Di tengah ketatnya persaingan global, industri dirgantara Indonesia, baik penerbangan maupun antariksa, belum memiliki arah yang jelas. Kerja sama antara lembaga riset, perusahaan negara dan industri kecil menengah dirgantara juga belum padu.
Indonesia memang jadi satu-satunya negara ASEAN yang mampu membuat pesawat. Namun, negara-negara tetangga, seperti Malaysia mulai menguasai teknologi komponen pesawat, Thailand mampu membuat roket ukuran tertentu, sementara Singapura, Filipina dan Vietnam mulai membuat satelit.
KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA–Helikopter Anti Kapal Selam jenis Panther (kiri) dan Pesawat CN235-220 Marine Patrol Aircraft (MPA) diparkir di Hanggar PT Dirgantara Indonesia, Bandung, Kamis (24/1/2019). Nantinya alutsista ini akan digunakan Angkatan Laut untuk berpatroli di perairan Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di tengah ketatnya persaingan global, industri dirgantara Indonesia belum memiliki kebijakan makro dengan arah yang jelas. Kerja sama antara lembaga riset, perusahaan negara dan industri kecil menengah dirgantara juga belum padu. Akibatnya, masing-masing pihak jalan sendiri-sendiri.
“Indonesia butuh cetak biru industri penerbangan yang berorientasi global,” kata pengurus Pusat Kerekayasaan Aeronautika Indonesia (Indonesian Aeronautical Engineering Center/IAEC) Heru Gunawan di Jakarta, Jumat (19/4/2019).
Dengan orientasi global itu, kerja sama dengan perusahaan multinasional harusnya tak perlu dikhawatirkan. Indonesia memiliki daya tawar tinggi dari besarnya potensi pasar, jumlah penduduk dan pendapatan yang terus meningkat. Indonesia juga diprediksi jadi kekuatan ekonomi terbesar keempat dunia pada 2030.
Namun, Indonesia belum bisa memanfaatkan potensi besar yang dimiliki. Padahal, ratusan pesawat buatan pabrikan dunia berseliweran di udara Indonesia tiap hari. Sebagian pesawat itu, masih dirawat di luar negeri karena belum ada ketentuan yang mewajibkan pesawat itu dirawat di dalam negeri.
KOMPAS/M CLARA WRESTI–PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia Tbk menjadi koordinator dari Indonesia Services Hub, yang terdiri dari BUMN dan anak usaha BUMN yang bergerak dalam perawatan dan perbaikan pesawat. Diharapkan dengan ISH, 75 persen pasar perawatan pesawat domestik bisa diraih.
“Belum ada aturan yang mewajibkan pembelian pesawat atau satelit komersial menyaratkan adanya ofset. Namun, pola itu sudah berlaku dalam pembelian pesawat militer,” tambah Deputi Bidang Teknologi Penerbangan dan Antariksa, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Rika Andiarti.
Ofset adalah perjanjian untuk mengembalikan sebagian nilai kontrak dagang kepada negara pembeli. Untuk produk dirgantara, ofset bisa dilakukan dalam bentuk kewajiban pembuatan sebagian komponen di Indonesia, transfer teknologi, atau model lain yang menguntungkan kedua belah pihak.
Selain itu, lanjut Heru, industri kecil menengah dirgantara yang sudah ada di Indonesia dan memproduksi komponen dan perawatan pesawat juga belum jelas optimalisasinya. Padahal, potensinya sangat besar dan sumber daya manusia yang dimiliki Indonesia memadai.
Sejumlah perguruan tinggi Indonesia memfokuskan kajian dan risetnya untuk mendukung industri dirgantara. Sementara banyak perekayasa penerbangan Indonesia yang dulu bekerja di Industri Pesawat Terbang Nusantara (sekarang PT Dirgantara Indonesia/PTDI), kini memajukan industri negara lain.
Terkait kebijakan yang berorientasi global, Heru mencontohkan Malaysia. Negara itu tidak masuk dalam pembuatan pesawat karena butuh riset dan pengembangan yang mahal dan lama serta memerlukan sumber daya manusia berkualitas.
KOMPAS–Siswa SMK Merakit Pesawat – Siswa SMK Negeri 29 Jakarta mengerjakan perakitan pesawat dengan baling-baling tunggal di bengkel sekolah mereka, Rabu (11/1/2012). Pesawat yang diberi nama Jabiru J430 ini merupakan wujud aplikasi ketrampilan siswa SMK jurusan penerbangan. Perakitan ini juga mendapat dukungan dari TNI AU, Federasi Aerosport Indonesia (FASI), dan perusahaan di industri penerbangan.
Malaysia fokus pada pengembangan industri komponen pesawat yang bekerja sama dengan berbagai perusahaan global. Salah satunya adalah produksi komposit yang digunakan pada dinding hingga kursi pesawat. Tiap tahun, industri komponen pesawat Malaysia memperoleh pendapatan 2 miliar dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 28 triliun.
Kolaborasi
Menghadapi tantangan itu, kolaborasi antarpihak yang terlibat dalam industri dirgantara Indonesia, mulai dari lembaga penelitian dan pengembangan, badan usaha milik negara, industri kecil menengah hingga perusahaan rintisan, harus dilakukan.
Lemahnya koordinasi membuat masing-masing pihak berjalan sendiri tanpa arah yang jelas. Terlebih, terdapat sejumlah kementerian teknis yang mengurusi industri dirgantara.
“Peran lembaga riset dan pengembangan dengan industri dalam cetak biru tidak bisa dipisahkan,” tambah Heru.
Untuk pembuatan cetak biru industri dirgantara nasional itu, Lapan dan IAEC akan membentuk Satuan Tugas bersama. Cetak biru itu disusun dengan disesuaiakan dengan Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2017 tentang Rencana Induk Penyelenggaraan Keantariksaan Tahun 2016-2040.
Selain kebijakan makro dirgantara, riset penerbangan dan antariksa nasional pun masih menghadapi kendala klasik, yaitu terbatasnya dana. Menurut Rika, terbatasnya anggaran membuat peta jalan riset dirgantara Indonesia belum bisa disesuaikan dengan rencana induk yang sudah ada.
KOMPAS–Para perekayasa dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) melakukan pengecakan akhir Satelit Lapan A2 / ORARI di Pusat Teknologi Satelit Lapan, Rancabungur, Bogor, Jawa Barat, Kamis (3/9). Satelit Lapan A2 / ORARI merupakan satelit pertama yang sepenuhnya dirancang dan dibuat ahli-ahli Lapan memakai fasilitas produksi dan fasilitas uji di Indonesia. Menurut rencana Satelit Lapan A2 / ORARI akan diluncurkan 27 September dari Pusat Antariksa Satish Dhawan, Sriharikota, India. Satelit dibawa ke orbit dengan ditumpangkan pada roket India bersama satelit penelitian astronomi milik Organisasi Riset Antariksa India (ISRO), Astrosat.
“Memang sudah ada peningkatkan (dana) dibanding sebelumnya, tapi masih belum memenuhi kebutuhan,” katanya.
Di tengah keterbatasan anggaran itu, negara-negara ASEAN melaju kencang. Di masa lalu, Indonesia unggul dalam berbagai teknologi dirgantara, mulai dari pembuatan pesawat, satelit, hingga roket.
Kini, negara-negara itu dengan bantuan negara dan industri multinasional, mampu membuat produk dirgantara yang hampir menyamai bahkan menyalip Indonesia. “Indonesia butuh kebijakan dirgantara yang berpihak,” tambah Rika.
Oleh M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 20 April 2019