Langit biru dan hangatnya mentari pagi menyelimuti Bandar Udara Internasional Husein Sastranegara, Bandung, Rabu (16/8).
Ratusan karyawan PT Dirgantara Indonesia berdiri berjajar di depan Hanggar Fixed Wing dan tepi landas pacu. Wajah mereka bersemangat dan penuh kebahagian meski ada pula ketegangan.
Di ujung landasan, sebuah pesawat kecil berwarna putih dengan tulisan N219 besar siap lepas landas. Tepat pukul 09.13, pesawat buatan PT DI bersama Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) itu pun bergerak dan mengudara untuk pertama kali.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Riuh tepuk tangan menggema. Sebagian karyawan berteriak haru, berkaca-kaca, berpelukan bahagia, dan sujud syukur. Pesawat kecil yang digagas sejak 2006 sesuai kondisi daerah terpencil di Papua tersebut akhirnya terbang juga. Sekitar 30 menit kemudian, pesawat itu mendarat dan melaju di landasan. Tepuk tangan menggema lagi.
Setelah N219 berhenti di depan hanggar, sejumlah orang langsung mengerubungi pesawat, menyambut dan mengelu-elukan awak pesawat yang sukses menerbangkan N219. Di antara awak itu, Esther Gayatri Saleh selaku Kepala Pilot Uji PT DI dan kapten penerbangan (pilot in command) terbang perdana itu adalah ratunya.
“Pesawat bekerja baik, respons pesawat sesuai dengan yang diprediksikan,” kata Esther dengan parasut darurat masih menempel di punggungnya. Meski bangga bisa menerbangkan N219 pertama kali, ketegangan di wajahnya belum reda.
Awak pesawat lainnya adalah kopilot (first officer) Kapten Adi Budi Atmoko dan dua flight test engineer Yustinus Wardana dan M Iqbal Hoedaya.
Proses panjang
Di tengah kondisi riset dan inovasi nasional belum membaik, dana terbatas, serta pesimisme sejumlah kalangan terhadap kemampuan perekayasa industri dirgantara Tanah Air belum hilang, pesawat N219 berhasil terbang. Ini adalah kali kedua dalam sejarah Indonesia karya perekayasa dirgantara Indonesia mampu mengudara.
Pesawat buatan Indonesia pertama yang berhasil terbang adalah N250 pada 10 Agustus 1995. Suasana penerbangan perdana N250 jauh berbeda dengan N219. Saat itu, upacara besar-besaran digelar dan dihadiri Presiden Soeharto. Karyawan PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), nama lama PT DI, hanya bisa menyaksikan dari jauh.
Namun, N250 yang merupakan pesawat canggih di zamannya dan dirancang dengan bantuan sejumlah ahli asing terhenti pengembangannya akibat krisis moneter 1998. Krisis itu juga memaksa PT DI merestrukturisasi besar-besaran perusahaan, termasuk merumahkan 12.000 karyawan.
Dalam masa suram itu, di tengah titik nadir PT DI pada 2007, sejumlah perekayasa yang tersisa merancang pesawat yang dianggap paling sesuai untuk memenuhi kebutuhan penerbangan di daerah terpencil Indonesia. “PT DI ingin perekayasa tetap bersemangat meski pekerjaan untuk mereka sudah tak ada lagi,” kata Direktur Utama PT DI Budi Santoso.
Proyek itu juga diharapkan mampu meneruskan kemampuan dan pengalaman perekayasa senior kepada generasi muda, menjaga keberlanjutan kemampuan penguasaan teknologi dirgantara dari ahli yang terlibat dalam pembuatan N250. “Kini, separuh dari 4.400 karyawan PT DI berumur di atas 55 tahun. Sisanya berumur di bawah 26 tahun,” kata Asisten Teknis Bidang Pengembangan Pesawat Terbang PT DI yang sebelumnya menjabat Direktur Teknologi PT DI Andi Alisjahbana.
Desain pesawat mulai dibuat pada 2014 dan sejumlah komponen mulai diproduksi 2015. Berbeda dengan pengembangan N250 yang semua prosesnya dikerjakan PT DI, riset dan pengembangan N219 dilakukan Lapan. Keikutsertaan lembaga pemerintah dalam pendanaan N219 akan sangat membantu PT DI sehingga harga jual N219 lebih kompetitif.
