Sepanjang tahun 2015 Indonesia telah diguncang 4.394 kali gempa bumi. Angka ini merupakan salah satu yang tertinggi di dunia, dibandingkan negara lain. Oleh karena itu, risiko gempa bumi seharusnya dimasukkan dalam setiap perhitungan pembangunan infrastruktur dan bangunan di negeri ini.
“Saat ini pembangunan berbasis risiko gempa bumi belum jadi acuan. Padahal, dari data kegempaan jelas frekuensinya di Indonesia sangat tinggi. Seharusnya pembangunan wilayah dan desain bangunan berbasiskan bencana,” kata Widjokongko, peneliti gempa dan tsunami Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Sabtu (26/12). Widjo menyampaikan hal itu menanggapi evaluasi kejadian gempa di Indonesia selama 2015.
Menurut Widjo, gedung-gedung pemerintah dan bangunan publik wajib menggunakan standar tahan gempa yang didasarkan pada peta kegempaan di setiap wilayah. Masalahnya, hingga saat ini peta gempa yang ada belum akurat karena belum memasukkan semua data sejarah gempa di masa lalu. “Prioritas ke depan adalah memetakan secara detail daerah berisiko tinggi gempa dan perkuat mitigasinya,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Angka 4.394 kali gempa ini merupakan hasil rekaman 164 seismograf yang dipasang Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di sejumlah wilayah Indonesia, sebagaimana disampaikan Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono, Jumat (25/12). Di antara ribuan gempa ini, tujuh di antaranya merupakan gempa yang menimbulkan kerusakan bangunan.
Daryono juga menyampaikan beberapa catatan kritis, di antaranya, sepanjang tahun ini, seluruh peristiwa gempa bumi merusak diakibatkan oleh aktivitas sesar aktif dan tidak ada satu pun gempa bumi merusak yang diakibatkan oleh aktivitas subduksi lempeng. “Sangat menarik untuk diperhatikan juga bahwa sebagian besar gempa bumi merusak tidak terjadi pada jalur sesar utama yang sudah dikenali. Gempa bumi merusak 2015 cenderung terjadi akibat aktivitas sesar lokal yang belum dikenali dan dipetakan,” ungkapnya.
Situasi ini, menurut Daryono, menuntut kita untuk terus meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tektonika, khususnya mekanisme sesar aktif dan sebarannya. Identifikasi dan kajian mengenai sesar aktif perlu terus dilakukan dalam rangka upaya kesiapsiagaan dan pengurangan risiko bencana gempa bumi.
Dari berbagai gempa merusak yang terjadi, terlihat bahwa sumber dan mekanismenya beraneka ragam. Ini menunjukkan bahwa proses terjadinya gempa bumi memiliki variasi yang berbeda-beda. Karena itu, menjadi penting bagi analis gempa bumi kita untuk memahami mekanisme sumber dengan baik dan mengetahui parameter sesar dengan segera pada setiap kejadian gempa bumi.
Selain itu, yang menarik tahun ini terjadi gempa bumi swarm di Jaililo, Maluku, dengan karakteristik guncangannya yang terus-menerus dalam waktu yang relatif lama. Hal ini ternyata belum banyak dipahami oleh masyarakat kita.
“Mengingat kehadiran gempa bumi tidak bisa ditolak, maka satu hal yang penting untuk dipahami adalah bagaimana meningkatkan pemahaman masyarakat dalam menghadapi gempa. Kita harus terus membangun kesadaran masyarakat bahwa mitigasi adalah satu satunya cara yang dapat kita lakukan untuk memperkecil risiko saat terjadi bencana gempa,” ujarnya.
Tingginya kegempaan di Indonesia ini merupakan konsekuensi posisi Indonesia yang berada di zona tumbukan tiga lempeng besar dunia dan sejumlah lempeng mikro lainnya. Bahkan, dibandingkan Jepang yang dikenal sebagai salah satu negara paling rentan gempa, jumlah kegempaan Indonesia lebih tinggi.
Berdasarkan data NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) United States Geological Survey (USGS), dalam kurun 1800-2014, Jepang dilanda 225 gempa bumi bermagnitudo M 5 hingga M 9. Jika dirata-rata, sekitar 1,05 kejadian setiap tahunnya. Sementara jumlah korban tewas akibat gempa mencapai 222.052 jiwa. Rangkaian gempa ini memicu terjadinya 124 tsunami yang menewaskan 55.759 jiwa. Jika ditotal, penduduk di Jepang yang tewas akibat gempa dan tsunami dalam periode ini mencapai 277.811 jiwa. Gempa disusul tsunami yang melanda pesisir Sanriku pada 15 Juni 1896 tercatat yang paling mematikan dengan total korban mencapai 27.122 jiwa.
Menurut sumber yang sama, dalam jangka waktu serupa, Indonesia dilanda 262 gempa bumi bermagnitudo M 5 hingga M 9,1. Jika dirata-rata, Indonesia mengalami kejadian sedikit lebih tinggi dari Jepang, yaitu 1,22 per tahun. Jumlah korban tewas akibat gempa sebanyak 33.713 jiwa, jauh lebih sedikit dibandingkan Jepang.
