PENGANTAR—INTERNATIONAL Rice Research Center –populer dengan singkatan IRRI -di Los Banos, Filipina, telah lama menunjukkan kemampuannya mengatasi berbagai masalah pangan dunia dengan terobosan revolusi hijaunya. Namun tantangan penyediaan pangan ini tidak pernah selesai, karena laju pertambahan penduduk terus berpacu dengan kemampuan tanaman menghasilkan pangan. Wartawan Kompas Agnes Aristiarini yang berkunjung ke salah satu pusat riset padi terbesar di dunia itu Februari lalu, menuliskan bagaimana kiat IRRI menghadapi tantangan tersebut di masa depan.
PERNAHKAH Anda menghitung, berapa banyak kebutuhan pangan yang harus disediakan para petani setiap harinya? Kalau saat ini saja ada sekitar 5 milyar penduduk yang harus mendapat makan dan setengah dari jumlah itu selalu memerlukan kehadiran nasi di meja makannya, berarti harus ada beras tidak kurang dari 1.000.000 ton setiap harinya. Angka ini muncul, kalau diasumsikan konsumsi beras per orang 0,2 kg per hari.
Kalau hitungan diteruskan, diandaikan setiap truk mampu mengangkut 2 ton beras, maka tidak kurang dari 500.000 truk berisi beras diperlukan. Bila truk-truk itu dijajar, maka diperlukan kawasan sepanjang 2.000 kilometer. Bayangkan setiap harinya manusia di dunia ini memakan beras dalam truk yang panjangnya dua kali Pulau Jawa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Angka-angka pangan ini –terutama beras– akan semakin spektakuler pada tahun 2050 nanti, di mana tidak kurang dari 10 milyar mulut manusia harus mendapat makan setiap harinya. Mungkin Anda bertanya, mengapa beras? Karena beraslah yang sebenarnya menjadi konsumsi utama satu di antara dua penduduk dunia saat ini. Itu berarti tahun 2050 nanti diperlukan sedikitnya empat lapis truk-truk beras yang akan berjajar dari Banten sampai Banyuwangi, setiap hari.
Dulu, orang pernah khawatir ketika Thomas Malthus meramalkan kebutuhan pangan dunia tidak akan tercukupi karena jumlah penduduk dunia meningkat jauh lebih pesat dibanding produksi pangannya. Ramalan itu ternyata meleset. Munculnya Revolusi Hijau di awal tahun 1960-an yang mampu melipatgandakan hasil panen secara menakjubkan, telah memupus semua ketakutan di atas.
Namun kini, setelah semua teknologi –mulai dari penggunaan bibit unggul, pemupukan, pengairan, pemberantasan hama penyakit, sampai ke penananan pascapanen– dikerahan, apakah masih mungkin terjadi penggandaan produksi seperti era Revolusi Hijau? Siapakah yang harus bertanggung jawab menjamin semua kebutuhan itu tercukupi di masa mendatang?
”Itu tanggung jawab kami bersama. IRRI, bersama-sama lembaga-lembaga riset lain di seluruh dunia, wajib menjawab tantangan itu,” tutur Deputi Direktur Jenderal IRRI untuk program internasional, Drs FA Bernardo, saat acara santap siang bersama Februari lalu.
INTERNATIONAL Rice Research Institute, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan IRRI, jika diurut dari sejarahnya memang didirikan untuk mengembangkan pengetahuan, peralatan, dan teknologi yang mampu meningkatkan dan melestarikan produksi padi.
Ketika ide pendirian IRRI akan diwujudkan tiga dekade lalu, para ilmuwan dan penyandang dananya sedikit kebingungan. Maklum, Indonesia yang dipandang sebagai negara yang paling potensial untuk lokasi IRRI –karena jenis padinya paling bervariasi, teknologi sudah maju, konsumsi berasnya tinggi, dan iklimnya cocok untuk tanaman padi– menolak pendirian lembaga itu di wilayahnya. Akhirnya terpaksa dicari negara yang kondisinya mendekati Indonesia. Dengan kerja sama yang baik dari Pemerintah Filipina saat itu, akhirnya IRRI dirikan tahun 1960 di Los Banos, 65 kilometer dari Manila ke arah selatan. Pendiri IRRI adalah Ford dan Rockefeller Foundation.
