Indonesia harus mulai merintis kemandirian produksi bioavtur dengan mengembangkan teknologi proses melalui pembentukan kluster riset energi terbarukan dan konsorsium dengan industri untuk penerapannya. Hal ini untuk mengurangi ketergantungan industri penerbangan nasional terhadap produk impor.
Demikian disampaikan Direktur Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Kemal Prihatman, dalam Technical Workshop on Aviation Biofuel di Jakarta, Senin (10/4).
Pengembangan pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN) ini, kata Kemal, juga untuk memenuhi target Indonesia menurunkan emisi karbon seperti tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan ratifikasi Perjanjian Paris (Paris Agreement) dengan UU Nomor 16 Tahun 2016. Dalam dokumen tersebut, Indonesia menargetkan penurunan emisi sebesar 29 persen pada 2030.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
100 persen impor
Terkait komitmen penurunan emisi di sektor transportasi udara, kewajiban penggunaan avtur yang mengandung bahan bakar nabati 2 persen sudah diterapkan sejak 2016 melalui Peraturan Menteri ESDM.
Sayangnya suplai bioavtur ini masih 100 persen impor, dengan nilai hingga Rp 1,48 triliun per tahun. “Kondisi ini ironis karena bioavtur yang dibeli dari Singapura dan Malaysia bahan bakunya dari Indonesia,” kata Kemal.
Industri energi, dalam hal ini Pertamina, belum mulai memproduksi bioavtur karena biaya produksinya masih mahal, mencapai 5 kali lipat dibandingkan biaya produksi avtur biasa.
Lembaga riset dan industri di Indonesia, lanjut Kemal, juga belum ada yang memiliki fasilitas memadai. Untuk meningkatkan kapasitas, akan dijalin kerja sama dengan Badan Penerbangan Federal Amerika Serikat (FAA) dan Airbus Eropa.
Kerja sama riset diperlukan, antara lain, untuk mengatasi duplikasi, efisiensi anggaran riset, dan peningkatan kemampuan peneliti melalui program pendidikan S-2 dan S-3. Dalam hal pembangunan kelembagaan, Kemenristek dan Dikti akan memberikan insentif untuk mendorong terbentuknya kluster energi yang melibatkan perguruan tingi dan lembaga riset yang mengembangkan bioenergi.
Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia Tatang Hernas Soerawidjaja menambahkan, dari sisi teknologi, pengembangan bahan bakar nabati (biofuel) telah dimulai sejak awal 2000-an. Untuk pembuatan bioavtur atau jet biofuel, dikembangkan teknik dekarboksilasi dari bahan sabun logam laurat atau dari beragam jenis kelapa. Pembangunan pabrik biofuel berkapasitas 125 liter per batch (proses) produksi juga akan dimulai tahun depan dengan dana Rp 2 miliar dari Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit.
Dunia penerbangan beberapa tahun terakhir memang berkomitmen menurunkan emisi karbon. Melalui “ICAO Aspirational Goal” ditargetkan pertumbuhan netral karbon (carbon neutral growth) pada 2020, dan pada 2050 ditargetkan tingkat emisi 50 persen lebih rendah dari tingkat emisi tahun 2005.
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) juga menyetujui penerapan mekanisme perdagangan global untuk penurunan emisi karbon di sektor penerbangan. (YUN)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 April 2017, di halaman 14 dengan judul “Indonesia Perlu Kembangkan Teknologi Bioavtur”.