Indonesia rentan jadi lokasi penyelundupan dan pengangkutan ilegal bahan radioaktif. Minimnya sarana memicu kerentanan itu.
Direktur Keteknikan dan Kesiapsiagaan Nuklir Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) Dedik Eko Sumargo mengatakan, Indonesia hanya punya enam pendeteksi radiasi (RPM) di pelabuhan. “Negara Asia Tenggara lain dengan laut lebih sempit dan pantai lebih pendek, punya puluhan RPM,” ujarnya dalam Sosialisasi Kebijakan Pengawasan terhadap Pengangkutan Bahan Radioaktif di Perairan Indonesia, Rabu (16/3), di Batam.
Indonesia punya empat pelabuhan laut utama dan 14 pelabuhan laut kelas I. Ratusan pelabuhan kecil, baik legal maupun ilegal, tersebar di puluhan ribu kilometer garis pantai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dengan keterbatasan sarana itu, sulit bagi Bapeten mengawasi pergerakan bahan radioaktif di Indonesia. Padahal, setiap pengangkutan bahan radioaktif wajib atas izin Bapeten.
Dalam 22 tahun terakhir, ada 2.331 pengangkutan radioaktif secara ilegal di seluruh dunia. Saat ini ada 1.390 metrik ton higly enriched uranium (HEU) dan 490 metrik ton plutonium. Seluruh bahan itu bisa untuk membuat 20.000 bom dengan kekuatan setara bom yang menghancurkan Hiroshima. “Semua itu harus diawasi,” ujar Dedik.
Pengangkutan bahan radioaktif paling banyak melalui laut, sementara Bapeten tidak punya kemampuan mengawasi perairan Indonesia. Karena itu, Bapeten bekerja sama dengan berbagai lembaga untuk mengawasi kapal-kapal di perairan Indonesia. “Kemarin, Bapeten memperbaiki kesepakatan dengan Badan Keamanan Laut (Bakamla),” ujar Deputi Perizinan dan Inspeksi Bapeten Khoirul Huda.
Kepala Kantor Keamanan Laut Zona Maritim Barat Laksamana Pertama UK Agung mengatakan, Bakamla punya kewenangan mengawasi dan memeriksa kapal-kapal di perairan Indonesia. Ribuan kapal tersebut bisa mengangkut apa saja sehingga perlu diawasi. (RAZ)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Maret 2016, di halaman 14 dengan judul “Indonesia Minim Alat Pendeteksi Radiasi Radioaktif”.