BPOM Akan Inspeksi Sistemik ke Kalbe Farma
Badan Pengawas Obat dan Makanan membatalkan izin edar obat anestesi Buvanest Spinal produksi PT Kalbe Farma. Keputusan tersebut diambil lantaran dokumen laporan dari produsen obat anestesi tidak menggambarkan akar masalah terkait dengan potensi tertukarnya obat itu dengan jenis obat lain.
“Kami sudah menerbitkan surat pembatalan izin edar injeksi Buvanest Spinal. Dokumen laporan Kalbe Farma tak menggambarkan akar masalah terkait potensi terjadi mix-up. Jadi, kami mencabut izinnya,” kata Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat BPOM Budi Djanu Purwanto, Jumat (6/3), di Jakarta. Sejauh ini, belum ada tanggapan dari Kalbe Farma kepada BPOM terkait pencabutan izin tersebut.
Surat pembatalan izin edar obat anestesi itu diterbitkan pada 2 Maret 2015 dan sudah dikirimkan ke pihak Kalbe Farma. Pencabutan izin tersebut merupakan tindak lanjut dari BPOM yang pada 17 Februari lalu menerbitkan surat perintah penghentian sementara kegiatan produksi larutan injeksi di Kalbe Farma.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagai wujud kehati-hatian, BPOM mengirim surat peringatan terkait produk itu ke beberapa instansi terkait. Sejumlah instansi itu antara lain Kementerian Kesehatan, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia, serta Ikatan Dokter Indonesia.
Menanggapi hal tersebut, Manajer Komunikasi Eksternal PT Kalbe Farma Hari Nugroho mengatakan, pembatalan izin edar itu dianggap sebagai penegasan surat BPOM sebelumnya tentang pembekuan izin sementara. Proses produksi dan peredaran Buvanest Spinal injeksi dihentikan sejak kasus dua pasien meninggal di RS Siloam Lippo Village.
“Audit proses produksi di Kalbe Farma dilakukan BPOM. Keputusan BPOM dijalankan Kalbe untuk meningkatkan proses produksi sebagai mitigasi risiko yang ditujukan untuk perlindungan konsumen,” katanya.
Laporan tak rinci
Budi menjelaskan, manajemen risiko dan corrective action and preventive action (CAPA) yang dilakukan Kalbe Farma tidak menggambarkan potensi kesalahan yang bisa terjadi. “Mestinya, semua prosesnya dilaporkan terperinci. Misalnya, saat menimbang bahan baku, disebutkan siapa yang melakukan penimbangan. Begitu juga saat melakukan pengawasan, disebutkan siapa saja yang terlibat. Jadi, semua itu harus dilaporkan dalam manajemen risiko,” tuturnya.
Jika pembuatan obat dilakukan dengan standar operasional benar, Budi yakin tidak akan terjadi masalah dalam cara pembuatan obat yang baik dan benar (CPOB). Untuk itu, siapa yang berperan dalam pembuatan Buvanest Spinal harus dijelaskan secara spesifik.
Meski izin edarnya sudah dicabut, manajemen Kalbe Farma masih memiliki kesempatan mendapat izin untuk memproduksi obat itu. “Mereka (Kalbe Farma) bisa mendapatkan izin lagi. Namun, mereka harus mendaftar ulang sehingga sifatnya bukan perpanjangan. Izin mereka yang pertama ibaratnya sudah mati,” ujarnya.
Selanjutnya, BPOM akan melaksanakan inspeksi sistemik ke perusahaan farmasi Kalbe Farma. Inspeksi tak hanya dilakukan pada jenis obat tertentu bermasalah, tetapi menilai penerapan sistem mutu menyeluruh.
Selain investigasi sarana produksi Kalbe Farma, BPOM memeriksa unit instalasi farmasi RS Siloam Lippo Village. “Sumber pengadaan obat resmi dibeli dari anak perusahaan Kalbe Farma. Prosedur pengadaan obatnya tak ada masalah,” kata Budi.
Sebagaimana diberitakan (Kompas, 20 Februari 2015), hasil pemeriksaan BPOM atas sampel Buvanest Spinal dari RS Siloam Lippo Village, Tangerang, Banten, menunjukkan, ampul Buvanest yang seharusnya berisi Bupivacaine untuk obat bius justru berisi asam traneksamat, golongan obat antifibrinolitik untuk mengatasi perdarahan. Tertukarnya obat itu menyebabkan dua pasien RS tersebut meninggal.
Menurut hasil investigasi BPOM, cara pembuatan obat yang baik di sarana produksi Kalbe Farma belum berjalan baik sehingga ada potensi tertukarnya obat. Untuk itu, produsen Buvanest diminta mengkaji mengapa kandungan obat dalam ampul Buvanest tak sesuai label. (B07)
————————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Maret 2015, di halaman 13 dengan judul “Izin Buvanest Spinal Dibatalkan”.