Beriringan dengan produksi komponen, sertifikasi pun dilakukan Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara Kementerian Perhubungan. Karena difokuskan untuk pasar Indonesia, sertifikasi N219 di dalam negeri dinilai cukup. Berdasarkan pengalaman sertifikasi N250 melalui lembaga asing, sertifikasi jadi tantangan karena tidak bebas dari kepentingan politik.
Terlebih, acuan aturan sertifikasi yang digunakan di Indonesia ataupun lembaga sertifikasi di Amerika Serikat dan Eropa sama, yaitu aturan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO). Karena N219 berkapasitas kurang dari 20 penumpang, pedoman sertifikasinya adalah Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 23 (CASR Part 23).
“Sertifikasi N219 turut meningkatkan kemampuan sertifikator Indonesia, kemampuan yang tak dimiliki banyak negara di dunia,” kata Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Agus Santoso.
Meski dilakukan di dalam negeri, sertifikasi tetap berjalan ketat. Hal ini membuat rencana penerbangan perdana terus mundur sejak awal 2016.
Kepala Program N219 PT DI Budi Sampurno mengatakan, selama proses integrasi komponen pesawat, ada 500 komponen dan 200 unit rakitan yang harus disesuaikan dan dikaji ulang.
Setelah tertunda 1,5 tahun, N219 akhirnya terbang. Ini bukan berarti sertifikasi dan tantangan bagi N219 selesai. Dua purwarupa pesawat N219 masih harus menjalani uji terbang hingga 300 jam serta dua purwarupa lainnya wajib menjalani tes tingkat kelelahan (fatigue test) di darat dengan menguji pesawat menggunakan beban, kondisi lepas landas, terbang, dan mendarat hingga 3.000 kali.
Jika sejumlah tes itu dapat dijalani, N219 diharapkan bisa diproduksi pada 2018 dan masuk pasar pada 2019. Meskipun demikian, tekanan politik industri pesawat global dan negara-negara lain tetap ada meski tak banyak lagi industri pesawat yang memproduksi pesawat kecil. Meski demikian, keyakinan para penentu kebijakan di Indonesia jauh lebih penting. Tanpa dukungan mereka, inovasi ahli dan perekayasa Indonesia hanya menjadi cerita indah.
“Negara lain tak khawatir berapa banyak publikasi ilmiah dan paten asal Indonesia. Tapi, mereka takut jika pemerintah berkomitmen memakai produk hasil inovasi anak bangsa,” kata Ketua Dewan Riset Nasional Bambang Setiadi, beberapa waktu lalu. (SEM/YUN/MZW)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Agustus 2017, di halaman 1 dengan judul “Jalan Berliku Pesawat N219”
—————-
Industri Dirgantara Bangkit
N219 Jadi Momentum Kebangkitan Teknologi Indonesia Kedua
Sejak penerbangan pertama pesawat N250 pada 1995, industri dirgantara Indonesia mati suri. Di tengah keterpurukan dan keterbatasan, sebuah pesawat baru murni rancangan dan buatan anak negeri, N219, berhasil diterbangkan untuk pertama kali sehari sebelum ulang tahun ke-72 kemerdekaan RI.
Penerbangan perdana pesawat berkapasitas 19 penumpang itu dilakukan dari landas pacu Bandar Udara Internasional Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat, Rabu (16/8). Pesawat berhasil terbang selama 30 menit pada ketinggian hingga 8.000 kaki atau sekitar 2.400 meter di atas kawasan Batujajar dan Waduk Saguling, Bandung Barat.
Terbang pertama menjadi satu titik krusial pembuatan pesawat karena pesawat yang semula hanya rancangan di atas kertas diuji kemampuannya terbang dengan aman. Dalam uji, penerbangan purwarupa pesawat Nusantara 219 atau N219 dengan nomor pesawat PK-XTD itu dilakukan oleh pilot penguji senior PT Dirgantara Indonesia (PT DI), Kapten Esther Gayatri Saleh, beserta tiga awak lain.
Penerbangan perdana pesawat N250 pada 10 Agustus 1995 diperingati sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional. Karena itu, tak berlebihan jika hari penerbangan pesawat N219 dianggap sebagai momentum kebangkitan teknologi Indonesia kedua.
“Terlebih program N250 tidak selesai disertifikasi dan tidak sampai produksi,” kata Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Thomas Djamaluddin. Pesawat N250 merupakan pesawat dengan berbagai fitur teknologi canggih di zamannya. Krisis moneter membuat proyek besar itu harus terhenti.
