Di Amerika Serikat, industri daur ulang bahan bekas bisa menghasilkan keuntungan yang menjanjikan. Bukan hanya dari segi perekonomian, pengolahan bahan bekas atau scrap bisa mengurangi kerusakan lingkungan sekaligus menjaga energi.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN–Diskusi “Sampah atau Komoditas Berharga?” dilaksanakan di At America Jakarta, Jumat (5/7/2019).
Wakil Presiden Institute of Scrap Recycling Industries (ISRI) Adina Adler menjelaskan, industri daur ulang di Amerika Serikat (AS) telah membuka banyak lapangan pekerjaan baru. Pada 2017, ada 534.506 pekerja yang berkecimpung dalam industri tersebut. ISRI sendiri telah memiliki lebih dari 1.300 anggota perusahaan yang tersebar di 4.000 lokasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ada sekitar 156.000 pekerjaan langsung dan 375.000 pekerjaan tak langsung pada industri kami,” katanya dalam diskusi “Sampah atau Komoditas Berharga?” di Jakarta, Jumat (5/7/2019).
Adler menegaskan, bahan bekas bukanlah sampah. Jika diolah secara benar, bahan bekas dapat menjadi produk baru yang bernilai. Pada 2017, setidaknya ada 130 juta metrik ton material bekas yang telah diproses daur ulang di AS. Material tersebut terdiri dari besi, kertas, alumunium, plastik, dan sebagainya.
“Contoh perusahaan besar yang selama ini memanfaatkan daur ulang tersebut adalah Pepsi dan Coca Cola,” ungkapnya.
KOMPAS/PANDU WIYOGA–Tim gabungan dari Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe B Batam, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Dinas Lingkungan Hidup Kota Batam, Rabu (19/6/2019), telah mengambil 56 sampel dari total 65 kontainer pengangkut sampah plastik yang diduga terkontaminasi limbah bahan berbahaya dan beracun di Pelabuhan Batu Ampar, Batam, Kepulauan Riau. Kontainer sampah plastik itu diimpor dari Amerika Serikat, Australia, dan sejumlah negara Eropa.
Menurut Adler, bersama Cina, AS telah menjadi pemain utama dalam pasar global bahan bekas. Sebanyak 37 miliar metrik ton bahan bekas telah diekspor AS ke 155 negara di dunia pada 2017. Nilai dari material tersebut tidak kurang dari 17,9 miliar dollar AS.
Sementara itu, sekitar 70 persen bahan bekas masih dijual dan dikonsumsi oleh pasar dalam negeri. Sisanya diekspor untuk kepentingan pasar global. Misalnya, untuk kertas dan fiber, sebanyak 59 persen didaur ulang di dalam negeri, sedangkan 41 persen diekspor ke pasar global. Untuk besi dan baja, sebanyak 83 persen diolah di AS dan 17 persennya diekspor.
“Bahan bekas itu dibeli, bukan dijual. Ada banyak perusahaan di luar negeri yang membutuhkannya, salah satunya Indonesia,” ujar Adler.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN–Wakil Presiden Institute of Scrap Recycling Industries (ISRI) Adina Adler.
Industri daur ulang bahan bekas di AS juga memberi pengaruh positif terhadap kelestarian lingkungan. Dengan memanfaatkan bahan daur ulang, perusahaan misalnya, tidak perlu menebang kayu untuk memproduksi kertas.
“Emisi gas rumah kaca juga bisa dikurangi karena bahan-bahan yang dipakai adalah yang selama ini sudah terdapat di dunia ini,” cetus Adler.
Penghematan energi
Sebanyak 130 juta ton bahan bekas yang sudah diolah pada 2017 telah menghemat energi setara dengan energi pada 43 rumah untuk 1 tahun. Dengan mendaur ulang 1 ton botol plastik misalnya, sama dengan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 1,5 kilogram atau setara dengan menghemat 173 galon bensin.
Staf ekonomi Kedutaan Besar AS Jakarta, Nathan Austin, mengatakan, kedatangan Adler ke Indonesia semata-mata untuk memberikan pemahaman mengenai manajemen sampah bagi Indonesia. Indonesia saat ini tengah menghadapi tantangan mengenai daur ulang dan pengelolaan sampah.
“Kami ingin membantu Indonesia. Ini merupakan masalah dunia, khususnya bagi anak-anak, perusahaan, dan pemerintah,” ujarnya.–FAJAR RAMADHAN
Editor HAMZIRWAN HAM
Sumber: Kompas, 5 Juli 2019