Kini, IRRI merupakan salah satu dari 13 pusat riset dan pelatihan nonkomersial di seluruh dunia, yang didukung oleh Consultative Group on International Agricultural Research (CGIAR). CGIAR sendiri disponsori oleh FAO (organisasi pangan dan pertanian di bawah PBB yang salah satu tugasnya mengurusi cadangan pangan dunia), Bank Dunia, dan UNDP (Program Pembangunan PBB). Anggotanya mencapai 50 negara donor, organisasi nasional dan internasional, serta badan-badan dana swasta.
Dengan total staf sekitar 2.000 orang –termasuk di dalamnya 95 staf ahli dari berbagai bangsa– biaya operasional IRRI mencapai 28,97 juta dollar AS (sekitar Rp 57,94 milyar) per tahun. Ini belum termasuk biaya tambahan sebesar 10,31 juta dollar (Rp 20,62 milyar) untuk setiap proyek khusus. Institut yang megah ini juga memiliki fasilitas riset dan pusat pelatihan yang modern, serta dilengkapi dengan 252 hektar kebun percobaan.
Mereka inilah, dengan segala keahlian dan fasilitas yang ada, berjuang untuk menjawab tantangan masa depan. ”Tujuan utama kami memang bagaimana menghasilkan padi dengan kemampuan produksi yang semaksimal mungkin, untuk memenuhi kebutuhan pangan di masa mendatang,” kata Bernardo. Tujuan itu telah dicapai dengan berhasilnya IRRI membuat varietas padi baru, IR-8, yang diperkenalkan kepada para petani akhir tahun 1966. Hasil persilangan antara padi RRC yang pendek namun produksinya tinggi dengan padi Indonesia yang tinggi dan batangnya kuat ini, bisa menghasilkan padi dua kali lipat pada lahan kering dan tiga kali lipat induknya pada lahan beririgasi.
Bermula dengan IR-8, IRRI kemudian terus meluncurkan ratusan varietas baru pada tahun-tahun berikutnya ke seluruh dunia. Padi yang dihasilkan tidak hanya makin responsif terhadap pemupukan, pengairan, dan sinar matahari (sehingga hasilnya makin banyak), tetapi umurnya juga makin pendek. Kalau dulunya petani hanya bisa menanam padi sekali setahun, kini mereka bisa menanam dua-tiga kali per tahun. Tahun 1982, IRRI kembali meluncurkan IR-36 yang tahan 15 jenis serangga penggangu, penyakit, dan bahkan stres lingkungan.
Semua persilangan ini bisa dilakukan, karena IRRI memang pengkoleksi plasma nutfah terbesar di dunia. Di dalam cool storage yang diatur dengan komputer, tersimpan hampir 90.000 varitas padi dari seluruh dunia. Jumlah ini masih terus bertambah setiap tahunnya, karena IRRI selalu membuka pintu bagi setiap orang untuk mengirimkan sampel padinya.
Varitas padi yang disimpan di IRRI selalu dibuat registrasinya dulu sebelum disimpan. Registrasi mencakup kondisi morfoagronominya, karakteristik, dan kalau mungkin riwayat genetiknya. Adanya, catatan ini memudahkan para peneliti yang meminta sampel benih padi dari IRRI mendapatkan jenis yang diinginkannya. ”Anda pun bisa minta ke kami. Caranya cukup tulis surat yan menyebutkan Anda membutuhkan padi yang misalnya berumur 3,5 bulan, tahan penyakit, pendek, responsif pupuk ini itu, dan sebagainya,” kata F de Guzman, asisten peneliti pada Pusat Sumberdaya Genetik IRRI. Sampel itu, akan dikirimkan secara gratis kepada pemintanya.
