Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti dikukuhkan jadi Guru Besar Ilmu Pendidikan Agama Islam dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Ia tawarkan pembaruan pendidikan Agama Islam dan kerukunan.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti, Rabu (2/9/2020), dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Pendidikan Agama Islam dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan itu menawarkan pembaruan pendidikan Agama Islam untuk memelihara pluralitas agama, membangun harmoni, serta kedamaian, kerukunan, dan persatuan bangsa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam pidato pengukuhan dengan judul ”Pendidikan Agama Islam yang Pluralistik, Basis Nilai, dan Arah Pembaruan” yang dibacakan di hadapan Rapat Senat Terbuka UIN Syarif Hidayatullah, Mu’ti menyampaikan, kerukunan antarumat beragama di Indonesia menjadi rujukan bagi negara-negara di dunia.
Indonesia, yang merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, berhasil menjaga harmoni dan kerukunan antarumat beragama. Penduduk Muslim hidup berdampingan dengan damai dengan para penduduk pemeluk agama Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu, bahkan aliran kepercayaan. Survei kerukunan umat beragama yang dilakukan oleh Litbang Kementerian Agama menunjukkan, indeks kerukunan beragama di Indonesia mencapai 72,20 pada tahun 2017, 70,9 pada 2018, dan 73,93 di tahun 2019.
”Kerukunan adalah DNA bangsa Indonesia. Dalam berbagai forum dialog antariman internasional, Indonesia sering menjadi model dan rujukan bagaimana membangun harmoni dan kerukunan intern serta antarumat beragama,” kata Mu’ti dalam pengukuhan yang dihadiri sejumlah tokoh, seperti Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla, Menko Pembangunan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, dan Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Zaadi.
Namun, tingginya indeks kerukunan beragama itu bukan berarti tidak ada persoalan intoleransi di Tanah Air. Menurut Mu’ti, intoleransi, baik ekonomi, kebudayan, maupun keagamaan, masih terjadi di Indonesia.
Intoleransi ekonomi ditandai dengan adanya kesenjangan ekonomi yang belum juga berhasil diatasi. Kondisi itu terjadi lantaran aset-aset ekonomi dikuasai secara berlebihan oleh sekelompok kecil masyarakat. Kelompok ini melakukan ekspansi bisnis secara terus-menerus tanpa menghiraukan kenyataan bahwa sebagian besar masyarakat masih hidup dalam kemiskinan.
Intoleransi agama juga ada kecenderungan meningkat. Peningkatan signifikan terjadi dalam bentuk ujaran kebencian, penyesatan keagamaan, dan penghinaan terhadap tokoh dan simbol-simbol keagamaan.
Survei yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah pada 2018 menunjukkan, 58,15 persen pelajar dan mahasiswa cenderung berpandangan radikal. Bahkan, 51,1 persen pelajar dan mahasiswa intoleran terhadap sesama pemeluk agama Islam. Sementara mahasiswa dan pelajar yang intoleran terhadap pemeluk agama lain 34,3 persen.
”Maknanya, pelajar dan mahasiswa lebih toleran terhadap umat agama lain dibandingkan dengan mereka yang seagama, terutama terhadap paham dan aliran yang dianggap sesat,” kata Mu’ti.
Menurut Mu’ti, penyebab intoleransi itu tidak tunggal dan linier. Salah satu sumber terjadinya intoleransi adalah Pendidikan Agama Islam, baik materi, media, paham keagamaan guru, dan situasi sosial-politik. Survei PPIM terhadap pandangan keagamaan guru pada 2019 menunjukkan, 63,01 persen guru PAI intoleran terhadap agama lain. Sikap guru Pendidikan Agama Islam tersebut, antara lain, dipengaruhi oleh pandangan mekanisme, demografi, dan afiliasi terhadap Ormas Islam.
Karena itu, menurut Mu’ti, hal yang diperlukan saat ini adalah pembaruan pendidikan Agama Islam. ”PAI (Pendidikan Agama Islam) perlu dikembangkan ke arah yang lebih pluralistis berdasarkan nilai-nilai pluralisme. Pembelajaran harus dilakukan secara inklusif, mencerahkan, menggerakkan, penuh makna, dan menggembirakan,” tutur Mu’ti.
Tak sebatas ibadah
Pendidikan Agama Islam semestinya tidak terbatas mempelajari masalah-masalah ritual ibadah dan muamalah dengan pendekatan klasik, tetapi harus dikembangkan sesuai konstektualisasi agama dengan kehidupan kekinian dan menjawab tantangan masa depan. Melalui Pendidikan Agama Islam, murid diharapkan lebih peduli dengan masalah-masalah keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan global.
