Guru Besar Ekonomi dan Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor Endang Gumira Sa’id mengungkapkan hal itu, Rabu (13/10), saat dihubungi di Bogor, Jawa Barat.
Gumira dimintai tanggapan terkait semakin tingginya ketergantungan orang Indonesia terhadap beras sebagai sumber karbohidrat. Ini akan berdampak serius pada pemenuhan pangan nasional pada masa mendatang.
Menurut Gumira, agar produk pangan olahan bisa diterima pasar, harus ada inovasi yang menghasilkan beragam produk pangan olahan sehingga rasanya diterima secara universal, memiliki kekhasan, praktis, menarik dilihat, dan menggoda untuk disantap.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Agar diversifikasi bisa berkelanjutan harus menguntungkan dari aspek bisnis karena industri harus dilibatkan sebagai penghela,” katanya.
Gumira menyatakan, di Indonesia kontribusi inovasi terhadap produk domestik bruto sangat rendah, baru 5,6 persen. Masih banyak komoditas yang belum menghasilkan nilai tambah dari rantai pengolahan.
Ekspor dan perdagangan produk pertanian juga masih didominasi komoditas, bukan produk olahan.
Konversi pengubahan komoditas menjadi produk olahan di Indonesia belum di atas 24 persen sehingga nilai tambah yang dihasilkan rendah.
Bandingkan dengan Thailand yang mencapai 60 persen, AS 86 persen, dan China di atas 50 persen. ”Ini hasil penelitian tahun 1980-an dan belum ada lagi penelitian terbaru,” katanya.
Di negara maju, yang menghela agribisnis dan agroindustri adalah industri. Inovasi akan terus berjalan kalau industri tampil sebagai penghela dan terus menciptakan pasar.
Turki mampu mengembangkan jajanan Turkish Delicatessen yang mendunia. Semula ini produk UKM, lalu diberi inovasi dengan menambahkan pemanis, jeli, almond, ataupun madu sehingga dikenal dunia.
Di Australia ada Nougat, produk kacang tanah bercampur wijen dan gula. Indonesia sesungguhnya juga bisa mengembangkannnya.
Hal itu misalnya dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber pangan lokal, seperti singkong, kacang, ubi jalar, sagu, sorgum, dan produk bahan pangan lokal, seperti cokelat.
Namun, itu masih dilakukan dalam skala kecil. Pasar juga belum digarap baik. Kepala Pusat Konsumsi dan Keamanan Pangan Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Mulyono Machmur mengatakan, berkaca dari sukses menjadikan gandum sebagai substitusi nasi, ada keterlibatan industri makanan dalam pengembangannya.
Begitu industri pengolahan makanan berbasis gandum masuk, berbagai inovasi produk pangan olahan diciptakan, termasuk di antaranya mi instan.
Ini terjadi karena industri mampu mengolah gandum menjadi tepung terigu, yang kemudian bisa dijadikan sebagai bahan dasar beragam jenis makanan olahan.
Pola pengemasannya yang praktis, mudah dihidangkan, dan harganya murah karena dibuat dalam skala besar mendorong sukses peningkatan konsumsi pangan berbasis gandum.
Menurut Sekretaris Jenderal Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Rachmat Pambudy, bagi petani, masalah pangan bukan semata produksi, tetapi akses petani terhadap pangan melalui peningkatan pendapatan.
”Yang paling penting adalah bagaimana meningkatkan pendapatan petani karena itu yang menentukan akses terhadap pangan,” ujar Rachmat.
Dua pola diversifikasi
Menurut Gumira, sesungguhnya ada dua pola diversifikasi pangan. Pertama, dengan melakukan diversifikasi tanaman atau komoditas. Tujuannya, untuk mendapatkan nilai jual komoditas yang lebih tinggi.
Bisa juga dengan meningkatkan nilai tambah dari komoditas yang diusahakan. Dengan demikian, pendapatan akan meningkat dan mendorong pola konsumsi pangan berubah.
Kedua, melakukan diversifikasi konsumsi, termasuk mengajak masyarakat untuk mengonsumsi pangan nonberas berbahan baku lokal.
Sebelumnya, IPB telah meluncurkan produk unggulan inovasi di bidang pangan. Produk itu
telah diaplikasikan baik untuk produksi sendiri ataupun kerja sama dengan mitra usaha. (MAS)
Sumber: Kompas, Kamis, 14 Oktober 2010 | 03:12 WIB