Di bagian penyimpanan itu, semua staf –kebanyakan wanita– sibuk memilah-milah padi secara manual. Benih padi yang sudah di pilih kemudian dikeringkan dan dipak dalam kertas alumunium hampa udara. ”Kami membuatnya dalam dua kantong, masing-masing berisi 500 gram padi. Namun maksimal yang boleh diminta masyarakat hanya 10 gram,” tambah de Guzman. Kantung-kantung inilah yang kemudian diatur secara sistematis dalam ruang penyimpanan bersuhu rendah. Dengan segala fasilitas itu, memang tidak heran bila para peneliti di IRRI mampu bekerja secara produktif. Tidak hanya itu. Semenjak IR-8 diluncurkan, produksi padi di Asia –yang menghasilkan 90 persen dari kebutuhan padi dunia– meningkat pula hingga 90 persen.
NAMUN sementara itu penduduk dunia pun terus tumbuh, sama cepatnya dengan kemampuan berproduksi tanaman. Dan, mungkin jauh lebih cepat dari segala penemuan baru yang dihasilkan IRRI. Masih mampukah para peneliti di lembaga riset nonprofit itu menjawab tantangan zaman?
“Tentu. Hasil padi saat ini, 2-6 ton per hektar, masih belum maksimal karena kemampuan potensial sebenarnya adalah 9-11 ton per hektar,” kata Kepala Divisi Pemuliaan Tanaman IRRI, Dr Gurdev S Khush. Kesenjangan antara potensi dan kenyataan inilah, yang kini sedang dicari penyebabnya oleh para ahli biologi dan ilmu sosial.
“Saya yakin dengan segala teknologi yang sudah ada saat ini, IRRI bisa membuat padi dengan kemampuan produksi hingga 15 ton per hektar pada lahan yang beririgasi teknis, paling lambat tahun 2015 nanti,” tambahnya.
Bagaimana caranya? ”Dengan mengubah morfologi dan fisiologi tanarnan,” tegas Khush. Tipe ideal padi masa depan, menurutnya adalah yang sesedikit mungkin batangnya, namun setiap batangnya mengandung banyak mlaia padi. Padi yang diidamkan ini juga nantinya tidak hanya bisa dikembangbiakkan dengan penyebaran benih, tetapi juga dengan cara transplantasi.
Saat ini, padi-padi hasil temuan modern memiliki 20-25 batang padi, namun sekitar 40 persennya tidak menghasilkan malai. ”Saya tidak tahu berapa batang padi yang ideal di masa depan, tetapi mungkin sekitar 6 batang yang penuh berisi malai,” kata Khush. Makin sedikit batang, makin sedikit pula energi yang dikonsumsi tanaman sehingga bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan banyak malai dengan butiran gabah yang besar-besar pula.
Untuk itu, tanaman impian ini memang harus memilikil sistem perakaran yang kuat sehingga mampu memanfaatkan hara tanah seefisien mungkin. Tanaman dengan ketinggian ideal sekitar 90-100 cm ini, diharapkan dapat dipanen dalam waktu 110-130 hari.
Bagaimana dengan pengaruh lingkungan termasuk iklim dan hama penyakit tanaman? ”Kami menyadari lingkungan berubah. Kami juga tahu ada isu efek rumah kaca, pemanasan bumi, dan berlubangnya lapisan ozon. Itu sebabnya kami juga membuat penelitian untuk mengantisipasi itu,” kata Bernardo. Dari hasil penelitian itu, diharapkan IRRI berhasil menemukan varitas-varitas padi yang memang tahan gelombang ungu-ultra dan tahan panas. (Baca juga Menjawab Tantangan Efek Rumah Kaca).
Sedang dalam penanganan hama dan penyakit tanaman IRRI kini mengembangkan pengendalian hama terpadu (PHT). ”Karena sebenamya penggunaan pestisida yang berlebihan tidak hanya merugikan petani, tetapi juga membuat keseimbangan ekologi terganggu,” tutur Dr D Bottrell, Kepala Divisi Entomologi.
