Atasi Perubahan Iklim, Indonesia Hitung Pengurangan Emisi
Indonesia sudah terdampak perubahan iklim dengan kenaikan suhu berkisar 0,16-1,44 derajat celsius. Kekeringan di beberapa tempat juga menyebabkan ketidakpastian musim tanam padi pertama tahun ini. Perubahan iklim juga ditandai kekacauan pola iklim di Tanah Air.
Lektor Kepala Bidang Oseanografi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor Alan Koropitan, Sabtu (23/1), mengatakan, tak ada keraguan lagi perubahan iklim telah terjadi. Dampaknya perlahan sehingga tak disadari.
Dampak perubahan iklim nyata terlihat, misalnya, dengan meningkatnya frekuensi dan kekuatan siklon tropis. Sebelumnya, topan itu tidak melanda negara tropis seperti Indonesia. Namun, karena menguat, ekor badai tropis, kini, bisa mencapai Indonesia. “Tahun 2012 terjadi badai Iggy, sumbernya di Australia yang dampaknya hingga ke perairan Indonesia,” kata Alan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Direktur Centre for Climate Risk and Opportunity Management South East Asia Pacific Rizaldi Boer menegaskan, “Pemanasan global dan perubahan iklim menyebabkan pola iklim kacau sehingga petani sulit menentukan masa tanam.” Di Cirebon dan Indramayu, misalnya, petani mengalami masa tanam mundur.
Dampak perubahan iklim tidak berdiri sendiri, tetapi bersifat memperbesar dan meningkatkan frekuensi bencana.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, badai Iggy menyebabkan naiknya frekuensi puting beliung dan menyebabkan 14 orang meninggal di beberapa daerah.
Menurut data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, wilayah Indonesia pernah terdampak langsung siklon tropis, yaitu siklon tropis Kirrily di atas Kepulauan Kei, Laut Banda, 27 April 2009. Kirrily memicu hujan lebat dan gelombang badai.
Bencana meningkat
Menurut Kepala Pusat Data dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, secara umum tren kenaikan bencana hidrometeorologi di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Bencana banjir, kekeringan, kebakaran hutan, dan puting beliung mendominasi 90 persen kejadian bencana di Indonesia. “Bencana hidrometeorologi dipengaruhi dinamika iklim dan cuaca, selain juga faktor antropogenik (disebabkan manusia),” katanya.
Tahun 2002, bencana hidrometeorologi di Indonesia kurang dari 200 kejadian, tetapi tahun 2015 mencapai 1.665 kejadian. Selain pendataan lebih baik, menurut Sutopo, frekuensinya memang meningkat, terutama puting beliung dan banjir. Rata-rata setahun terjadi 445 kali banjir di Indonesia. Peningkatan bencana hidrometeorologi bukan hanya frekuensinya, juga sebaran, besaran, dan intensitasnya.
Dampak nyata lain dari perubahan iklim adalah seringnya terjadi El Nino dan La Nina. “Fenomena La Nina dan El Nino memang siklus berulang. Namun, jika sebelumnya terjadi 3-7 tahun sekali, sekarang lebih sering,” katanya. “Berdampak terhadap ketahanan pangan ataupun bencana banjir dan kekeringan,” katanya menambahkan.
Selain faktor perubahan iklim, intensitas bencana turut diperparah kerusakan lingkungan di permukaan. Kenaikan muka air laut di kota besar diperparah penurunan muka tanah akibat pengambilan air tanah berlebihan. Menurut Direktur Perencanaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Subandono, kota-kota di pesisir Pulau Jawa, seperti Pekalongan, 100 tahun mendatang akan tergenang air laut hingga 2,1 kilometer dari garis pantai sekarang. “Kota Semarang akan tergenang 3,2 kilometer dari garis pantai,” ujarnya.
Di dunia, Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA) pekan lalu melaporkan, di seluruh bulan sepanjang tahun 2015 suhu Bumi tercatat paling tinggi. Itu pertama kalinya sepanjang sejarah pengamatan suhu Bumi yang dimulai tahun 1880.
