Kelas daring, pelatihan virtual, hingga webinar gratis menjadi media untuk memperkaya kecakapan diri selama pandemi Covid-19. Ini penting untuk persiapan menuju kehidupan normal baru.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN—Foto tangkapan layar webinar yang diselenggarakan Pewarta Foto Indonesia dengan menghadirkan narasumber pewarta foto dari tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Singapura, Sabtu (11/4/2020). Diskusi yang membahas tentang menyiasati liputan saat karantina wilayah akibat Covid-19 secara daring ini diikuti ratusan peserta. Webinar kini menjadi pilihan ngumpul secara maya masyarakat di tengah pandemi Covid-19.
Sejumlah institusi kini menggratiskan akses ke gudang ilmu pengetahuannya. Sebut saja Universitas Harvard dan Columbia, dua dari delapan universitas Ivy League di Amerika Serikat. Ada pula kelas daring gratis dari Universitas Stanford dan Oxford. ”Mata kuliah” yang tesedia beragam, mulai dari musik, matematika, psikologi, hingga teknologi informasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di Indonesia, sejumlah webinar gratis dengan pembicara dari beragam latar belakang juga tersedia. Ada pula orang-orang yang membuka kelas gratis di akun media sosial. Kesempatan mendulang ilmu gratis perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Ketua Umum Inovator 4.0 Indonesia Budiman Sudjatmiko, saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (21/5/2020) malam, mengatakan, pandemi memaksa dan mempercepat disrupsi di segala sektor. Hal ini mendorong sebagian orang untuk berbagi ilmu.
KOMPAS/LASTI KURNIA—Peserta menonton arahan dari ibu Maya, pendiri, formulator, dan aromatherapist Amore Natura Skincare Learning Centre, saat mengikuti kelas daring di rumahnya di Kebon Jeruk, Jakarta, Kamis (26/3/2020). Untuk memberikan solusi atas mahal dan langkanya hand sanitizer, Maya membuat kelas daring yang terjangkau agar masyarakat dapat membuat sendiri secara tepat, dengan sampel formula yang telah diuji coba.
”Kita dituntut untuk membentuk perangai yang saintifik. Ada kesadaran bahwa ilmu pengetahuan akan menjawab banyak tantangan di tatanan hidup yang baru (new normal),” kata Budiman.
Menurut dia, era normal baru hanya bisa dihadapi oleh orang yang berwawasan terbuka. Penting bagi masyarakat untuk memahami cara berpikir ilmiah, yakni berpikir yang kritis, analitis, dan logis.
Untuk mencapainya, masyarakat dapat melatih diri melalui diskusi, seminar, hingga perkuliahan daring yang tersedia secara gratis.
Perspektif baru
Menimba ilmu di masa pandemi diyakini membuka kemungkinan munculnya perspektif baru. Perspektif ini diperlukan untuk menemukan terobosan baru di semua sektor, khususnya pada masa setelah pandemi.
Budiman mengatakan, proses berpikir baru selalu dialami masyarakat setelah krisis besar, misalnya masa setelah Perang Dunia I, Depresi Besar pada abad ke-20, pandemi flu Spanyol, dan Perang Dunia II. Pemikiran baru digunakan untuk menggugat pengetahuan masa lalu yang dinilai tidak efektif menangani krisis.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA—Kamera merekam Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengajar secara daring siswa kelas VI SD di halaman Balai Kota Surabaya, Jawa Timur, Jumat (15/5/2020). Dalam kesempatan tersebut, siswa dapat bertanya kepada Wali Kota tentang banyak hal, seperti penanganan Covid-19 di Surabaya dan proses pendaftaran ke jenjang SMP.
”Kita perlu belajar sejarah untuk tahu kecerdasan dan kebodohan di masa lampau. Sastra, khususnya fiksi sains, untuk mengimajinasikan masa depan. Sains untuk merencanakan masa depan. Filsafat untuk memberi makna terhadap kejadian masa lalu, masa kini, dan masa depan,” katanya.
Tantangan
Tren ilmu pengetahuan daring memberikan tantangan baru. Transformasi digital yang masif, mendadak, dan memaksa menghasilkan akses edukasi yang merata bagi semua orang. Namun, hal itu belum tentu dibarengi dengan kualitas belajar yang merata.
Demikian dipaparkan Jeannette Sanchez dalam artikel The Shift to Online Learning and Skills Training Shows Promising Trends and Troubling Signs. Ia memberi contoh bahwa perempuan kesulitan menggunakan fasilitas belajar jarak jauh. Sebab, perempuan harus berjibaku dengan urusan rumah tangga.
Ia juga merumuskan beberapa tantangan belajar daring. Beberapa di antaranya adalah instruktur tidak terlatih untuk menggelar kelas daring, adanya kesulitan beradaptasi dengan kurikulum TVET (Technical and Vocational Education and Training), serta kurangnya akses terhadap internet ataupun teknologi komunikasi dan informasi (ICT).
”Terlepas dari tantangan yang ada, murid-murid, cantrik, penyedia TVET, dan pembuat kebijakan membuat perubahan penting. Perubahan itu diperlukan untuk belajar dan memperoleh keterampilan pada masa krisis,” tulis Sanchez.
Oleh SEKAR GANDHAWANGI
Editor KHAERUDIN KHAERUDIN
Sumber: Kompas, 22 Mei 2020