Kenyataan juga menunjukkan, penerapan PHT yang te t turut meningkatkan produksi padi para petani. Hal inilah yang kemudian membuat para ahli pemuliaan tanaman di IRRI, makin giat mengembangkan padi model IR-36 yang tahan segala macam gangguan. “Karena, dalam PHT komponen utamanya memang padi yang resisten,”tambah Bottrell. (Baca juga: Mengurangi Input dan Memperbesar Output)
Hal-hal semacam inilah, yang kemudian ingin disatukan Khush dalam satu tanaman idealnya. ”Saya yakin itu bukan hal mustahil. Tanaman yang berbatang sedikit namun bermalai banyak, pendek, tahan hama penyakit, tidak rusak terkena gelombang ungu-ultra, dan berumur pendek, suatu saat akan kami temukan, ” tegasnya.
Optmisme Khush dan kerja keras para peneliti IRRI lainnya, memang tampaknya cukup melegakan. Barangkali dengan semua usaha yang dilakukan itu, apa yang dirmalkan Malthus tidak akan pernah terjadi di masa datang. Semoga.
—————
Manjawab Tantangan Efek Rumah Kaca
BARANGKALI Andapun setuju kalau efek rumah kaca disebut sebagai isu lingkungan paling banyak dibicarakan saat ini. Mulai dari politisi, ilmuwan, sampai orang awam pun ikut panik memikirkan akibat efek rumah kaca yang dapat menaikkan suhu bumi, mengubah pola iklim, mengeringkan tanaman, melelehkan es di kutub, dan menenggelamkan daerah-daerah pantai.
Para ahli juga menyebutkan, efek rumah kaca terjadi karena makin banyaknya gas-gas polutan yang ada di udara seperti karbondioksida (CO2), metan (CH4), ataupun khlorofluorokarbon (CFC). Lalu, apa hubungannya dengan pemanasan bumi? Orang sudah lama tahu, sinar matahari yang menghangatkan bumi ini datang dalam bentuk gelombang pendek dan kemudian dipantulkan bumi kembali dalam bentuk gelombang panjang.
Hadirnya gas-gas polutan ini, tentu saja menghalangi perjalanan kembali si gelombang panjang ini ke jagat raya. Panas yang terjebak inilah yang memanaskan bumi. Sering pula disebut efek rumah kaca karena penjebakan panas –kali ini sengaja– banyak dilakukan para petani dalam suatu bangunan kaca di musim dingin, agar pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik.
Susahnya metan yang ikut menjadi tertuduh sebagai penyebab bumi makin panas ini, 25 persen dihasilkan dari sawah berpengairan (sedang lainnya seperti CO2 dan CFC lebih banyak dihasilkan industri). Kemudian ada sumbangan metan dari pembakaran bioma limbah domestik (dari manusia dan binatang) dan pembuangan sampah.
Konsentrasi metan di atmosfer sebenarnya hanya 1,7 ppm bila dibanding CO2 yang mencapai 350 ppm. Namun, molekul metan tunggal ini sudah mampu menjebak panas 30 kali lebih efektif dibanding CO2. Lalu orang menyimpulkan, 15 persen dari pemanasan global ini disebabkan metan.
Padahal, sawah ini menghasilkan 95 persen dari total produksi padi di seluruh dunia dan menghidupi lebih dari separuh dari jumlah penduduknya. Orang pun jadi berpikir, kalau dibiarkan terus, apakah betul-bumi akan kiamat gara-gara kepanasan? Kalau benar begitu, apakah mungkin menghentikan penanaman padi di sawah dan memindahkannya ke lahan kering? Tetapi kalau dipindahkan ke lahan kering, apakah total produksinya masih mampu memberi makan penduduk dunia plus anak cucunya di masa mandatang?
Perdebatan panjang
Tentu semua ini kembali mengundang perdebatan panjang. Menurut Dr Dominique Bachelet, ahli ekologi dari Environmental Protection Agency (EPA Amerika Serikat misalnya, belum tentu gas-gas polutan dan pemanasan bumi yang diakibatkannya benar terjadi. ”Belum ada data cukup kuat untuk mendukung pernyataan itu,” tegasnya. Menurut dia, betul kadar CO2, CH4, dan CFC meningkat –bahkan kadar CO2 meningkat dua kali lipat dalam 50 tahun mendatang– tetapi tidak seorang pun tahu, apakah betul itu yang membuat suhu bumi meningkat.
