India Menuju Bulan

- Editor

Senin, 29 Juli 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Misi Chandrayaan-2 ke Bulan milik India sukses diluncurkan, Senin (22/7/2019). Jika pendaratan di Bulan berhasil dilakukan, India akan jadi negara keempat yang bisa mendaratkan wahana di Bulan.

INDIAN SPACE RESEARCH ORGANISATION–Roket peluncur Geosynchronous Satellite Launch Vehicle Mark III-M1 atau GSLV MkIII-M1 meluncur dari Bandat Antariksa Satish Dhawan, Sriharikota, India, Senin (22/7/2019) pukul 14.43 waktu setempat atau 16.13 WIB. Roket itu membawa wahana pengorbit Chandrayaan-2, wahana pendarat Vikram dan wahana penjejak Pragyan menuju Bulan.

Setelah tertunda seminggu akibat kendala teknis, misi Chandrayaan-2 milik India berhasil diluncurkan dari Bandar Antariksa Satish Dawan, Sriharikota, India, Senin (22/7/2019) pukul 14.43 waktu setempat atau 16.13 WIB. Proyek senilai 145 juta dollar Amerika Serikat atau Rp 2,03 triliun itu akan didaratkan di kutub selatan Bulan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Semula, misi itu akan diluncurkan Senin (15/7/2019) pukul 02.51 waktu setempat atau 04.21 WIB. Namun, 56 menit sebelum waktu peluncuran, Organisasi Penelitian Antariksa India (ISRO) menunda peluncuran itu karena ditemukannya hambatan teknis. Laporan media India menyebut hambatan itu terjadi karena kebocoran tabung gas helium di mesin kriogenik roket peluncur.

Ini adalah misi kedua India menuju Bulan. Misi pertama Chandrayaan-1 pada 2008 berupa wahana pengorbit dan wahana penumpuk Bulan yang keduanya mampu mendeteksi keberadaan molekul air di Bulan. Pada misi kedua ini, selain mengirimkan wahana pengorbit Chandrayaan-2 untuk memetakan Bulan, wahana pendarat dan penjejak juga dikirimkan untuk mengeksplorasi permukaan Bulan.

Ketiga wahana itu dikirimkan memakai roket peluncur tiga tingkat Geosynchronous Satellite Launch Vehicle Mark III-M1 atau GSLV MkIII-M1. Itu adalah roket peluncur terkuat yang dimiliki India. Roket setinggi 44 meter itu memiliki bobot 640 ton atau hampir 1,5 kali berat pesawat jumbo jet Boeing 747 dalam kondisi penuh.

Roket itu akan mengirimkan tiga jenis wahana sekaligus, yaitu wahana pengorbit Chandrayaan-2 seberat 2.379 kilogram, wahana pendarat Vikram berbobot sekitar setengah Chandrayaan-2, dan wahana penjejak Pragyan dengan berat 27 kilogram.

Chandrayaan-2 akan mengorbit Bulan selama setahun. Vikram akan diturunkan ke permukaan Bulan pada awal September mendatang saat Chandrayaan-2 ada di ketinggian 100 kilometer dari Bulan. Setelah Vikram mendarat dengan selamat, Pragyan akan dikeluarkan dan diharap mampu bekerja selama 14 hari serta menempuh jarak 500 meter guna menganalisis tanah Bulan.

Jika pendaratan di Bulan itu sukses dilakukan, sekitar awal September mendatang, India akan jadi negara keempat yang berhasil mendaratkan wahananya di Bulan setelah Uni Soviet (Rusia), Amerika Serikat, dan China. Namun, India akan jadi negara pertama yang mendaratkan wahananya di kutub selatan Bulan karena area itu jarang dieksplorasi badan antariksa negara lain.

Seusai peluncuran, Perdana Menteri India Narendra Modi melalui akun Twitternya menyebut misi itu sepenuhnya dikerjakan oleh putra-putri India. “Apa yang membuat tiap orang India gembira dengan Chandrayaan-2 adalah fakta bahwa Chandrayaan-2 itu misi yang sepenuhnya dilakukan oleh orang India,” tulisnya.

Kepala Organisasi Penelitian Antariksa India (ISRO) K Sivan seperti dikutip BBC, Senin (22/7/2019), menyebut Chandrayaan-2 adalah misi paling rumit yang pernah dibuat lembaganya. Misi itu dikerjakan hampir 1.000 ilmuwan, insinyur dan berbagai staf lain. “Ini adalah awal dari perjalanan sejarah India menuju Bulan,” katanya.

Selain itu, hal yang menjadikan misi ini istimewa adalah untuk pertama kali dalam sejarah ruang angkasa India, ekspedisi antarplanet dipimpin dua perempuan, yaitu Muthaya Vanitha sebagai direktur proyek dan Ritu Karidhal yang jadi direktur misi. Keterlibatan perempuan dalam misi ruang angkasa, termasuk di berbagai badan antariksa lain, sangat jarang.

Seperti dikutip dari space.com, Senin (22/7/2019), ketiga wahana itu memuat banyak instrumen sains untuk memastikan misi berjalan baik dan berhasil. Namun nilai lebih dari misi ini adalah akan membuka paradigma baru tentang misi ke Bulan untuk beberapa dekade yang akan datang. Wilayah kutub selatan Bulan berpotensi dijadikan wilayah transit bagi pengiriman misi manusia ke planet Mars.