Pertama kalinya pula kenaikan sepanjang tahun 2015 adalah kenaikan temperatur tertinggi yang pernah terjadi.
Semua berkontribusi
Perubahan iklim terjadi akibat laju kenaikan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) setelah Revolusi Industri akibat penggunaan bahan bakar fosil.
Negara-negara di dunia bersepakat mencari jalan keluar melalui Kerangka Kerja Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC). Upaya ditekankan pada pengurangan emisi GRK. Negara-negara maju (Annex 1) diwajibkan menurunkan emisi. Berdasarkan prinsip “sama tetapi berbeda tanggung jawab”, negara berkembang yang rentan terhadap dampak perubahan iklim harus beradaptasi.
Negara-negara maju diminta membantu melalui skema-skema pendanaan, transfer teknologi, dan penguatan kapasitas.
Indonesia pada tahun 2009 menyatakan secara sukarela menargetkan pengurangan emisi GRK dibandingkan dengan emisi jika tak ada intervensi (business as usual/BAU) sebesar 26 persen secara mandiri dan 41 persen dengan bantuan asing. Lahirlah Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Belakangan, RAN-GRK dikaji ulang Bappenas. Dalam perjalanannya, RAN-GRK direvisi.
Menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB, Desember 2015 di Paris, setiap negara diminta memasukkan niatan nasional untuk kontribusi pada pengurangan emisi GRK (INDC). Indonesia menargetkan penurunan emisi 29 persen dari BAU dan 41 persen dengan bantuan asing.
“Kami harus memastikan bagaimana melibatkan semua pihak untuk penurunan emisi. Target kami selesai tahun ini (INDC),” ujar Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nur Masripatin.
Jika Indonesia meratifikasi Kesepakatan Paris yang jadi acuan dunia, pemerintah harus mendapat persetujuan DPR dan pelaksanaannya diatur undang-undang. (IKI/AIK/ICH/JOG/ISW)
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Januari 2016, di halaman 1 dengan judul “Indonesia Sudah Terdampak Bencana Iklim”.
——
Sulitnya Petani Membaca Alam
Awan kelabu menggelayut di lahan persawahan Bayalangu, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (23/1). Alkoni (55), petani, membiarkan hujan mengguyur tubuhnya yang kurus. Ayunan cangkul melunakkan tanah sawah yang beberapa hari sebelumnya kering, retak-retak.
Ia tak sendiri. Puluhan petani di Gegesik juga masih menggemburkan lahan persawahan yang bakal ditanami. “Bulan satu (Januari) seharusnya sudah tebar pupuk. Sekarang terlambat tanam,” ujar Alkoni.
Tahun-tahun sebelumnya, kala hujan mulai turun, itu pertanda bahwa tanah sawah siap diolah untuk menyemai benih padi. Awal tanam paling lambat Desember, saat hujan sedang hebat-hebatnya. Namun, beberapa tahun terakhir ini berbeda. Hujan baru intens turun akhir Januari sehingga musim tanam pun terpaksa mundur.
Percuma menggunakan pompa untuk menyedot air sungai agar awal musim tanam bisa bulan Desember karena air sungai pun masih minim. Alkoni hanya bisa pasrah mengikuti kehendak alam.
Bukan hanya Alkoni, petani lainnya di pesisir utara Jawa Barat yang merupakan pemasok beras utama untuk nasional pun mengalami nasib serupa. Di Cirebon, misalnya, dari 45.500 hektar lahan pertanian, hingga pekan lalu masih sekitar 26.000 hektar lahan yang belum ditanami karena ketiadaan air.
“Setiap tahun, awal musim tanam selalu mundur. Tetapi, tahun ini yang paling parah,” ujar Alkoni.
Gambaran kerugian sudah di depan mata. Maklum, Alkoni bukan petani pemilik lahan. Ia hanya penyewa lahan dengan tarif sewa Rp 4 juta sekali musim tanam untuk lahan kurang dari setengah hektar. Ditambah biaya pupuk, pengolahan lahan, dan obat-obatan, Alkoni memperkirakan bisa mendapatkan hasil 2 ton gabah basah seharga Rp 7 juta.
