Isak tangis terdengar di antara lantunan doa yang didaras di beberapa lokasi pekuburan massal di Aceh pada peringatan 10 tahun bencana tsunami, Jumat (26/12). Peringatan atas tragedi yang menewaskan 126.741 orang Aceh dan menyebabkan 93.285 orang hilang itu diharapkan jadi pelajaran bagi bangsa ini untuk menjadikan mitigasi bencana sebagai bagian penting dari pembangunan.
”Jangan sampai tragedi ini berulang dan dialami kembali anak cucu kita di masa datang. Cukuplah kami yang mengalami,” kata Joni (46), warga Kampung Mulia, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh, yang ditemui di kuburan massal Gampong Siron, Lambaro, Aceh Besar. Dia kehilangan ibunya saat tsunami.
Namun, lebih dari pemulihan ekonomi, warga Aceh dan kota- kota pesisir lain di Indonesia yang rentan tsunami sebenarnya juga membutuhkan sistem proteksi dari bencana serupa di masa depan. Joni, misalnya, hingga kini tak mau kembali tinggal di rumah lamanya karena masih trauma. Dia memilih tinggal di rumah toko yang baru dibangun di Pasar Aceh. Padahal, seperti rumah lamanya di Kampung Mulia, kawasan Pasar Aceh saat itu rusak parah dilanda tsunami.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Kami di Banda Aceh tak punya banyak pilihan tempat tinggal karena hampir semua kawasan ini terkena tsunami. Pusat kota juga paling parah terlanda tsunami saat itu. Kami hanya berharap sistem peringatan dini jadi lebih baik,” katanya.
Namun, harapan Joni masih jauh terwujud. Seperti diakui Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho, sistem peringatan dini tsunami di Indonesia bermasalah. Kesiapan infrastruktur proteksi belum kuat.
Dari aspek sosial budaya, secara umum masyarakat Indonesia belum siap menghadapi tsunami lagi. Pada 2013, BNPB, UNFPA, dan BPS melakukan survei pengetahuan, sikap, dan perilaku terhadap bencana. Hasilnya, tingkat pengetahuan masyarakat tentang bencana sudah baik, tetapi belum jadi sikap dan perilaku.
”Proses membentuk budaya masyarakat tangguh menghadapi bencana adalah proses panjang, lintas generasi, dan harus terus dilakukan. Pengurangan risiko bencana harus jadi investasi pembangunan di semua sektor. Tak boleh hanya ad hoc, tetapi perlu komitmen tinggi dari pemerintah dan pemda,” katanya.
Tantangan
Abdul Muhari, peneliti tsunami dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, mengatakan, bencana tsunami Aceh harus jadi pelajaran penting bagi kebijakan pembangunan nasional, terutama terkait kebijakan pemerintah untuk mengembangkan kembali sektor maritim, salah satunya lewat program ”tol laut”.
Muhari melihat ada tantangan besar untuk bisa meminimalkan potensi dampak kerugian ekonomi berkaitan aset-aset kepelabuhanan yang ada di kawasan bahaya tsunami, seperti pantai barat Sumatera, bagian selatan Jawa, bagian selatan dan utara Nusa Tenggara, bagian utara Sulawesi, Maluku dan Maluku Utara, serta Papua. Pengalaman di Aceh 2004 memberi pesan bahwa kerugian di sektor kelautan dan kemaritiman Rp 6 triliun. Jika faktor risiko bencana tsunami itu tak diperhitungkan dengan baik, kerugian serupa berpotensi terulang, selain kerugian akibat korban jiwa.
”Meski perencanaan detail dari lokasi pelabuhan-pelabuhan yang akan jadi komponen dalam program tol laut masih ditelaah dan disempurnakan, secara umum hanya delapan dari 24 pelabuhan yang ada di zona yang relatif aman terhadap tsunami. Sebanyak 24 pelabuhan lain ada di kawasan rawan tsunami dengan catatan sejarah kejadian tsunami di lokasi-lokasi itu 10 meter-20 meter,” katanya.
Pengintegrasian variabel risiko bencana dalam perencanaan pembangunan penting karena pengabaian akan amat merugikan. Dalam 10 tahun terakhir, Bappenas mencatat kerugian ekonomi akibat bencana alam Rp 167 triliun. Jika ditambah alokasi dana keperluan tanggap darurat Rp 102 triliun, total kerugian akibat bencana Rp 269 triliun.(AIK)
Sumber: Kompas, 27 Desember 2014