Tiga beban gizi yang terjadi saat ini tidak boleh disepelekan karena memengaruhi mutu pembangunan bangsa di masa depan. Di tengah upaya pemerintah menuntaskan masalah stunting atau gizi buruk kronis dan kurang berat badan atau kurus, masalah obesitas pada anak seharusnya tidak dikesampingkan.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat, prevalensi anak balita dengan gizi kurang sebesar 17,7 persen, sedangkan ambang batas Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 10 persen. Selain itu, prevalensi anak balita stunting lebih tinggi dari ambang batas WHO (20 persen), yakni 30,8 persen. Persoalan sama ditemukan pada anak balita gemuk atau obesitas, yakni 8 persen. WHO menetapkan ambang batas anak balita obesitas di suatu negara adalah 5 persen.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG–Sejumlah siswa sekolah dasar di Jakarta belajar mengenal teknik-teknik dasar dari cabang olahraga atletik, yaitu lari, lompat, dan lempar, saat peresmian program Pelatihan Atletik Anak Usia 7-12 Tahun di Stadion Madya, Senayan, Jakarta, Jumat (11/10). Program tersebut bertujuan mempromosikan dan mendorong aktivitas fisik di kalangan anak-anak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang PS Brodjonegoro menyampaikan, pemerintah saat ini lebih fokus pada stunting. Alasannya, stunting berisiko menciptakan kemiskinan di masa depan.
”Kita berupaya mengurangi kemiskinan. Untuk obesitas, risikonya meningkatkan penyakit tidak menular sehingga pendekatannya berbeda. Kalau stunting perlu pendekatan strategis karena berdampak pada pembangunan, sedangkan obesitas pendekatannya lebih ke kesehatan yang sifatnya preventif agar orang tidak memiliki penyakit,” tuturnya seusai membuka peringatan Hari Gizi Nasional ke-59, di Jakarta, Jumat (25/1/2019).
Ketua Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) Damayanti Rusli Sjarif berpendapat, obesitas bukan hanya masalah kesehatan saja, melainkan juga gaya hidup yang salah dan minimnya pemahaman gizi yang baik.
Tanpa intervensi menyeluruh di aspek kehidupan masyarakat, soal obesitas sulit diselesaikan. Beban negara pun kian besar. ”Kalau stunting cenderung berakibat pada kemampuan kognitif rendah, sementara obesitas bisa berakibat pada kematian dini karena penyakit tak menular. Kalau tidak diselesaikan bersama, masa depan Indonesia akan dikuasai penduduk yang stunting. Jadi, semua harus jadi fokus,” ujarnya.
Kalau stunting cenderung berakibat pada kemampuan kognitif rendah, sementara obesitas bisa berakibat pada kematian dini karena penyakit tak menular.
Perubahan gaya hidup
Persoalan gizi tidak seimbang ini tidak terpisahkan dari perubahan gaya hidup modern. Gaya hidup itu mendorong warga lebih sering mengonsumsi makanan cepat saji. Ditambah lagi, iklan promosi secara gencar memberi iming-iming harga lebih murah saat membeli porsi lebih besar. Padahal, panganan itu mengandung gula, garam, dan lemak berlebih.
Bambang memaparkan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) saat ini masih sebatas mengawasi kandungan berbahaya pada makanan. Pengawasan pada kandungan gizi dalam produk pangan yang dijual di kantin sekolah ataupun tempat makan masih kurang. Untuk itu, mutu produk yang dihasilkan industri harus dikawal dengan menjalankan fortifikasi pangan demi menjamin kebutuhan gizi minimal dalam produk.
FRANSISCA NATALIA UNTUK KOMPAS–Siswa SDN Gedong 10 Pagi yang membeli jajanan nugget goreng di kantin, Jumat (7/12/2018). Anak-anak terbiasa mengonsumsi makanan dengan kadar gula, garam, dan lemak berlebih tanpa dibatasi.
Pemerintah pun mengupayakan penyediaan pangan sehat di masyarakat. Sistem pangan diarahkan untuk dapat memastikan ketersediaan, keterjangkauan, dan konsumsi pangan sehat dan bergizi bagi seluruh penduduk. Setiap daerah bertanggung jawab menyediakan pangan dengan gizi seimbang di wilayahnya.
”Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian bekerja sama untuk mewujudkan keseimbangan pangan di daerah. Kami (Kemenkes) sedang merumuskan jenis makanan apa yang jadi potensi daerah beserta kandungan gizinya. Jika ada yang kurang, pemerintah pusat akan mengaturnya,” tutur Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan Doddy Izwardy.
Terkait permasalahan gizi di sekolah, Doddy menambahkan, pemerintah juga terus mengembangkan program kantin sehat. Pihak sekolah pun diharapkan bisa lebih selektif mengawasi jenis pangan yang dijual untuk anak-anak.
Aktivitas fisik
Direktur Kesehatan Kerja dan Olahraga Kemenkes Kartini Rustandi menilai, perubahan perilaku bermain anak berpotensi menyebabkan obesitas. Hiburan anak saat ini lebih sering bermain dengan gawai, bepergian ke mal, ataupun menonton televisi. ”Sama-sama main sepak bola misalnya. Kalau anak zaman dulu main bola di lapangan, anak sekarang mainnya lewat komputer,” katanya.
Terkait hal itu, keluarga jadi faktor utama yang membentuk kebiasaan dan pola hidup anak. Untuk itu, sekolah bisa berperan untuk ”memaksa” anak beraktivitas fisik. Dalam kurikulum pembelajaran sudah disediakan waktu 60 menit untuk pelajaran olahraga. Namun, itu saja masih sangat kurang.
Kementerian Kesehatan saat ini mendorong ada integrasi melalui usaha kesehatan sekolah (UKS). Selain pembahasan kebutuhan gizi seimbang, reproduksi, pola hidup bersih dan sehat (PHBS), anak-anak diminta untuk memenuhi jam olahraga. ”Di buku rapor kesehatan itu pertanyaan, berapa kali olahraga minggu ini,” kata Kartini.
Ia pun mendorong guru untuk bisa membiasakan anak tidak berada di kelas saat jam istirahat. Dengan begitu, anak akan termotivasi bergerak dan bermain bersama teman-temannya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Siswa sebuah sekolah dasar di Tangerang Selatan, Banten, mengikuti mata pelajaran Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan di lapangan sekolah, Kamis (24/1/2019). Olahraga merupakan salah satu kegiatan luar ruang di sekolah yang bisa mengontrol obesitas pada anak.
Kampanye yang juga digaungkan Kementerian Kesehatan adalah 4L atau lari, lompat, loncat, dan lempar. Gerakan fisik sederhana itu dinilai bisa menunjang pertumbuhan tulang dan otot serta membentuk sistem pernapasan yang baik.
”Pemahaman dan kesadaran untuk hidup sehat yang harus diperbaiki. Ini bukan hanya masalah Indonesia, tetapi soal dunia. Jadi, semua harus bergerak bersama dan terus gencar mempromosikan gaya hidup yang sehat,” kata Kartini.
Maka dari itu, perlu ada langkah konkret untuk memperbaiki pola konsumsi pangan sesuai dengan prinsip gizi seimbang. Perilaku sadar gizi serta aktivitas fisik juga harus ditingkatkan. Selain itu, pemerintah perlu memperbaiki akses dan mutu pelayanan gizi serta menjamin adanya sistem kewaspadaan pangan.
Oleh DEONISIA ARLINTA
Sumber: Kompas, 25 Januari 2019