Para ahli klimatologi tentu saja banyak yang tidak sependapat. Mereka dengan menggunakan data mutakhirnya menyatakan, CO2, metan, dan berbagai gas efek rumah kaca lainnya, akan meningkatkan suhu bumi 2-8 derajat Celcius pada abad mendatang. Itu berarti, harus dicari berbagai alternatif untuk menghambat, bahkan kalau bisa menghentikan, terjadinya efek rumah kaca. Sawah yang menghasilkan metan pun, turut kena getahnya.
Lepas dari usaha menentukan siapa salah dan benar, IRRI, yang merupakan lembaga riset padi terbesar di dunia ini, akhirnya memutuskan meneliti hubungan antara padi sawah dengan berbagai isu lingkungan mutakhir. Tentu tidak hanya untuk melihat bagaimana caranya mengurangi metan yang dihasilkan dari sawah dan apa alternatifnya tanpa merugikan petani –bila isu itu betul– tetapi juga untuk melihat dampak perubahan iklim itu sendiri terhadap produksi padi.
Bekerja sama engan EPA yang sekaligus juga sebagai penyandang dana proyek penelitian berjangka waktu 5 tahun itu kemudian dimulai tahun 1990. ”Proyek ini lebih tepat disebut perwujudan motto Pramuka, sedia payung sebelum hujan,” tutur koordinator proyek dari IRRI, Dr Keith Ingram.
”Kalau memang iklim ternyata berubah, kami ingin tahu apa akibatnya terhadap tanaman. Kalau ternyata metan dari padi sawah benar-benar turut bertanggungungjawab terhadap perubahan iklim tentu dengan mempelajari prosesnya kita bisa turut mencarikan solusinya,”tambah Ingram.
Kalaupun proyek sampai berlangsung lima tahun memang juga masuk akal. Soalnya, ada banyak masalah yang bisa dilihat. Kalau diasumsikan terjadi perubahan cuaca misalnya, maka yang perlu diteliti tidak hanya apakah betul temperatur yang lebih tinggi ini menyebabkan tanaman menjadi steril, lebih cepat pertumbuhan vegetatifnya, respirasi meningkat, sehingga akhirnya produksi menjadi rendah, tetapi juga mencari tanaman-tanaman jenis apa yang mampu bertahan dalam kondisi itu.
Selain itu proyek juga ingin meneliti, apakah membesarnya lubang ozon di lapisan atmosfer juga mempengaruhi tanaman padi. Memang telah lama diketahui, CFC yang banyak digunakan untuk lemari es, AC atau aerosol ini, ternyata membuat lapisan ozon yang melindungi bumi dari sinar ungu-ultra matahari menipis. Secara teoretis, meningkatnya sinar ungu-ultra yang diterima tanaman akan menurunkan kemampuan fotosintesa yang pada akhirnya menurunkan produksi karbohidrat. Akibatnya hasil panen pun menurun.
Sedang dari sisi metan yang dihasilkan, penelitian dilakukan untuk mengurangi gas metan yang dihasilkan. “Kami tertarik mempelajari bagaimana dan mengapa terjadi emisi metan dari sawah,” kata peneliti dari Institut Pertanian Wageningen, Belanda, Hugo Denier van der Gon, yang tergabung dalam proyek ini.
Namun mengubah sistem pertanian beririgasi menjadi padi lahan kering, bukanlah tujuan proyek bernilai 5 juta dollar (Rp 10 miliar) ini. ”Soalnya, itu tidak akan menyelesaikan masalah,” kata Dr HU Neue, yang menjadi sub koordinator untuk penelitian metan ini. ”Tujuannya yang utama adalah bagaimana menurunkan jumIah emisi metan ke atmosfer,” tambahnya.
Apa yang dilakukan
Menurut asisten senior Divisi Tanah dan Air IRRI, Rhoda Lantin, yang menemani Kompas berkeliling kebun percobaan, dalam proyek yang kini tengah berjalan itu yang dikerjakan adalah mempelajari kondisi fisiologi dan struktur tanaman, dengan cara mengukur kadar fotosintesa, transpirasi, dan respirasi tanaman.
Kondisi ini secara cermat diukur pada berbagai varitas padi yang mendapat perlakuan berbagai tingkatan suhu maupun yang mendapatkan gelombang ungu-ultra dalam berbagai tingkatan. ”Ini untuk melihat pengaruh perubahan iklim, termasuk efek rumah kaca dan menipisnya lapisan ozon,” kata Lantin.
Sedang untuk melihat proses produksi dan emisi metan, di sawah percobaan yang terletak sebelah menyebelah dengan kedua percobaan di atas, dilakukan pengukuran emisi metan dari sawah yang pemupukannya dilakukan dengan berbagai cara dan jenis. Enam belas kotak plexiglass berukuran 1 meter kubik ditempatkan pada setiap petak sawah dengan perlakuan pemupukan yang berbeda-beda. Kotak itu membuka dan menutup secara otomatis, menangkap dan mengukur emisi metan dari sawah secara kontinyu.
Pada tahap berikutnya, percobaan ini juga akan melihat perbedaan jumlah metan yang dihasilkan dari pemupukan organik dibanding kimia, dari varitas padi yang berbeda, dan dengan perlakuan penggenangan yang berbeda pula. Soalnya, metan memang dihasilkan dari dekomposisi bahan organik dalam keadaan tergenang. Namun kenyataan juga menunjukkan, bila tanaman banyak menghasilkan oksigen, ternyata banyak molekul metan yang teroksidasi sehingga tidak bisa lepas ke atmosfer.
”Jadi sekarang kami sedang mencari tanaman yang tinggi kemampuan oksidasinya, tetapi sekaligus juga besar produksinya,” kata Lantin. Dan tidak hanya itu. Tanaman yang tahan suhu tinggi dan gelombang ungu-ultra yang berlebihan, juga merupakan tujuan lain penelitian ini untuk menjawab tantangan penyediaan pangan di masa depan.
Semua ini seperti yang dikatakan Ueu, memang tidak sekadar interaksi IRRI dengan lingkungan dalam uaya mempertahankan produksi beras,
”Tetapi yang utama adalah bagaimana membuat petani tetap mendapatkan penghasilan yang layak dari hasil sawahnya, tegasnya.
————
Mengurangi Masukan, Memperbesar Keluaran
PERGILAH ke sawah atau berbagai perkebunan di seluruh pelosok dunia. Tanyakan pada para petani di sana, apa saja masukan yang diperlukan agar diperoleh hasil maksimal. Maka jawaban yang sama pasti akan dijumpai: dengan menggunakan bibit unggul, pemupukan, dan tentu saja tak ketinggalan pestisida.
Semenjak petani dikenalkan pada paket pertanian modern yang dihasilkan melalui Revousi Hijau pada tahun 1960-an, bagian pemberantasan hama dan penyakit tanaman memang selalu diidentikkan dengan penggunaan pestisida. Iklan dari industri pestisida yang gencar saat itu –sampai menerjunkan penyuluh khusus ke desa-desa membuat pestisida digunakan 95 persen petani, terutama di lahan sawah, di seluruh dunia.
Banyak petani yang tidak tahu, sebenarnya dalam paket pertanian modern pestisida tidak banyak diperlukan lagi. Sebab, bibit unggul yang direkomendasikan biasanya sudah dibuat tahan berbagai hama dan penyakit utama yang biasa menyerang tanaman.
”Saya biasa membelanjakan lebih dari 500 pesos (Rp 4.000) hanya untuk membeli pestisida saja setiap kali musim tanam untuk satu hektar tanaman padi,” tutur Amado dela Cruz, petani pemilik 3 hektar sawah di Desa San Miguel, Bulacan, Filipina. Padahal tanpa bujuk rayu si pengusaha pestisida, sebenarnya jumlah pestisida yang dibutuhkan kurang dari setengahnya.
Pestisida ini pun, karena digunakan berlebihan, turut mengubah keseimbangan ekologi. Banyak serangga yang sebenarnya merupakan musuh alami turut terbasmi. Di lain pihak, hama penyakit yang terlalu sering terpapar pestisida dosis tinggi, lama-lama menjadi kebal. Akibatnya, muncul serangan yang lebih hebat dan makin merugikan.
Kasus-kasus keracunan pestisida pada manusia, juga sering muncul. Michael Loevinsohn dalam artikel ilmiahnya di jurnal kedokteran Inggris, Lancet, menyatakan setiap tahunnya ada 10.000 orang meninggal gara-gara keracunan pestisida. Di Indonesia pun, banyak kasus sama sering muncul di media massa.
Tidak heran bila para ilmuwan di IRRI, begitu prihatin dengan masalah ini. ”Mereka membuang uang untuk sesuatu yang tidak berguna,” tutur Dr Merle Shepard, mantan Kepala Divisi Entomologi IRRI. Itu pula sebabnya, mengapa kemudian IRRI mengajak berbagai negara bekerja sama melakukan pengendalian hama terpadu (PHT).
Secara sederhana, paket PHT sebenarnya menekankan pada penggunaan pestisida seminimal mungkin, dengan cara memanfaatkan bibit unggul tahan hama penyakit serta musuh alami yang sebenarnya sudah disediakan alam untuk menjaga keseimbangan ekologi. Namun dalam konteks yang lebih besar, PHT juga berarti memberantas gulma dengan sedikit bahan kimia, melakukan rotasi tanaman, pemberaan, saat tanam yang tepat, serta membuat kondisi yang merangsang musuh alami –dikenal dengan sebutan predator– datang melindungi tanaman.
NAMUN, memulai PHT memang tidak semudah membalikkan tangan. Gambaran pestisida sebagai dewa penyelamat produksi pertanian yang sudah melekat lebih dari seperempat abad, membuat banyak petani –juga pemerintah yang ingin menyelamatkan cadangan pangannya– tidak percaya ide PHT.
”Pada masa-masa awal, empat tahun lalu, hanya Indonesia, India, Malaysia, dan Filipina yang bersedia menerapkan program PHT dalam kebijakan pertaniannya,” kata Kepala Divisi Entomologi IRRI saat ini, Dr Dale G Bottrell. Susahnya lagi, ide PHT ini juga banyak mendapat tantangan dari negara-negara maju, yang notabene merupakan eksportir pestisida terbesar di dunia.
Meskipun demikian, IRRI dengan dukungan FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian PBB) tidak mundur. ”Para petani memang membutuhkan latihan dan pelaksanaan langsung di lapangan untuk membuktikan bahwa PHT lebih efisien dan efektif,” tutur koordinator program PHT untuk padi di FAO, Dr Peter Kenmore.
Dengan landasan itu pula IRRI bersama-sama keempat negara yang bersedia, mulai mempersiapkan para petani. Ribuan penyuluh diterjunkan untuk mengajarkan tiga keahlian utama: bagaimana cara mengidentifikasi hama penyakit dan gejalanya, bagaimana menghitung dan memperkirakan bahwa populasi serangga itu sudah membahayakan, serta kemampuan untuk mengenal serangga-serangga apa yang merupakan musuh alami dan berapa banyak yang dibutuhkan.
Seberapa jauh keefektifan musuh alami berperan dalam PHT, memang sudah diteliti. Menurut Shepard, serangga yang menjadi musuh alami ini mampu mengontrol hingga 95 persen serangga pengganggu. Laba-laba yang dikenal dengan sebutan laba-laba serigala (Lycosa pseuoannulata) misalnya, dapat membunuh 10-20 ekor walang sangit yang banyak mengganggu padi setiap harinya. Seekor kumbang betina yang bentuknya seperti kepik, juga bias memakan 80-90 persen telur serangga pengganggu. Padahal, saat ini sudah dikenal ada 800 spesies serangga yang sebenarnya menjadi sahabat manusia.
”Sampai sekarang, di Filipina saja kami telah berhasil mendidik lebih dari 100.000 petani dan 7.000 tenaga teknis di lapangan,” kata Bottrell. Tidak hanya itu. IRRI juga telah menyebarluaskan lebih dari 5.000 kopi makalah seminar tentang PHT ke seluruh dunia. Berbagai jenis booklet mulai dari padi dan masalahnya, mengenal berbagai jenis serangga predator sahabat petani, sampai ke poster-poster yang berisi gambar-gambar berwarna musuh alami ini, dicetak dan disebarluaskan. Semua materi dicetak dalam 22 bahasa, termasuk dialek-dialek lokal.
PARA petani yang sudah beberapa musim mempraktekkan PHT memang mulai merasakan manfaatnya. John Pagaduan, petani dari kawasan Nueva Ecija, Filipina misalnya, kini bisa menghasilkan lebih dari 5 ton gabah per hektar. ”Yang lebih penting lagi, ikan, kepiting, dan siput kembali datang ke sawah setelah saya mengurangi pestisida. Itu menjadi tambahan pemasukan dan gizi yang menyenangkan,” katanya. Sedang dela Cruz mengaku, kini ia bisa menabung setelah mengikuti program PHT.
Menurut Shepard, pelaksanaan PHT yang benar memang akan menurunkan penggunaan pestisida hingga 50 persennya. Ini berarti, dengan PHT Filipina bisa menghemat hingga 10 juta dollar AS (sekitar Rp 20 milyar) per tahun. Sedang Indonesia, bahkan bisa mencapai 100 juta dollar AS (Rp 200 milyar) per tahun.
Di Filipina, meski para petani yang mengikuti program PHT merasa diuntungkan, menurut Bottrell memang masih kalah sukses pelaksanaannya dibanding Indonesia. ”Negara Anda luar biasa. Sekarang jumlah impor pestisida sudah menurun lebih dari setengahnya,” katanya. Tanggapan positif Pemerintah Indonesia, telah membuat banyak petani melaksanakan PHT tanpa ragu-ragu.
”Seharusnya Filipina dan negara-negara lain juga didukung pemerintah seperti Indonesia, dengan membuat peraturan-peraturan yang meningkatkan pelaksanaan PHT. Misalnya dengan melarang masuknya pestisida impor,” tutur koordinator program ekosistem padi dataran tinggi IRRI, Dr MA Arraudeau.
Hingga saat ini, perjuangan untuk mempopulerkan PHT ke seluruh penjuru dunia memang belum berhenti. IRRI pun masih terus-menerus mencari berbagai terobosan baru agar PHT makin menguntungka petani. Bottrell misalnya kini tengah sibuk mencari varitas-varitas padi yang mamou menark perhatian musuh alami. Bottrell dan para stafnya, menggunakan alat yang disebut olfactometer untuk melihat jenis padi apa yang disukai predator dan hama pengganggu.
”Dari situ kami bisa menyeleksi varitas apa yang paling menarik predator, yang kemudian dapat digunakan sebagai induk untuk pemuliaan padi,” kata Bottrell yang beberapa kali berkunjung ke Indonesia untuk program PHT ini. Dengan cara itu diharapkan varitas baru yang dihasilkan memiliki kontrol hama penyakit secara alami, karena predator hidup di sekitarnya.
Untuk meyakinkan lebih banyak negara tentang PHT, tahun 1993 ini IRRI juga mau melihat keuntungan ekonomi yang diperoleh dengan menerapkan PHT. Tiga desa di Nueva Ecija, Filipina, dipilih sebagai contoh kasus untuk empat kali musim tanam. Desa pertama di mana para petaninya sudah mendapat pelatihan mengenai PHT, akan menanam padi dengan sistem PHT. Desa kedua akan meneruskan tradisi mereka menggunakan pestisida secara rutin, dan desa ketiga menggunakan pestisida setelah padinya berumur 40 hari.
Hasil PHT dan berbagai usaha perbaikannya, memang tidak bisa dilihat dalam waktu singkat. Namun bila itu terlaksana, suatu keseimbangan ekologi akan kembali tercipta sehingga konsep pertanian berkelanjutan benar-benar terlaksana, kata Arraudeau.***
Sumber: KOMPAS, JUMAT, 19 MARET 1993