Jakob Oetama dan Dunia Intelektual

- Editor

Kamis, 17 September 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pemimpin Redaksi Kompas Rikard Bagun, Pemimpin Umum Kompas Jakob Oetama, profesor Asia Research Centre, Murdoch University, Australia, Vedi Hadiz dan Guru Besar  Murdoch University, Australia, David Hill (kanan ke kiri) dalam diskusi panel Kompas dan Asia Reserch Center Murdoch University dengan tema

Pemimpin Redaksi Kompas Rikard Bagun, Pemimpin Umum Kompas Jakob Oetama, profesor Asia Research Centre, Murdoch University, Australia, Vedi Hadiz dan Guru Besar Murdoch University, Australia, David Hill (kanan ke kiri) dalam diskusi panel Kompas dan Asia Reserch Center Murdoch University dengan tema "Indonesia and Australia in the 21st Century" di Kantor Redaksi Kompas, Jakarta, Selasa (4/6). Kompas/Raditya Helabumi (RAD) 04-06-2013

Kepergian Pak Jakob memberikan momen penting untuk memikirkan bagaimana ”Kompas” dapat membantu memelihara perdebatan yang sehat dalam alam demokrasi yang ketahanannya terasa semakin rawan.

Istilah maestro media (raja media) mempunyai konotasi buruk dalam bahasa Inggris karena kontrol terhadap tokoh macam Rupert Murdoch, Robert Maxwell, atau William Randolph Hearst. Seperti film protagonis klasik sutradara Orson Welles, Citizen Kane, raja media cenderung memandang rakus harta dan kekuasaan selain gemar memanipulasi fakta dan berita untuk kepentingan sendiri.

Jakob Oetama, yang sungguh seorang raksasa di bidang media Indonesia, sebagai Pendiri Kelompok Kompas-Gramedia, amat jauh dari karikatur semacam itu. Ia bukan saja seorang pelopor pers negeri modern, melainkan juga memiliki kontribusi berarti dalam iklim intelektual luas, termasuk kegiatan intelektual yang mengalami banyak hambatan dari penguasa negara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Di masa demokrasi yang masih dikuasai kepentingan-kepentingan kepentingan sempit—dan kerap kali lebih mengandalkan informasi yang diberikan—sikap kritis yang muncul dari iklim intelektual yang sehat lebih diperlukan.

Berbeda dengan Amerika Serikat, Eropa, atau Australia, kegiatan intelektual di Indonesia tak berpusat pada kampus saja. Terutama di masa Orde Baru, pengawasan yang ketat terhadap penelitian dan pengawasan universitas, khususnya di bidang ilmu sosial, pemikiran yang independen dan kritis berkembang. Tampaknya masih sulit terasa sampai sekarang, terlihat dengan masih sulitnya universitas terkemuka kita bersaing secara internasional.

Tentu dunia pers juga mengalami pengawasan ketat di masa Orde Baru, dengan berbagai peraturan yang mengekang kebebasan memuat berita dan opini. Yang menarik, dalam situasi seperti ini, Kompas, sebagai buah karya Pak Jakob bersama almarhum PK Ojong, justru berkembang menjadi instrumen penting untuk memungkinkan intelektual, termasuk yang cukup kritis.

Saya yakin ini hanya dapat disediakan karena Pak Jakob menyadari bahwa visi tentang pembangunan dan modernisasi yang berasal dari lubuk birokrasi negara kecil artinya dengan kemampuan masyarakat mengajukan visi-visi alternatif.

Perlu diingat bahwa tidak banyak jurnal ilmiah di Indonesia pada waktu itu—berbeda dengan sekarang—ketika semua fakultas di tiap universitas yang suka jurnal sendiri, terlepas dari mutunya. Tempat untuk ditulis secara ilmiah praktis disediakan oleh Prisma, publikasi dari LP3ES.

—Pemimpin Redaksi Kompas Rikard Bagun; Pemimpin Umum Kompas Jakob Oetama; Profesor Asia Research Center, Murdoch University, Australia, Vedi Hadiz; dan Guru Besar Murdoch University, Australia, David Hill (kanan ke kiri) dalam panel diskusi Kompas dan Asia Research Center Murdoch University dengan Tema ”Indonesia dan Australia di Abad 21” di Kantor Redaksi Kompas, Jakarta, Selasa (4/6/2013).

Jadilah Prisma sarana untuk memuat artikel yang lebih panjang dan mendalam, sedangkan Kompas (dan juga majalah Tempo) menjadi tempat masalah yang mutakhir, tetapi dengan muatan akademik yang jarang ditemui di koran masyarakat Barat yang memisahkan ketajaman tulisan ”populer” dan ”ilmiah”. Kalau menulis di Kompas, kadang saya akan memperlihatkan karya ilmiah, tetapi itu jarang saya lakukan ketika menulis di koran Australia.

