Inovasi atau Mati

- Editor

Jumat, 27 Oktober 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dalam dunia yang berubah cepat, keberlanjutan adalah kunci. Karena itu, inovasi tak bisa lagi menjadi pilihan, tetapi harus dilakukan. Meski demikian, iklim inovasi di Indonesia hingga kini belum terbangun baik hingga daya saing Indonesia masih banyak tertinggal di banding negara-negara ekonomi maju.

Bagi industri, inovasi itu harus dilakukan agar mereka bisa bertahan di tengah persaingan yang ketat. Inovasi harus menjadi budaya keseharian jika industri ingin menjadi pemenang, bukan sekadar bertahan hidup.

Mereka yang malas berinovasi, bisa saja membeli lisensi produk dari luar negeri. Selain mudah dan murah, cara itu juga cepat menghasilkan keuntungan. Namun, itu tidak selalu jadi pilihan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Membeli lisensi produk tidak menjamin keberlanjutan,” kata Direktur Inovasi Produk PT Kino Indonesia Tbk Budi Susanto di sela Pameran Sains Indonesia atau Indonesia Science Expo 2017 di Jakarta, Rabu (25/10). Selain itu, inovasi memungkinkan sebuah produk dibuat secara spesifik atau unik sesuai kebutuhan pasar.

Inovasi tidak akan muncul tanpa didasari riset yang baik. Namun, kemampuan industri untuk meneliti dan mengembangan produk atau sistem baru sangat terbatas. Banyak industri juga masih memandang riset dan pengembangan sebagai beban, bukan investasi.

Rendahnya minat industri itu ditunjukkan dengan masih kecilnya porsi dana riset yang dikeluarkan industri Indonesia. Kondisi itu terbalik dengan situasi di negara-negara maju, porsi anggaran riset dari industri justru lebih mendominasi.

Dari Rp 30,78 dana riset Indonesia pada 2016 atau 0,25 persen pendapatan domestik bruto (PDB), sebanyak 86,5 persennya berasal dari anggaran riset pemerintah pusat dan daerah serta perguruan tinggi. Sebanyak 13,5 persen anggaran riset sisanya disumbang industri manufaktur dan lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) swasta.

Kompas/Wawan H Prabowo (WAK)–Indonesia Science Expo – Suasana kunjungan masyarakat dalam Indonesia Science Expo di Balai Kartini, Jakarta, Senin (23/10). Kegiatan yang dimotori oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tersebut menampilkan hasil-hasil riset peneliti, baik kementerian dan lembaga negara, perguruan tinggi dan tentunya juga LIPI, serta industri.

Di sisi lain, jumlah dan kemampuan tenaga periset di industri masih terbatas. Karena itu, kerja sama dengan lembaga litbang serta perguruan tinggi mutlak diperlukan. Namun hingga kini, hubungan antara lembaga litbang pemerintah dan perguruan tinggi dengan industri masih jauh dari harapan.

Upaya menghubungkan perguruan tinggi dengan industri sebenarnya sudah dilakukan pemerintah sejak tahun 1990-an.

“Namun hingga kini, kemajuannya masih jauh dari harapan,” kata Direktur Institut Pertanian Bogor Science Techno Park Meika Syahbana Rusli.

Belum harmonisnya hubungan peneliti atau lembaga riset dengan industri itu terlihat masih banyaknya prasangka yang berkembang di kalangan peneliti, mulai dari persoalan kejelasan pembagian hasil hingga kekhawatiran risetnya dicuri. Akibatnya, banyak peneliti memilih fokus menerbitkan risetnya hanya dalam publikasi ilmiah.

Kondisi itu membuat banyak riset lembaga litbang dan perguruan tinggi hanya berakhir di perpustakaan, tidak bisa dikomersialisasikan karena tidak sesuai kebutuhan industri. Mengatasi kesenjangan itu, lanjut Meika, pemerintah perlu ‘memaksa’ peneliti untuk melirik kebutuhan industri hingga riset dan inovasi kedua belah pihak bisa sama-sama berkembang.

Di sisi lain, industri pun sejatinya mulai mendekati lembaga litbang pemerintah maupun perguruan tinggi. Mereka umumnya ingin mengenal hasil-hasil riset yang berpotensi untuk dikembangkan dan dipasarkan.

Untuk menjembatani peneliti dan industri itu, Pelaksana Tugas Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bambang Subiyanto mengatakan, saat ini LIPI mengembangkan Science Techno Park. Di lembaga itulah, proses inkubasi teknologi dan inkukasi bisnis dilakukan untuk memastikan layak dikomersialisasikan.

“Biaya dalam proses inkubasi teknologi dan inkubasi bisnis itu biasanya jauh lebih besar dibanding biaya risetnya,” katanya.

Karena itu, peningkatan dana riset Indonesia hingga 2 persen PDB atau sekitar Rp 100 triliun mendesak segera dilakukan. Porsi dana riset 2 persen PDB itu dianggap sebagai acuan yang memungkinkan proses riset dan inovasi berjalan optimal.

Komersialisasi
Namun, mendekatkan peneliti dengan industri saja tidak cukup. Berbagai masalah sudah menanti hingga hasil riset itu benar-benar ada di pasaran.

Banyak industri mampu mengembangkan sebuah produk riset hasil kerja sama dengan lembaga litbang maupun perguruan tinggi. Namun, agar produk itu bisa dipasarkan, berbagai aturan rumit dan kompleks untuk meregistrasi produk tersebut, khususnya produk farmasi dan turunannya, harus dihadapi.

Untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut, pemerintah perlu berperan lebih kuat.

“Berbagai persoalan itu tidak bisa diselesaikan sendiri-sendiri,” kata Direktur Jenderal Penguatan Inovasi Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Jumain Appe.

Kepala Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Trina Fizzanty mengatakan, negara-negara maju umumnya memiliki dewan riset yang berada di bawah koordinasi langsung kepela pemerintahan. Dewan itu berwenang menyelesaikan berbagai persoalan riset dan inovasi serta menggoordinasikan penyelesaiannya dengan berbagai kementerian terkait.

Lembaga dengan kewenangan besar membangun riset dan inovasi itu tidak ada di Indonesia. Indonesia memang memiliki Dewan Riset Nasional, tetapi lembaga itu berada di bawah koordinasi Kemeristekdikti. Lemahnya posisi kelembagaan itu membuat DRN sulit menuntaskan berbagai persoalan lintas kementerian.

Meski banyak masalah yang menghadang, optimisme tetap ada. Munculnya peneliti-peneliti muda menjadi harapan bahwa dunia riset dan inovasi Indonesia akan tetap berkembang.

Kini, tinggal menunggu ketegasan pemerintah menyelesaikan berbagai persoalan yang membelit riset dan inovasi Indonesia selama beberapa dekade terakhir. Jika tidak segera dituntaskan, Indonesia akan makin sulit bersaing dengan negara-negara maju yang sudah mengembangkan ekonominya berbasis riset dan inovasi.–M ZAID WAHYUDI

Sumber: Kompas, 27 Oktober 2017

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB