Banjir Jakarta karena hujan lokal, bukan air kiriman dari Bogor. Drainase yang buruk, erosi berat dari hulu, alih fungsi lahan situ dan rawa, serta penurunan muka tanah membuat Jakarta tak mampu menampung air hujan.
Analisis Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan, banjir Jakarta disebabkan hujan lokal ekstrem yang melanda Ibu Kota. Fenomena ini baru, mengingat pada waktu-waktu lalu banjir Jakarta lebih umum disebabkan air kiriman dari hulu, Bogor.
Hujan lokal ini tak mampu ditampung oleh Jakarta yang dinilai memiliki drainase buruk, erosi berat dari hulu, alih fungsi lahan situ dan rawa menjadi bangunan beton, serta penurunan muka tanah. Genangan banjir bertahan berjam-jam karena aliran air menuju muara tertahan pasang tinggi air laut pada pagi hari.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Curah hujan ekstrem dan pemanfaatan lahan pada situ-situ dan rawa-rawa yang tertutup beton membuat banjir tak terelakkan,” kata Hudoyo, Plt Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Selasa (7/1/2020), di Jakarta.
Curah hujan yang terpantau BMKG di Jakarta mencapai 377 milimeter pada 31 Desember 2019. Hudoyo menyebut ini sangat tinggi jika dibandingkan dengan curah hujan di Bogor dalam setahun, 2.000 milimeter (pada situs resmi Kota Bogor curah hujan tahunan 3.500-4.000 milimeter).
PRESENTASI DIRJEN PDASHL KLHK–Neraca Air Banjir Jakarta dan Sekitarnya.Sumber: Ditjen Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Selasa 7 Juli 2020.
Lokasi banjir meliputi bagian hilir dari delapan DAS, yaitu DAS Kali Angke Pesanggrahan, DAS Kali Krukut, DAS Ciliwung, DAS Sunter, DAS Kali Buaran, DAS Cakung, DAS Kali Bekasi, dan DAS Cisadane. Catatan KLHK dan BMKG, curah hujan pada DAS ini terhitung ekstrem karena lebih tinggi dari 150 mm per hari kecuali DAS Cisadane yang 107 mm.
Luas tutupan lahan tidak bervegetasi pada delapan DAS dalam kawasan hutan mencapai 18.296 ha atau sebesar 38,2 persen dari luas kawasan hutan dan 4,10 persen dari luas DAS. ”Presiden telah memerintahkan agar perbaiki ekosistem DAS,” kata Hudoyo.
Hudoyo mengatakan, rehabilitasi DAS secara langsung hanya bisa dilakukan KLHK pada kawasan hutan yang persentase luasannya sangat kecil pada DAS. Pada area penggunaan lain atau lahan-lahan nonkawasan hutan, ia mengatakan KLHK hanya bisa membantu memberikan bibit tanaman.
Demikian dengan pembangunan bangunan konservasi tanah dan air (KTA) seperti dam pengendali, dam penahan, gully plug, dan sumur resapan hanya bisa dilakukan pada kawasan hutan. Di luar kawasan hutan, ia berharap pemerintah daerah bisa aktif membangunnya untuk menahan laju air, mengurangi erosi, dan meningkatkan retensi air.
Sumur resapan
Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian DAS KLHK Saparis Soedarjanto mengakui, beberapa tahun lalu Menteri LHK mengeluarkan surat kepada pemda-pemda untuk membangun sumur resapan guna mengurangi risiko banjir. Namun, diakuinya pula imbauan ini tak dijalankan serius karena kendala kewenangan KLHK yang tak bisa intervensi langsung ke pemda.
Ia mengatakan sumur resapan sebagai bangunan ramah retensi air ini dibutuhkan 4.041.296 unit di delapan DAS. Jumlah tersebut untuk meresapkan air berlebih sebanyak 206.835.276,54 meter kubik yang tak tertampung sungai. “Intervensi ini pun perlu didukung dengan upaya lain seperti menjaga kapasitas tampung sungai dari sedimentasi dan penumpukan sampah,” kata dia.
Saparis pun menyatakan posisi Jakarta yang berada pada lereng kaki sistem kipas aluvial DAS Ciliwung menempatkan Ibu Kota sebagai tempat akumulasi air. Selain itu, delapan DAS besar yang mengalirkan 13 sungai di Jakarta melipatgandakan akumulasi air.
Berdasarkan perhitungan curah hujan BMKG pada 31 Desember 2019 dan 1 Januari 2020, kedelapan DAS, termasuk 13 sungai, menyuplai air 7.616,88 meter kubik per detik. Apabila dibandingkan dengan kemampuan 13 sungai mengalirkan air 3.050,62 meter kubik per detik, kata dia, terdapat kelebihan air 4.566,28 meter kubik yang menggenangi Jakarta.
Ia mengatakan, perhitungan ini telah mempertimbangkan koefisien limpasan yang didasarkan pada kondisi tutupan lahan. Koefisien limpasan wilayah Jakarta rata-rata 0,61 yang berarti 61 persen hujan menjadi limpasan dan hanya 39 persen yang terserap ke dalam tanah. ”Ini menggambarkan betapa tata ruang memiliki andil besar dalam kejadian banjir,” katanya.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 7 Januari 2020