Tak kurang dari 1.000 orang memadati ruang pertemuan di International Intangible Cultural Heritage Park, Chengdu, Sichuan, Tiongkok, pertengahan November lalu. Mereka datang dari berbagai belahan dunia, dengan latar belakang profesi berbeda. Ada peneliti, pakar, lembaga swadaya masyarakat, perwakilan pemerintah, dan perwakilan perusahaan otomotif. Tentu saja tidak ketinggalan orang-orang yang mewakili Michelin, -perusahaan ban yang berkantor pusat di Clermont, Ferrand, Perancis.
Mereka berkumpul dalam acara Michelin Challenge Bibendum (MCB) Global Summit ke-12 untuk membicarakan sejumlah isu penting terkait transportasi dunia. Polusi, keselamatan berkendara, pengurangan emisi, kesinambungan transportasi, hingga masalah lingkungan, dibicarakan dalam pertemuan akbar ini. Selain itu bagaimana menemukan inovasi, teknologi, dan kreativitas untuk mencari solusi atas berbagai persoalan transportasi dunia.
Michelin Challenge Bibendum (MCB) adalah pertemuan tiga tahunan yang selalu dilakukan di negara atau benua berbeda. Tahun ini, pihak penyelenggara memilih Chengdu, kota di Provinsi Sichuan, sebagai tempat penyelenggaraan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Kami berkumpul untuk memikirkan soal transportasi, soal pergerakan manusia dan barang. Kami memikirkan soal inovasi, teknologi, dan berbagai solusi untuk keselamatan berkendara dan kepentingan jangka panjang untuk kesinambungan transportasi. Bahkan kami juga memikirkan tentang masalah lingkungan, soal emisi, polusi, kemacetan, hingga kami ikut peduli dengan memanfaatkan kembali berbagai material yang bisa digunakan dan terus mencari energi terbarukan,” kata CEO Michelin, Jean Dominique Senard, saat membuka acara.
Menurut Senard, untuk berbagai masalah transportasi dunia ini, semua pihak, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, pengambil kebijakan, peneliti, dan lainnya, harus berinteraksi dan bekerja sama. ”Butuh komitmen bersama semua pihak untuk melakukan aksi, untuk berinovasi dan mencari solusi bersama dalam soal transportasi. Semua orang harus memikirkan soal transportasi berkelanjutan ditengah berbagai masalah transportasi urban yang dihadapi dunia saat ini, dan tentu saja untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Ekonomi dan lingkungan
Diskusi dan perdebatan dalam MCB 12 ini memang lebih fokus pada soal bagaimana inovasi mobilitas, dapat menunjang pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat perkotaan. Peserta didorong untuk aktif membuat studi kasus dan melakukan berbagai eksperimen untuk mencari solusi baru dalam menciptakan mobilitas yang lebih aman, bersih, terkoneksi dengan akses yang lebih luas, sekaligus menjawab masalah kemacetan dan keselamatan berkendara.
Para pemangku kepentingan yang hadir di acara ini menyatakan komitmen terhadap berbagai program sekaligus kebijakan yang dirancang sebagai jawaban terhadap tantangan mobilitas yang menjadi bagian dari perkembangan ekonomi dan sosial.
Sebagai contoh adalah respons terhadap tuntutan sosial yang kemudian menjadi faktor penting yang jadi fokus pembelajaran dalam pertemuan ini. Respons ini di antaranya menetapkan target yang ambisius untuk pengurangan emisi CO2, menciptakan zona-zona emisi ultra rendah, serta mengembangkan solusi transportasi kreatif dari rumah ke rumah. Selain itu, menciptakan kembali logistik-logistik untuk pengiriman ke destinasi akhir serta mempromosikan investasi swasta dan publik.
Memang dari pertemuan ke pertemuan, MCB selalu menghasilkan inovasi terkait transportasi dan berbagai dampak atau permasalahannya. Contoh berikut mungkin bisa menjadi gambaran.
