Kaum intelektual di Indonesia diminta tidak alergi dengan dunia politik dan kekuasaan. Demi kepentingan kemanusiaan, intelektual bisa menjalin hubungan atau berkolaborasi dengan kekuasaan. Namun, hubungan dengan kekuasaan itu tak boleh membuat seorang intelektual kehilangan karakter dasarnya, yakni berpikir bebas dan bertindak bijak.
Demikian disampaikan Cornelis Lay saat menyampaikan pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM), Rabu (6/2/2019), di Balai Senat UGM, Kabupatcn Sleman, Daerah lstimewa Yopyakarta.
Pengukuhan Cornelis sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Politik dan Pemerintahan itu dihadiri oleh sejumlah tokoh, antara lain Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, serta Sekretaris Jenderal PDI-Perjuangan Hasto Kristiyanto.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam pidatonya, Cornelis menyampaikan, selama ini, kaum intelektual seolah-olah hanya dihadapkan pada dua pilihan atau jalan saat berhubungan dengan kekuasaan. Jalan pertama adalah menjadi bagian dan tunduk pada kekuasaan, sementara jalan kedua adalah menjauhi dan bahkan memusuhi kekuasaan.
“Secara subyektif, konstruksi berpikir itu berakibat pada munculnya sindrom antipolitik pada sebagian, bahkan mayoritas intelektual yang secara bangga memersepsikan diri sebagai makhluk apolitis,” ujar Cornelis.
Jalan tengah
Menghadapi kondisi tersebut, ia menawarkan jalan ketiga dalam memandang relasi intelektual dan kekuasaan. Jalan ketiga itu adalah jalan di mana kaum intelektual bisa masuk dan keluar dari kekuasaan berdasarkan penilaian yang matang dan menyeluruh serta berdasarkan motif kemanusiaan. Oleh karena itu, relasi intelektual dan kekuasaan tidak didikte oleh motif kecintaan atau kebencian.
Cornelis menuturkan, upaya menemukan jalan ketiga itu berangkat dari keyakinan bahwa kekuasaan dan ilmu pengetahuan sebenarnya lahir dan bertumbuh di atas cita-cita yang baik, yakni pembebasan manusia dan pemuliaan kemanusiaan. Oleh karena itu, untuk memperjuangkan kemanusiaan, kaum intelektual bisa menjalin hubungan dengan kekuasaan.
“Keduanya (kekuasaan dan ilmu pengetahuan) bisa menemukan alasan moral yang kuat dan masuk akal untuk jalan bersisian di tengah-tengah pesimisme yang berkembang,” katanya.
Namun, Cornelis mengingatkan, jalan ketiga itu tak mudah dilalui. Sebab, banyak jebakan yang bisa menggagalkan tujuan mulia untuk memperjuangkan kemanusiaan.
Sementara itu, Tjahjo Kumolo berpendapat, jalan ketiga yang ditawarkan Cornelis cukup menarik. Menurut Tjahjo, tanpa kontribusi kaum intelektual, pemerintah tidak akan mampu bekerja secara maksimal. Indonesia saat ini tengah dalam tahap konsolidasi demokrasi sehingga sangat membutuhkan peran kaum intelektual. (HRS)
Sumber: Kompas, 7 Februari 2019