———————
Pembatalan Izin Buvanest Tak Ganggu Pelayanan Anestesi
Pembatalan izin edar obat Buvanest Spinal produksi PT Kalbe Farma oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan diyakini tidak akan mengganggu proses pelayan anestesi di Indonesia. Para dokter masih memiliki obat alternatif lain dalam melakukan pembiusan kepada pasien.
Tim dokter gabungan beberapa negara saat melakukan operasi kemanusiaan di ruang operasi di sebuah rumah sakit, beberapa waktu lalu. Untuk tindakan operasi besar, biasanya dokter melakukan anestesi atau pembiusan terhadap pasien.Kompas/Iwan SetiyawanTim dokter gabungan beberapa negara saat melakukan operasi kemanusiaan di ruang operasi di sebuah rumah sakit, beberapa waktu lalu. Untuk tindakan operasi besar, biasanya dokter melakukan anestesi atau pembiusan terhadap pasien.
Hal itu disampaikan Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (Perdatin) Andi Wahyuningsih Attas. “Pelayanan anestesi tidak akan terganggu dengan pembatalan izin edar Buvanest ini,” ujar Andi saat dikonfirmasi dari Jakarta, Sabtu (7/3).
Andi menjelaskan, obat anestesi Buvanest Spinal injeksi memiliki bahan dasar bupivacaine. “Buvanest itu hanya salah satu obat yang berbahan dasar bupivacaine. Selain Buvanest, masih ada obat lain yang juga bisa digunakan untuk pelayanan anestesi, salah satunya adalah Marcain,” tutur Andi.
Andi mengatakan, pelarangan penggunaan Buvanest Spinal produksi Kalbe Farma sudah diinformasikan kepada anggota Perdatin di seluruh Indonesia yang berjumlah lebih dari 1.300 dokter anestesi. Sosialisasi juga disampaikan dalam acara-acara ilmiah yang dilakukan Perdatin.
Andi juga mengingatkan kepada seluruh anggotanya untuk selalu menerapkan prosedur yang benar dalam melakukan tindakan anestesi terhadap pasien. “Sebelum dilakukan suntikan kepada pasien, harus dipahami dulu apa manfaat dan dampaknya. Dalam istilah medis disebut tepat obat dan tepat pasien,” ungkapnya.
BPOM membatalkan izin edar obat anestesi Buvanest Spinal produksi PT Kalbe Farma karena dokumen laporan dari produsen obat anestesi itu tidak menggambarkan akar masalah terkait potensi tertukarnya obat itu dengan jenis obat lain.
“Kami sudah menerbitkan surat pembatalan izin edar injeksi Buvanest Spinal. Dokumen laporan Kalbe Farma tak menggambarkan akar masalah terkait potensi terjadi mix-up (tercampur). Jadi, kami mencabut izinnya,” kata Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat BPOM Budi Djanu Purwanto. Sejauh ini, belum ada tanggapan dari Kalbe Farma kepada BPOM terkait pencabutan izin tersebut.
Surat pembatalan izin edar obat anestesi itu diterbitkan pada 2 Maret 2015 dan sudah dikirimkan ke pihak Kalbe Farma. Pencabutan izin tersebut merupakan tindak lanjut dari BPOM yang pada 17 Februari lalu menerbitkan surat perintah penghentian sementara kegiatan produksi larutan injeksi di Kalbe Farma.
Sebagai wujud kehati-hatian, BPOM mengirim surat peringatan terkait produk itu ke beberapa instansi terkait. Sejumlah instansi itu adalah Kementerian Kesehatan, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia, serta Ikatan Dokter Indonesia.
Menanggapi hal itu, Manajer Komunikasi Eksternal PT Kalbe Farma Hari Nugroho mengatakan, pembatalan izin edar itu dianggap sebagai penegasan surat BPOM sebelumnya tentang pembekuan izin sementara. Proses produksi dan peredaran Buvanest Spinal injeksi dihentikan sejak kasus dua pasien meninggal di RS Siloam Lippo Village.
“Audit proses produksi di Kalbe Farma dilakukan BPOM. Keputusan BPOM dijalankan Kalbe untuk meningkatkan proses produksi sebagai mitigasi risiko yang ditujukan untuk perlindungan konsumen,” tuturnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, hasil pemeriksaan BPOM atas sampel Buvanest Spinal dari RS Siloam Lippo Village, Tangerang, Banten, menunjukkan, ampul Buvanest yang seharusnya berisi bupivacaine untuk obat bius justru berisi asam traneksamat, golongan obat anti fibrinolitik untuk mengatasi perdarahan. Tertukarnya obat itu menyebabkan dua pasien RS tersebut meninggal (Kompas, 20 Februari 2015).
Berdasarkan hasil investigasi BPOM, cara pembuatan obat yang baik di sarana produksi Kalbe Farma belum berjalan dengan sempurna sehingga tertukarnya obat bisa saja terjadi. Untuk itu, produsen Buvanest diminta mengkaji mengapa kandungan obat dalam ampul Buvanest tak sesuai label.(B07)
Sumber: Kompas Siang, 7 Maret 2015