Pembaruan juga penting mengingat Pendidikan Agama Islam merupakan mata peljaran yang sangat penting, strategis, dan diperlukan untuk pembentukan karakter bangsa serta identitas nasional bangsa Indonesia. Selain itu, di tengah problematika moral, meningkatnya intoleransi, dan kekerasan bernuansa agama, kehadiran pendidikan agama semakin diperlukan untuk memelihara pluralitas agama, membangun harmoni, kedamaian, kerukunan, dan persatuan bangsa.
Pendidikan Agama Islam semestinya bisa melahirkan generasi yang tak hanya memiliki kesalehan spiritual, tetapi juga kesalehan sosial, kebangsaan, dan penguasaan teknologi digital. ”Karena itu, kurikulum Pendidikan Agama Islam perlu disempurnakan dan kemampuan guru juga mutlak harus ditingkatkan,” tutur Mu’ti.
Profil guru Pendidikan Agama Islam, lanjut Mu’ti, harus diubah dengan menguatkan kompetensi akademik, profesional, dan sosial. Pemerintah tak hanya perlu memenuhi jumlah guru Pendidikan Agama Islam, tetapi juga memenuhi sertifikasi serta meningkatkan kompetensi guru secara berkesinambungan. Dengan begitu, generasi milenial bisa mendapatkan guru Pendidikan Agama Islam yang terbuka, pluralis, dan berwasan global.
Karena itu, kurikulum Pendidikan Agama Islam perlu disempurnakan, dan kemampuan guru juga mutlak harus ditingkatkan.
Apresiasi
Pengukuhan Mu’ti menjadi guru besar mendapat apresiasi, baik dari internal Muhammadiyah maupun di luar persyaritakan. Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, misalnya, menyampaikan rasa bangga atas capaian Mu’ti.
”Kami Muhamamdiyah senang dan bangga dengan capaian keberhasilan yang tidak semua orang dapat meraihnya. Karena itu, kami ucapkan selamat kepada Prof Abdul Mu’ti, keluarga dan sivitas UIN Jakarta,” tuturnya.
Haedar juga menyampaikan harapan, pengukuhan guru besar tersebut dapat memberi inspirasi dan perspektif penting tentang dunia pendidikan, khususnya bagi kemajuan dunia pendidikan nasional yang saat ini berjalan cenderung pragmatis dan terlihat gagap menghadapi problem pendidikan di tengah pandemi Covid-19.
”Semoga ilmu dan pengalaman Mas Mu’ti yang sangat berbahagia ini memberi manfaat terbaik bagi diri, keluarga, Muhammadiyah, umat, bangsa, dan kemanusiaan semesta sebagaimana pesan nabi khoirunnas anfa ‘uhum linnas, insan terbaik ialah yang memberi manfaat terbaik bagi kehidupan umat manusia dalam aktualisasi rahmatan lil ‘alamin,” kata Haedar.
Ucapan selamat juga datang dari Wakil Presiden Maruf Amin baru-baru ini. Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia itu pun menyampaikan harapan, pengukuhan guru besar itu dalam meningkatkan dedikasi Mu’ti dalam mengembangkan ilmu agam Islam di Indonesia.
Pluralistis Inklusif
Sebelumnya, dalam diskusi virtual dengan tema ”Jalan Panjang Mewujudkan Pendidikan yang Pluralistik” yang digelar Al-Wasat pada Selasa (1/9/2020) malam, pengajar Unika Atmajaya A Sonny Keraf menyampaikan apresiasi atas pendidikan pluralistis inklusif yang dikembangkan Muhammadiyah.
Sebagaimana yang diteliti oleh Pak Mu’ti di Ende, Serui, dan Putusibau, pendidikan Muhammadiyah bisa dijadikan sebagai sarana dakwah. Bukan hanya dakwah Islam, tetapi dakwah value, nilai-nilai universal. Karena Muhammadiyah memuliakan, memajukan, dan memberdayakan seluruh umat manusia, tanpa membedakan SARA,” tuturnya.
Sekretaris Jenderal PGI Jacky Manuputty menyampaikan, karya Mu’ti memperluas horizon kemajemukan di negara ini. ”Riset yang dilakukan Mas Mu’ti menunjukkan bahwa pendidikan sangat penting dalam memperkuat nilai-nilai toleransi. Kami non-Muslim diajak mengenal lebih dekat tentang Muhammadiyah. Jejak historis pendidikan Muhammadiyah memiliki kontribusi besar dalam perjalanan bangsa ini,” katanya.
Oleh ANITA YOSSIHARA
Editor: SUHARTONO
Sumber: Kompas, 2 September 2020