retensi (kemampuan mengingat materi) dan kelulusan lebih rendah serta memperburuk hasil belajar. Hal itu terutama terjadi pada siswa yang rentan, termasuk dari keluarga miskin dan siswa penyandang cacat.
Mengutip Anggi Afriansyah, peneliti sosiologi pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, diperlukan kebijakan yang fleksibel dan berpihak kepada siswa marjinal. (FRANS PATI HERIN/FABIO LOPES/FAJAR RAMADHAN/YOVITA ARIKA)–Oleh TIM KOMPAS
EditorEVY RACHMAWATI
SUMBER: KOMPAS, 13 Juli 2020