“Masih ada untung Rp 1 juta dari hasil mengolah lahan sekitar 3,5 bulan. Itu pun kalau tak ada serangan hama,” lanjutnya.
Sejumlah petani di sentra pertanian padi di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, juga kebingungan dengan fenomena alam yang akhir-akhir ini semakin sulit ditebak.
“Januari tahun lalu sawah kami kebanjiran. Lalu datang musim kemarau, dan kini terlambat tanam. Ini ada apa?” kata Sujaya (35), petani di Kecamatan Lohbener, Indramayu, kebingungan.
Kantor Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Jatiwangi-yang membawahkan wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan- mencatat, hujan di Cirebon akan berakhir April, sedangkan di Indramayu pada Maret. Artinya, saat petani masih membutuhkan air hujan, kemarau sudah datang lagi.
Sebaliknya, di sejumlah wilayah, seperti Aceh, Riau, dan Jambi, pada saat bersamaan, curah hujan justru sangat tinggi sehingga menyebabkan banjir.
Dikaitkan El Nino
Penyimpangan kondisi cuaca di sejumlah wilayah Tanah Air itu dikaitkan dengan El Nino yang kuat. Akibat kondisi bentang alam dan paparan emisi lokal, regional, dan global menguat, dampak El Nino yang kuat pun mengkhawatirkan: stok air irigasi tak cukup lagi. Itu ditambah minimnya curah hujan. Kondisi itu juga melingkupi wilayah lain dan diprediksi hingga April 2016.
Fenomena perubahan iklim yang ditandai meningkatnya suhu Bumi-tahun 2015 merupakan suhu terpanas Bumi-terjadi di belahan dunia lain. Michel Jarraud, Kepala Badan Meteorologi Dunia di Geneva, mengatakan, El Nino yang terjadi alami turut dipengaruhi perubahan iklim yang disebabkan manusia (Kompas, 29/12/2015).
Pembangunan global yang tak ramah lingkungan, seperti alih fungsi hutan, pengeringan rawa gambut, serta boros energi berbasis fosil, seperti batubara dan minyak bumi, menjadi biang perubahan iklim, yang dalam tataran lokal berdampak pada pergeseran musim tanam, seperti di Cirebon dan Indramayu.
Di tengah kondisi cuaca dan iklim yang berdampak buruk, utusan lebih dari 150 negara mengikuti Pertemuan Para Pihak (COP) Ke-21 di Paris, Desember 2015. Semua wakil negara sepakat membangun dengan lebih ramah lingkungan demi menjaga kenaikan suhu Bumi pada kisaran 1,5 derajat celsius hingga 2 derajat celsius pada 2030 dari basis emisi sebelum era Revolusi Industri.
Jauh dari Paris, Alkoni dan Sujaya tak tahu-menahu tentang Kesepakatan Paris itu. Mereka hanya tahu musim tanam terus bergeser dan utang untuk mengelola lahan menumpuk. Hama tikus menambah pukulan bertubi-tubi.
Menurut Tasrip Abubakar, Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Kabupaten Cirebon, melihat fenomena alam ini, saatnya para ahli pertanian memikirkan solusi.
Petani menjadi korban dari dampak perubahan iklim. “Petani dan pola tanamnya juga harus berubah. Pemerintah juga perlu menyiapkan strategi pangan, misalnya menyediakan lumbung pangan di desa untuk mencegah sentra padi kekurangan padi,” ujarnya.
Ketika para pemimpin dunia, termasuk Indonesia, membahas target penurunan suhu global, Alkoni dan ribuan petani di Tanah Air memutar otak dan mengerahkan otot agar bisa mengolah lahan pertanian dengan baik. Pemerintah yang diharapkan perannya tak memberikan informasi apa pun kepada petani.(ABDULLAH FIKRI ASHRI/RINI KUSTIASIH)
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Januari 2016, di halaman 1 dengan judul “Sulitnya Petani Membaca Alam”.