Pada kegiatan MCB pertama tahun 1998, Nissan meluncurkan sebuah mobil prototipe yang diperlengkapi dengan baterai litium. Hingga hari ini, terdapat beberapa kendaraan yang telah menggunakan teknologi ini. Pada MCB 2007 di Shanghai, Renault memperkenalkan Logan yang mengeluarkan emisi 72 gram CO2 per kilometer dalam kondisi berkendara yang normal, dan dengan demikian dimulailah pertandingan emisi rendah. Di Rio de Janeiro pada tahun 2010, telah terbukti bahwa mobil-mobil tersebut dapat mencapai emisi serendah 50 gram CO2 per kilometer. Pada 2011 di Berlin, acara tersebut berhasil memastikan ketersediaan pasar bagi baterai fuel-cell.
Tahun ini, MCB telah berevolusi menjadi sebuah kegiatan ”Think and Action Tank” yang berorientasi ke depan. Kegiatan yang telah dipersiapkan oleh berbagai ahli internasional sepanjang tahun ini menghasilkan sebuah publikasi Green Paper di Chengdu.
Untuk isu lingkungan, Michelin sudah berupaya pula menerapkannya setidaknya dalam program 4R yakni reduce, reuse, recycle, dan renewable. Program ini didasari fakta bahwa industri ban menggunakan 32 juta ton bahan baku setiap tahunnya dan tiga perempatnya berbahan dasar fosil. Di saat yang sama, transportasi jalan akan meningkat dua kali lipat-bahkan mungkin empat kali lipat-antara tahun 2010 dan 2050.
Fakta lain adalah permintaan akan transportasi tepatnya kendaraan yang terus berkembang di seluruh dunia, terutama karena meningkatnya standar hidup di negara berkembang dan pertumbuhan perdagangan internasional. Menurut perkiraan OECD (Organization for Economic Cooperation and Development), hampir 2 miliar kendaraan bisa berada di jalan pada tahun 2050.
Fakta ini memberi tantangan bagaimana mengamankan pasokan, mengurangi dampak transportasi terhadap kesehatan serta keanekaragaman hayati, dan membatasi dampaknya pada perubahan iklim. Sepanjang siklus hidup ban, dampak terhadap sumber daya alam seperti energi, bahan baku, dan air, juga harus ditingkatkan dengan cara mengadopsi pendekatan ekonomi melingkar yang komprehensif. Fakta lain, lebih dari 9 persen dari dampak ban terhadap lingkungan terjadi selama penggunaannya.
Patrick Olivia, Vice President Prospecitive and Sustainable Development mengatakan, program 4R pada intinya adalah memastikan bahwa sumber daya digunakan dengan lebih bijak.
”Misalnya reduce yang tujuannya adalah mengurangi jumlah sumber daya yang digunakan, tetapi mendapatkan hasil yang sama dengan cara memaksimalkan setiap gram bahan baku yang digunakan. Lalu reuse, yakni cara mereparasi, memperbaiki alur dan tapak ban, hingga penghematan bahan baku dapat dicapai. Kemudian recycle, yakni ban-ban yang sudah habis masa pakainya didaur ulang. Kami misalnya memproduksi ban regenerasi berkualitas tinggi dari ban bekas dan menggunakannya untuk memproduksi ban baru. Lalu renew, yakni mencari alternatif energi atau bahan terbarukan, tak lagi semata-mata karet alam dan beberapa minyak nabati serta resin,” kata Olivia.
Lionel Dantiacq, Director of Anazone atau penanggung jawab Michelin wilayah Asia dan Australia mengatakan, berbagai upaya yang dilakukan Michelin, termasuk kepedulian pada lingkungan didasari pemikiran bahwa material untuk ban dibutuhkan setiap saat. ”Tapi kami tak bisa menemukan bahan baku atau material setiap saat. Itulah kenapa kami menerapkan hal penting seperti pemanfaatan kembali dan daur ulang bahan-bahan yang bisa diolah kembali dan mencari terobosan terkait energi terbarukan,” katanya.
Mencari dan menemukan inovasi atas berbagai persoalan transportasi, itulah yang terus dilakukan Michelin, sebagai salah satu perusahaan ban terkemuka yang merasa bertanggung jawab untuk kelangsungan transportasi dunia. Perusahaan yang hadir di 170 negara ini dan mengoperasikan 69 fasilitas produksi di 18 negara, juga terus melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan inovasi di pusat-pusat teknologi di Asia, Eropa, dan Amerika Utara. Tentu saja semua menunggu hasil pertemuan MCB Chengdu, yang dapat jadi pijakan untuk solusi transportasi dunia ke depan. (Reny Sri Ayu)
Sumber: Kompas, 5 Desember 2014