Tantangan
Peluncuran Chandrayaan-2 pekan lalu itu adalah awal dari perjalanan sejauh 384.000 kilometer menuju Bulan. Dikutip hindustantimes.com, Selasa (23/7/2019), pendaratan wahana di Bulan diharapkan tetap berlangsung pada 7 September mendatang atau sesuai jadwal awal setelah ISRO melepaskan wahana pada 6.000 kilometer lebih tinggi dari rencana awal sebelum wahana bermanuver.

Itu berarti, butuh hampir tujuh minggu untuk mendaratkan Vikram di Bulan sejak diluncurkan. Demi menghemat bahan bakar, Chandrayaan-2 menempuh rute berputar-putar mengelilingi Bumi guna menuju Bulan. Wahana akan memanfaatkan gravitasi Bumi tersebut hingga bisa berpindah ke orbit Bulan dengan mudah.

Waktu yang ditempuh Chandrayaan-2 itu jelas jauh lebih lama dibandingkan misi Apollo 11 milik Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional AS atau NASA pada 1969 yang hanya butuh empat hari untuk mendaratkan manusia di Bulan. Misi Apollo menggunakan roket peluncur Saturn V yang masih menjadi roket terbesar dan terkuat hingga saat ini.

Meski demikian, upaya menurunkan Vikram ke permukaan Bulan bukanlah hal mudah. “Setelah wahana pendarat dilepaskan ke kutub selatan Bulan dari wahana pengorbit, akan ada jeda sekitar 15 menit yang mengkhawatirkan para ilmuwan (apakah wahana itu bisa mendarat dengan selamat),” kata Sivan.

Pada saat itu, lanjutnya, tidak ada yang bisa dilakukan para pengendali wahana selain menunggu Vikram mengirimkan sinyal telah berhasil mendarat dengan baik. Jika semua sistem yang dirancang berjalan sempurna, maka Vikram akan aman. Jika tidak, wahana pendarat itu bisa menghantam permukaan Bulan.

Ini adalah pendaratan wahana pertama India di permukaan Bulan. Meski Uni Soviet, AS dan China sudah bisa melakukannya, namun sejumlah misi pendaratan ke Bulan milik negara lain tak berjalan mulus. Kegagalan pendaratan terakhir ke Bulan dialami wahana Beresheet milik Israel pada 11 April 2019. Chandrayaan-2 semoga tidak mengalami nasib buruk seperti itu.

Namun, apa pun hasilnya, termasuk kegagalan yang harus dialami, itu adalah pengetahuan baru dalam misi pendaratan ke Bulan. Bagaimanapun, negara-negara yang sudah mengirimkan wahananya ke Bulan atau mencoba mendaratkan wahananya ke Bulan memiliki pengetahuan dan kemampuan tinggi dalam pengembangan teknologi antariksa.

Visi besar
Keberhasilan India mengirim wahana ke Bulan banyak mendapat pujian. Meski pendapatan per kapita negara itu lebih rendah dari Indonesia, namun India memiliki visi besar dalam pengembangan sains dan teknologi antariksa.

“India mempunyai visi keantariksaan yang kuat,” kata Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin, Rabu (24/7/2019). Lapan memiliki kerjasama dengan ISRO untuk meluncurkan sejumlah satelit Lapan ke luar angkasa.

Visi keantariksaan yang kuat itu mampu disampaikan pemimpin dan ilmuwannya ke masyarakat. Meski teknologi antariksa itu mahal, namun manfaat yang diperoleh jauh lebih besar. Selain itu, anggaran program keantariksaan India hampir tidak terbatas karena pengusulnya bukan hanya ISRO, tetapi juga kementerian lain yang membutuhkan pemanfaatan teknologi antariksa.

Misi ke Bulan juga dianggap sebagai program keantariksaan yang murah untuk menumbuhkan kebanggaan nasional dan inspirasi bagi rakyat India. Namun agar itu bisa terlaksana, butuh komitmen politik jangka panjang.

“Di balik tujuan ilmiahnya, misi keantariksaan bisa menggerakkan industri teknologi tinggi dan untuk menunjukkan capaian kemampuan teknologi suatu negara,” tambahnya.

Menurut Thomas, Indonesia sebenarnya bisa meniru cara yang digunakan India. Memang butuh waktu lebih lama untuk meyakinkan pengambil kebijakan, namun itu bisa dilakukan dengan menunjukkan lebih dulu manfaat teknologi antariksa bagi pembangunan nasional.

Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan. Amanat UU yang belum dilaksanakan ialah kegiatan komersial keantariksaan. Itu butuh partisipasi badan usaha dan swasta agar anggaran program keantariksaan tak sepenuhnya ditanggung negara seperti saat ini. “Indonesia yang sangat luas butuh teknologi antariksa. Pasar domestiknya juga besar,” ungkapnya.–M ZAID WAHYUDI

Editor EVY RACHMAWATI

Sumber: Kompas, 29 Juli 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 6 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB