Bukan karena kecantikan, duo ahli biokimia muda asal Finlandia, Suvi Haimi dan Laura Kyllönen, menarik perhatian dunia. Di tangan keduanya, beragam bungkus dan wadah kemasan tak akan lagi berakhir sebagai sampah. Mereka luruh dan berdamai dengan alam.
Inovasi itulah yang dibangun dua sahabat tersebut setelah membentuk usaha bersama, Sulapac. Inovasinya hendak menjawab pertanyaan dunia, bisakah kita hidup tanpa plastik?
Suvi pun mengeluarkan sebuah wadah serbaguna berwarna krem dari tasnya. Tutup kemasan berwarna merah stroberi. Wadah itu multi-manfaat, mulai dari tempat kosmetik hingga wadah menyimpan barang. Jika tak lagi terpakai, kata Suvi, tak perlu khawatir jika terpaksa membuangnya. ”Karena, dalam 21 hari saja, wadah ini akan luruh menjadi kompos di tempat pembuangan sampah,” katanya saat menerima kunjungan Kompas bersama jurnalis dari 15 negara lainnya yang diundang Kementerian Luar Negeri Finlandia, di Helsinki, awal November 2018.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN–Beragam produk wadah kosmetik Sulapac yang diolah dari limbah kayu menjadi wadah berbahan bio-plastik. Perusahaan itu mengusung kampanye ramah lingkungan sebagai bagian dari target pembangunan berkelanjutan menuju bebas karbon.
Seluruh bahan yang digunakan untuk membuat wadah-wadah kemasan itu memanfaatkan bahan dari bubur kertas. Diolah bersama bahan perekat alami, jadilah beragam produk mulai dari botol, stoples, kotak susu, pisau, tempat penyimpan, hingga pembersih telinga. Semua benda ini tentu saja dapat didaur ulang.
Wadah kemasan Sulapac lahir dari sebuah kekhawatiran. Kedua wanita pencinta kosmetik ini melihat berbagai wadah yang dibeli tanpa disadari sering kali berakhir menumpuk begitu saja menjadi sampah di meja rias.
Pelembab wajah, pelembab kulit, hingga pemulas bibir. Belum lagi botol sampo, kondisioner, serta sabun, odol yang harus kerap bolak-balik ganti karena isinya telah habis.
Ironisnya, hampir semua wadah kosmetik itu berbahan plastik. Ketika isinya telah habis, wadahnya pun terbuang. Bisa dibayangkan bagaimana menumpuknya benda-benda itu saat tak lagi digunakan.
Di bangku kuliah, Laura dan Suvi mulai terpikir apa jadinya seluruh wadah plastik itu ketika mereka tak lagi gunakan isinya. Saat dibuang ke tempat sampah, seluruh bungkus akan berakhir menumpuk.
Sampai kapan pun, sampah-sampah mahal itu tak akan mampu diurai, malah akan berubah menjadi mikroplastik. Ketika terbuang ke laut, sampah-sampah itu pun semakin mengancam keselamatan satwa air.
Demi mengajak orang beralih dari plastik, Suvi dan Laura memanfaatkan bubur kertas dan bahan pengikat alami yang dapat didaur ulang melalui industri pengolahan sampah dan juga dapat terurai dengan cepat jika berakhir di laut ataupun dalam tanah. Dengan modal ilmu di bangku kuliah, wadah dari bubur kertas menjadi bahan pengganti plastik.
Dengan bahan tersebut, ketika wadah kemasan terbuang ke tanah, ia pun akan luruh dan melapuk setelah 21 hari. Bagaimana jika terbuang ke perairan? Benda-benda itu juga dengan cepat luruh. Tak berbahaya jika termakan ikan.
Sedotan aman
Kini, gerakan menyetop penggunaan plastik semakin menguat di mana-mana. Salah satunya menghentikan pemakaian sedotan. Di Uni Eropa, anggota parlemen sejak Oktober mendesak larangan penggunaan sedotan serta memberikan tekanan lebih besar kepada produsen untuk mendaur ulang produk-produk plastik guna mengantisipasi polusi di laut. Namun, apa solusi yang ditawarkan?
Suvi dan Laura memanfaatkan pengembangan sedotan ramah lingkungan. Sedotan berbahan bubur kertas itu dipasok dari sebuah perusahaan kertas dan bubur kertas Finlandia Stora Enso. Sedotan yang baru akan dipasarkan pada pertengahan tahun ini diharapkan mampu memerangi masalah limbah plastik global.
Inovasi wadah kemasan berbahan bubur kertas akhirnya membawa Sulapac memenangi berbagai penghargaan, salah satunya Green Alley Award 2017, penghargaan Eropa pertama buat para pemula yang didedikasikan untuk mendukung ekonomi sirkular.
Awal November, Sulapac juga terpilih sebagai pemenang kategori Kemasan Berkelanjutan di Sustainable Beauty Awards di Paris.
Kari Herlevi, Project Director Circular Economy Sitra Fund, lembaga pendanaan ekonomi sirkular asal Finlandia, mengatakan, dunia usaha terus digenjot demi menciptakan beragam produk inovasi yang ramah lingkungan. Termasuk pula kalangan start up dipacu menciptakan beragam produk minim karbon.
Menurut Kari, dari hasil studi didapat, selama ini dari produk-produk konsumsi, 80 persennya ternyata berupa sampah. Menjadi tantangan saat ini bagaimana menekan sebesar-besarnya karbon yang berarti bertujuan mengantisipasi dampak dari pemanasan global. Selain pemanfaatan jasa lebih didorong, kalangan dunia usaha pun berpacu menghasilkan produk yang bisa memiliki usia lebih panjang.
Sejumlah inovasi pun lahir dari semangat ekonomi sirkular, antara lain produksi diesel dari sampah dan residu. Ada pula gelas kertas yang mudah didaur ulang. Kalangan desainer telah menghasilkan pakaian dari bahan kain bekas. Berkembang pula konsep jasa sewa kendaraan berbahan bakar listrik, EkoRent.
Finlandia memang tengah memacu berbagai sektor ataupun elemen untuk turut serta dalam pembangunan bersistem ekonomi sirkular. Ekonomi sirkular merupakan model pembangunan berkelanjutan yang mengedepankan lingkungan dan sosial.
Pembangunan ini berfokus pada daur ulang produk untuk meminimalkan sampah. Juga menekankan efisiensi pemanfaatan sumber daya alam, perpanjangan masa pakai produk, dan kesejahteraan masyarakat. Target besarnya adalah terciptanya pembangunan bebas karbon.
Bagaimana dengan di Indonesia? Wadah kemasan berbahan pengganti plastik rupanya dihasilkan juga. Tak kalah kreatif dengan inovasi luar negeri, industri dalam negeri telah menemukan cara pengembangan produk ramah lingkungan pengganti plastik dengan memanfaatkan tepung singkong.
Bahkan, sekelompok anak muda telah mengolahnya dari bahan rumput laut dan berhasil menyabet berbagai penghargaan lewat produk Evoware. Benar-benar mengagumkan. Inovasi anak negeri selayaknya dimanfaatkan maksimal untuk mengurangi kebergantungan pada plastik.IRMA TAMBUNAN
Sumber: Kompas, 9 Januari 2019