Keberhasilan N219 terbang menunjukkan Indonesia masih menguasai teknologi dirgantara, sebuah kemampuan yang tak banyak dimiliki negara lain. “Dengan terbangnya pesawat N219, kami ingin menunjukkan kepada industri penerbangan dunia dan masyarakat Indonesia bahwa PT Dirgantara Indonesia masih ada,” kata Kepala Perekayasa Pesawat N219 PT DI Palmana Banandhi.
Sesuai kebutuhan
Dibandingkan pesawat N250, pesawat N219 memang tidak canggih. Namun, pesawat kecil itu dinilai paling sesuai dengan kebutuhan Indonesia yang ingin menghubungkan daerah terpencil dan pedalaman dengan kondisi infrastruktur penerbangan yang terbatas.
Pesawat didesain mampu menerbangi wilayah pedalaman Pegunungan Papua dengan ketinggian lebih dari 6.000 kaki atau 1.800 meter dan memiliki panjang landasan lapangan terbang sekitar 500 meter. Pesawat ini diharapkan mampu menggantikan pesawat-pesawat tua sekelas yang digunakan di pedalaman seperti Twin Otter atau CASA 212 karena pesawat itu sudah tidak diproduksi di negara asalnya.
Rancangan khusus N219 membuat pesawat ini mampu membawa muatan lebih banyak dibandingkan pesawat sekelas. Bagian dalam pesawat juga bisa diubah secara singkat hingga bisa menyesuaikan muatan pesawat sesuai kebutuhan, untuk penumpang, barang, evakuasi medik dari daerah bencana, hingga keperluan militer.
“Pengembangan N219 dilakukan tanpa melibatkan asistensi teknis dari bangsa lain,” tambah Asisten Teknis Bidang Pengembangan Pesawat Terbang PT DI Andi Alisjahbana.
Seluruh tahap pembuatan pesawat itu, mulai dari perancangan, proses uji, sertifikasi, hingga produksi, nanti dilakukan putra-putri bangsa Indonesia. Tingkat komponen dalam negeri pada N219 mencapai 60 persen.
“Tingkat kandungan itu karena beberapa komponen seperti mesin dan sistem avionik tidak ekonomis dan butuh biaya pengembangan tinggi jika harus diproduksi sendiri,” ujar Direktur Utama PT DI Budi Santoso. Industri penerbangan global pun tidak memproduksi semua kebutuhannya sendiri dan lebih bertindak sebagai agregator.
Pesawat hasil kolaborasi Lapan dan PT DI itu diharapkan tuntas mendapat sertifikasi pada awal 2018 sehingga bisa diproduksi dan sudah ada di pasaran pada 2019. Saat ini sudah ada minat pembelian 100 pesawat N219 dari berbagai maskapai di Tanah Air dan pemerintah daerah serta sejumlah negara Afrika, Nepal, Vietnam, dan Laos.
Biaya pengembangan N219 pun hanya 3-4 persen pengembangan N250, yaitu sekitar 60 juta dollar AS-80 juta dollar AS atau Rp 780 miliar-Rp 1 triliun. Saat dilepas ke pasaran, harganya diperkirakan 5 juta dollar AS-6 juta dollar AS atau Rp 65 miliar-Rp 78 miliar per unit, jauh lebih kompetitif dibandingkan dengan pesawat sekelas yang sekitar 8,5 juta dollar AS-9 juta dollar AS atau Rp 110 miliar-Rp 117 miliar per unit.
“Pesawat ini bisa mendukung nawacita Presiden Joko Widodo untuk membangun kemandirian ekonomi lokal, membangun dari pinggiran, serta menghubungkan daerah pedalaman,” kata Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Agus Santoso.
Ke depan, Lapan dan PT DI ingin mengembangkan pesawat N219 dalam versi amfibi yang bisa mendarat di perairan guna menghubungkan pulau-pulau kecil yang tak mungkin dibangun bandara serta mendukung industri wisata. Selain itu, pengembangan pesawat N245 diharapkan bisa segera dimulai. Bahkan, para perekayasa PT DI bermimpi pengembangan pesawat jet N2130 bisa dihidupkan lagi.(SEM/YUN/MZW)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Agustus 2017, di halaman 14 dengan judul “Industri Dirgantara Bangkit”.