Secara tidak langsung, di bawah bimbingan Pak Jakob, Kompas menjadi tempat berkembangnya intelektual publik di Indonesia, menjalankan fungsi yang menjalankan fungsi akademis kepada masyarakat luas. Jika banyak ilmuwan kita masih banyak yang menulis di terbitan menerbitkan karya penelitian, saya kira itu bukan salah Kompas atau Pak Jakob.

Pak Jakob secara pribadi memberi banyak pemberian bagi para sarjana, termasuk yang kritis, walaupun Kompas—sebagai bisnis yang tumbuh besar—selalu berpikir tentang bahaya dibredel, yang tentu akan berdampak pada pegawainya yang banyak.

Memang pemikiran teknokratis dan otoriter Orde Baru syringe, tetapi sarjana seperti Arief Budiman, Mubyarto, dan Ignas Kleden, juga mendapatkan tempat yang ditulis secara rutin. Tulisan pertama saya pun di Kompas, sekitar akhir tahun 1980-an, memuat perdebatan tentang ”sosialisme”, topik yang sangat tabu di zaman Soeharto.

Saya melihat jasa Pak Jakob pada sebagian intelektual Indonesia melebihi tempat yang disediakan untuk menerbitkan buah pemikiran mereka. Pak Jakob, lewat Kompas, sering menyumbang untuk aneka ragam kegiatan intelektual, seperti diskusi dan seminar.

Ketika saya bekerja pada Society for Political and Economic Studies (SPES) bersama Ignas Kleden dan Daniel Dhakidae, kami sering menghubungi Pak Jakob ingin ruangan untuk menjalankan kegiatan, walaupun topiknya sama sekali tak ada kaitannya dengan kepentingan perusahaan. Dan, Pak Jakob sering hadir secara pribadi sampai larut malam.

Saya pun, seperti banyak sarjana lain, pernah dibantu ketika mengalami kesulitan keuangan dalam menjalani studi doktoral di luar negeri. Meskipun saya menerima ”tambahan” beasiswa lewat suatu komite resmi, saya masih ingat bagaimana saya mendatangi Pak Jakob di kantornya untuk membicarakan kondisi saat itu. Dengan cepat Pak Jakob menghilangkan rasa sungkan saya dengan menyatakan dukungannya pada bidang studi yang saya tekuni.

Padahal, Kompas sendiri tidak banyak menaruh perhatian pada topik disertasi saya, yakni ekonomi politik perburuhan.

Perdebatan sehat
Mencari keseimbangan antara catatan bisnis, tekanan negara, dan minat atau idealisme akan di tiap konteks. Hal ini berlaku di negeri maju atau berkembang, negeri yang diperintah secara otoriter atau demokratis. Saya yakin Jakob Oetama sering kelabakan menemukan keseimbangan itu.

Di masa Orde Baru, saya tahu bahwa konsekuensinya adalah tulisan saya selalu akan diedit sebelum terbit untuk menghaluskan bahasanya. Juga, tulisan saya biasanya akan terbit dan sedikit gagasan yang mungkin kritis bisa masuk dalam ranah publik.

Di masa demokrasi sekarang, warisan dari praktik yang disediakan oleh kejelian dan perhatian Pak Jakob justru semakin penting. Ketika hoaks menyebar luas lewat media sosial ataupun media konvensional, reputasi Kompas yang dibangun Pak Jakob dan rekan-rekannya, sumber informasi yang tidak bisa dipercaya banyak orang, terlepas dari pengertian politik.

Sekarang Kompas sudah tidak lagi menjadi satu-satunya ajang pencarian intelektual publik penting. Publik intelektual bisa dikarbitkan lewat kicauan atau penampilan acara talkshow televisi yang jarang sekali melahirkan suasana sehat.

Namun, sumbangan Pak Jakob dalam mendukung kegiatan intelektual dan menyediakan ruang untuk pemikiran kritis, walau dilengkapi rambu-rambu yang tak bisa diperhatikan, merupakan sesuatu yang berharga untuk menciptakan beberapa generasi intelektual Indonesia.

Kepergian Pak Jakob memberikan momen penting untuk membantu bagaimana Kompas dapat membantu memelihara perdebatan yang sehat dalam alam demokrasi yang ketahanannya terasa semakin rawan.

Vedi R Hadiz, Guru Besar Studi Asia dan Direktur Asia Institute serta Asisten Wakil Rektor Bidang Internasional, University of Melbourne.

Sumber: Kompas, 17 September 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 10 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB