Dikotomi peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Indonesia berpengaruh besar terhadap keaktifan perempuan di bidang sains, ilmu pengetahuan, dan teknologi. ?Sudah saatnya mengadvokasi kepada masyarakat bahwa iptek tidak mengenal jender.
“Iptek masih dipandang sebagai bidang yang sangat maskulin. Insinyur ataupun teknisi merupakan pekerjaan yang dinotabenekan untuk kaum laki-laki,” kata peneliti Pusat Penelitian Perkembangan Iptek (Pappitek) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wati Hermawati di Jakarta, Jumat (16/3). Wati merupakan editor dari buku “Gender dalam Iptek: Perkembangan, Kebijakan, dan Tantangannya” yang diterbitkan oleh LIPI.
–Suasana diskusi buku “Gender dalam Iptek”? di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, Jumat (16/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Buku tersebut ditulis oleh 22 penulis yang antara lain merupakan peneliti di LIPI, akademisi di perguruan tinggi?, dan profesional di kementerian. Buku yang terdiri dari 16 bab itu membahas tentang kurangnya peran perempuan di dalam bidang iptek, baik sebagai pengguna, pembuat, maupun pengambil kebijakan.
Wati menyampaikan, menurut data Unesco, dari jumlah peneliti di seluruh dunia, perempuan peneliti hanya ada ?29 persen. Di Indonesia, jumlah perempuan peneliti adalah 35 persen dari total.
–Buku karya “Gender dalam Iptek: Perkembangan, Kebijakan, dan Tantangannya” yang diterbitkan oleh LIPI.
Secara persentase, Indonesia masih kalah dari Myanmar (85 persen) dan Thailand (52 persen). “Akan tetapi, alasan mayoritas peneliti adalah perempuan di negara-negara tersebut karena kaum laki-laki banyak memilih berkarir di militer ataupun berwirausaha,” papar Wati.
Ia menuturkan, harus ada pendidikan sejak dini kepada masyarakat bahwa iptek tidak mengenal jenis kelamin ataupun sifat feminin dan maskulin. Di samping itu, kembangkan data terpilah jumlah perempuan yang berkuliah dan bekerja di bidang iptek.
“Untuk saat ini, masih perlu ada tim ad hoc untuk pengarusutamaan dan keadilan jender di lembaga penelitian, perguruan tinggi, maupun manufaktur,” ujar Wati.
?Peneliti Pappitek LIPI Chichi Sinthia Laksmi yang mengadakan survey terhadap 1.800 orang di 10 kabupaten/kota menemukan bahwa mayoritas responden mengira iptek merupakan suatu hal yang besar dan canggih seperti membuat kendaraan dan robot. Bagi perempuan yang mengetahui definisi iptek lebih memilih bidang kesehatan yang dinilai lebih dekat dengan dunia perempuan yang umumnya dianggap akan menjadi seorang ibu.
Bidang lain
Peneliti LIPI Nani Grace Simamora yang juga salah satu penulis di buku “Gender dalam Iptek” mengungkapkan, perempuan yang memilih mempelajari iptek cenderung memilih bidang yang dinilai feminin seperti farmasi dan teknologi pangan. Perempuan yang memilih bidang teknik sipil, mesin, manufaktur, dan elektro terbilang langka.
?”Kalaupun ada perempuan sarjana iptek yang bekerja di lembaga manufaktur, umumnya mengisi posisi non teknis seperti di bidang administrasi,” kata Grace. Ia menambahkan, perlu dilakukan penelitian mendalam mengenai alasan perempuan sarjana iptek memilih berkarier tidak pada bidangnya. (DNE)–LARASWATI ARIADNE ANWAR
Sumber: Kompas, 19 Maret 2018