Rangkaian gempa tersebut memicu terjadinya 124 tsunami yang menewaskan 237.793 jiwa. Jika ditotal, penduduk di Indonesia yang tewas akibat gempa dan tsunami dalam periode ini mencapai 271.506 jiwa, nyaris setara dengan di Jepang. Bencana gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 tercatat menyebabkan jumlah kematian terbanyak.
AHMAD ARIF
Sumber: Kompas Siang | 26 Desember 2015
————–
Frekuensi Gempa Tinggi
Bencana Merusak Terjadi di Zona yang Belum Dikenali
Selama tahun 2015, Indonesia diguncang 4.394 gempa bumi dengan tujuh gempa menimbulkan kerusakan. Sebagian besar gempa merusak itu terjadi di kawasan timur Indonesia dan bersumber di zona sesar yang belum dipetakan.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH–Petugas menunjukkan aktivitas gempa yang terjadi di wilayah Aceh di kantor Stasiun Geofisika Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Mata Ie, Banda Aceh, Aceh, beberapa waktu lalu. Selama 2015, Indonesia diguncang 4.394 gempa bumi yang tujuh di antaranya menimbulkan kerusakan.
Demikian evaluasi kejadian gempa bumi di Indonesia pada 2015 yang dipaparkan Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono di Jakarta, Jumat (25/12). “Patut disyukuri, selama 2015, Indonesia tak dilanda gempa berkekuatan di atas M (magnitudo) 8 dan tsunami,” ujarnya.
Dari ribuan gempa terekam 164 seismograf yang dipasang BMKG di sejumlah lokasi, hanya 360 gempa yang dirasakan warga. Ada 4.034 kejadian tidak terasa karena berskala kecil. Gempa kategori besar (M 7,0- M 7,9) terjadi dua kali, yakni di Nusa Tenggara Timur berkekuatan M 7,1 pada 27 Februari 2015 dan di Mamberamo Raya, Papua, kekuatan M 7,2 pada 27 Juli 2015. Gempa berkekuatan M 6,0-M6,9 terjadi 11 kali dan berkekuatan M 5,0-M 5,9 mencapai 185 kali. Gempa M 4,0-M 4,9 sebanyak 1.456 kali dan yang berkekuatan lebih kecil dari M 4 mencapai 2.742 kali.
Gempa merusak
Daryono menambahkan, gempa bumi yang memicu kerusakan terjadi tujuh kali, yakni di Pagimana, Banggai, Sulawesi Tengah, pada 16 Maret 2015, berkekuatan M 6,0. Gempa merusak juga terjadi di Desa Klangon, Kecamatan Saradan, Madiun, Jawa Timur, 25 Juni 2015. Meski kekuatan gempa kecil, M 4,2, kedalaman hiposenter hanya 3 kilometer sehingga merusak 57 rumah.
Berikutnya, pada 27 Juli 2015, gempa berkekuatan M 7,2 terjadi di Mamberamo Raya, Papua, yang menyebabkan puluhan bangunan rusak dan menewaskan satu orang. Gempa merusak terjadi di Sorong, Papua Barat, 24 September 2015. Kekuatan gempa M 6,8 dengan kedalaman hiposenter 10 km. Sebanyak 257 rumah rusak dan 62 orang terluka.
Pada 4 November 2015, gempa berkekuatan M 6,2 melanda Alor, NTT, yang menyebabkan 884 rumah rusak dan 3 orang luka berat. Sementara gempa bumi langka, tipe swarm, terjadi di Jailolo, Halmahera Barat, Maluku. Gempa itu beruntun dan selama November-Desember terjadi 1.171 kali dengan kekuatan di bawah M 5,0. Kedalaman hiposenter rata-rata 10 km. Tingginya frekuensi gempa di Jailolo mengakibatkan 1.593 rumah rusak dan satu warga luka akibat tertimpa bangunan.
Terakhir, gempa yang juga langka terjadi di Tarakan, Kalimantan Utara, pada 21 Desember 2015. Gempa itu berkekuatan M 6,1 dengan kedalaman hiposenter 10 km. Sebanyak 10 rumah rusak, 1 orang terluka berat, dan 9 orang terluka ringan.
Dari data itu terlihat, hampir semua kejadian gempa merusak terjadi di kawasan timur Indonesia. “Semua gempa merusak tahun ini akibat sesar aktif, tak satu pun dipicu aktivitas subduksi lempeng. Mayoritas gempa merusak tak terjadi di jalur sesar utama yang sudah dikenali, tetapi pusatnya di sesar lokal yang belum dikenali,” kata Daryono.
Ahli gempa bumi Institut Teknologi Bandung, Irwan Meilano, mengatakan, banyak sumber gempa bumi merusak belum dipahami. Bahkan, sebagian belum dipetakan sebagai sumber gempa aktif, seperti Tarakan. “Perlu percepatan riset dasar gempa bumi, apalagi kita tengah menggenjot pembangunan infrastruktur di banyak daerah,” ujar Irwan.
Menurut Daryono, gempa merupakan proses geologi yang tidak bisa dihentikan dan tidak dapat diprediksi. Hal terpenting ialah mengenali daerah rentan dan memahami mekanismenya demi memperkecil kerusakan bangunan dan mencegah korban jiwa akibat gempa. (AIK)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Desember 2015, di halaman 14 dengan judul “Frekuensi Gempa Tinggi”.