Pemerintah berencana membangun pusat riset nasional di ibukota negara baru. Indonesia sebenarnya sudah memiliki pusat riset serupa yaitu Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, namun kurang berkembang optimal.
Rencana pemerintah membangun pusat riset nasional di kawasan ibukota negara baru disambut peneliti. Meski demikian, Indonesia sebenarnya sudah memiliki pusat riset serupa yaitu Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, namun kurang berkembang optimal.
KOMPAS/PUSPIPTEK.RISTEKDIKTI.GO.ID–Salah satu gedung baru di kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Serpong, Tangerang Selatan, Banten.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketua Himpunan Peneliti Indonesia (Himpenindo) Syahrir Ika di Jakarta, Senin (2/12/2019), menyambut baik rencana Presiden membangun pusat riset nasional di ibukota negara baru. Kawasan itu diharapkan bisa melahirkan pengetahuan yang menghasilkan invensi atau temuan dan mampu mengubahnya menjadi inovasi yang bisa dikomersialisasikan.
“Masih ada kesenjangan antara riset dan inovasi. Indonesia memiliki banyak riset di berbagai kementerian, lembaga maupun perguruan tinggi, namun belum bisa dikembangkan menjadi inovasi,” katanya.
Rencana pembangunan pusat riset nasional di kawasan ibukota negara baru di Kalimantan Timur itu disampaikan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (2/12), saat menjawab pertanyaan Kompas dalam bincang-bincang dengan media. Klaster khusus riset dan inovasi itu nanti mampu menampung 200.000-300.000 periset, termasuk peneliti Indonesia yang saat ini tersebar di berbagai negara.
“Ini disiapkan dulu kelembagaannya. Tempatnya, saya sudah bayangkan, gede banget ini,” katanya. Saat ini, Kementerian Riset dan Teknologi memang sedang menyelesaikan struktur Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang akan mengatur seluruh proses riset dan inovasi ke depan.
Meski demikian, Indonesia sebenarnya sudah memiliki kawasan riset dan inovasi semacam itu, yaitu Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) yang ada di Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Saat ini, Puspiptek memiliki 50-an pusat, balai dan balai besar yang melakukan riset dan pengembangan dalam berbagai bidang dan menampung lebih dari 5.000 peneliti, perekayasa dan tenaga penunjang lain.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Peneliti dari Pusat Penelitian Metalurgi dan Material Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan pembuatan ultrafine grained magnesium karbonat dari material dolomit, di laboratorium Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI, Puspitek, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (13/8/2019).
Puspiptek dibangun sejak 1976. Namun seiring bergantinya kepemimpinan negara, Puspiptek dianggap kurang berkembang. Banyak instrumen risetnya menua. Industri yang masuk pun masih terbatas. Belum lagi, kawasan sekitar Puspiptek sudah dikepung berbagai kawasan perumahan penduduk yang padat.
Pemerintah merevitalisasi Puspiptek dan menjadikannya sebagai Kawasan Sains dan Teknologi Nasional (NSTP) sejak 2013. Revitalisasi itu diharapkan bisa menjadikan Puspiptek sebagai lembaga yang mampu mendorong inovasi dan pertumbuhan ekonomi serta menciptakan lapangan kerja berbasis iptek.
Karena itu, Syahrir berharap pembangunan kawasan riset nasional di ibukota baru itu tidak mengabaikan keberadaan Puspiptek yang sudah ada. Namun justru memperbanyak pusat-pusat riset dan inovasi yang mampu menghubungkan peneliti dengan industri.
Daya saing
Syahrir menambahkan inovasi penting untuk meningkatkan daya saing bangsa. Karena itu, pusat riset dan inovasi di kawasan ibukota negara baru itu diharapkan bisa memperbaiki iklim riset dan inovasi serta mendekatkan hubungan antara peneliti dengan industri maupun pemerintah.
Terkait wacana mendatangkan peneliti diaspora Indonesia yang tersebar di berbagai negara, Syahrir menilai hal itu tidak perlu dipersoalkan. Riset sejatinya memproduksi pengetahuan global, sehingga dari mana latar belakangnya seharusnya tidak perlu dipersoalkan atau dipertentangkan dengan peneliti lokal sepanjang sama-sama bisa produktif menghasilkan pengetahuan baru.
“Penggabungan kompetensi para peneliti, baik diaspora maupun domestik, bisa menghasilkan inovasi yang kuat,” tambah Syahrir yang menjadi peneliti di Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan.
Upaya mendorong inovasi melalui pembangunan kawasan riset nasional itu diharapkan meningkatkan anggaran riset Indonesia yang baru mencapai 0,25 persen dari produk domestik bruto (PDB). Pemerintah dalam visi Indonesia 2045 pun sudah menargetkan anggaran riset sebesar 2,5 persen PDB pada 2040,
Sementara Badan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (Unesco) sudah menyarakankan anggaran riset sebesar 2 persen PDB untuk mendorong riset dan inovasi yang berkualitas.
Tantangannya, dana riset di Indonesia sekitar 80 persennya disumbang pemerintah dan sisanya swasta. Kondisi itu terbalik dengan riset di negara-negara maju yang sebagian besar dananya disumbang oleh industri.
Situasi itu dinilai Syahrir karena riset yang dilakukan peneliti Indonesia belum sesuai kebutuhan industri. Karena itu, pemerintah harus menghubungan antara kebutuhan industri dengan riset yang dilakukan peneliti. Konsep triple helix yang menghubungkan peneliti, industri dan pemerintah perlu dijalankan secara konsisten.
Oleh M ZAID WAHYUDI / FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 3 Desember 2019