Masyarakat Indonesia sudah begitu akrab dengan kuliner berbahan jenis-jenis ikan asing, yang tidak jarang bersifat invasif. Penelitian terhadap budidaya ikan-ikan asing ini begitu gencar sehingga kualitasnya makin memanjakan konsumen. Sayangnya, penelitian tersebut melupakan spesies ikan endemis asli yang begitu beragam di berbagai daerah, yang juga bermanfaat sebagai bahan pangan. Tanpa perhatian, satu per satu spesies endemis kita bakal punah.
Peneliti budidaya ikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Fauzan Ali, mengatakan, pertumbuhan yang lambat, ukuran ikan yang kecil, atau rasa yang kurang enak kerap menjadi alasan minimnya upaya budidaya ikan-ikan endemis.
”Padahal, ikan-ikan asing yang saat ini begitu akrab merupakan hasil penelitian berkali-kali. Tanpa penelitian, kualitas juga tidak akan meningkat. Jadi, kualitas ikan endemis pun bisa meningkat jika ada intervensi riset,” tuturnya saat dihubungi pada Jumat (24/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia mencontohkan, nila, lele, dan patin merupakan ikan-ikan yang sebenarnya bukan asli Indonesia, tetapi begitu luas dijual di warung atau rumah makan. ”Nila, dari namanya saja sudah menunjukkan bukan asal Indonesia. Ikan ini berasal dari Sungai Nil di Benua Afrika,” ucap Fauzan.
Nila bernama latin Oreochromis niloticus. Ikan ini merupakan pemakan segala dan, jika sudah kehabisan pakan, ia tidak segan memangsa ikan lainnya. Dengan sifat tersebut, nila mengancam populasi ikan-ikan asli jika dilepas di perairan umum.
DAMPAK INVASI IKAN ASING
Mengancam keanekaragaman hayati.
Menurunnya populasi ikan lokal (mengancam kelestarian sumber daya ikan lokal).
Terjadi dominasi spesies tertentu yang kurang memiliki nilai ekonomis yang penting.
Menyebarkan penyakit ikan dan hama baru.
Merusak estetika ekosistem.
Mengubah kehidupan sosial ekonomi masyarakat serta membahayakan keselamatan manusia.
Jenis ikan ini pun menjadi pembicaraan setelah Menteri Pariwisata Arief Yahya, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise, serta sejumlah pejabat di Papua menebarkan 1 juta benih nila dalam Festival Danau Sentani 2015 di Papua. Introduksi ikan asing dinilai mempersulit pemulihan populasi ikan endemis Sentani. Sebelumnya, sudah ada 17 jenis ikan asing masuk dan membuat ikan endemis, seperti ikan pelangi sentani, pelangi merah, dan gobi, terdesak (Kompas, 22/6).
Kondisi serupa terlihat dari budidaya lele dan patin. Menurut Fauzan, Indonesia sesungguhnya memiliki spesies lele dengan nama latin Clarias batrachus,tetapi yang banyak dikembangbiakkan di sini adalah lele dumbo (Clarias gariepinus) asal Thailand. Indonesia pun memiliki patin endemis dengan nama latin Pangasius pangasius, tetapi yang lebih banyak masuk ke perairan Indonesia adalah patin asal Bangkok, Thailand, yaitu Pangasius sutchi.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH–Pedagang membersihkan nila dagangannya di kawasan Pekan Tiga Raja, Parapat, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Nila bukan merupakan ikan asli Indonesia dan cenderung bersifat invasif terhadap ikan endemik perairan Indonesia.
Untungnya, masih ada ikan asli Indonesia yang umum dibudidayakan masyarakat. Contohnya, ikan gurami (Osphronemus goramy). Kompas pada 13 Mei 1996 memberitakan, gurami yang sudah dibudidayakan di berbagai daerah di Indonesia diakui sebagai fauna khas Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, lewat Surat Keputusan Bupati Tasikmalaya Nomor 522.4/189/1994.
Tidak asal
Namun, Fauzan mengingatkan, masyarakat tidak boleh asal membudidayakan ikan asli dalam negeri ke berbagai daerah. Ini lantaran ikan asing bukan hanya ikan yang berasal dari luar negeri, melainkan juga yang dari perairan lain walaupun sama-sama dari dalam negeri. Ikan asing berpotensi menjadi invasif, yaitu bisa berkembang dan mengganggu keragaman hayati endemis.
Fauzan mencontohkan, pemerintah pernah menaburkan benih bilih (Mystacoleucus padangensis) yang asli Danau Singkarak, Sumatera Barat, ke Danau Toba di Sumatera Utara. Tujuannya, memperbanyak area perkembangbiakan bilih karena pangsa pasar ikan ini besar.
Bilih pun berkembang biak baik dan populasinya meledak, tetapi mengakibatkan populasi ikan lokal Danau Toba, yaitu batak atau jurong (Neolissochillus Thienemanni sumatranus), turun drastis. Padahal, ikan ini dulu sering disajikan sebagai bagian tradisi pesta adat masyarakat setempat, sedangkan sekarang sudah sangat sulit ditemukan.
Pakar limnologi LIPI, Gadis Sri Haryani, mengatakan, dengan demikian, langkah terbaik untuk memenuhi kebutuhan pangan bersumber ikan adalah budidaya ikan endemis setempat. Ia berharap pemerintah kabupaten/kota memiliki data jenis-jenis ikan asli yang ada di perairan umum dalam wilayah masing-masing. ”Data jenis ikan bisa bekerja sama dengan lembaga penelitian atau universitas,” ujarnya.
Gadis menambahkan, akan lebih bagus jika pemerintah daerah menjamin budidaya ikan lokal sebagai prioritas melalui peraturan daerah. Selain itu, dinas kelautan dan perikanan masing-masing kabupaten/kota harus segera menginisiasi pembenihan ikan asli, tak hanya fokus pada pengembangan budidaya ikan pangan yang sudah umum.
J GALUH BIMANTARA
Sumber: Kompas Siang | 24 Juli 2015
————
Ikan Endemis; Yang Asli, yang Tersisih, dan yang Menuju Kepunahan
Siap punah” tampaknya tak terlalu berlebihan untuk menyebut nasib ikan-ikan endemis atau khas perairan tertentu di seantero Indonesia. Itu juga berlaku bagi ikan-ikan lokal yang sebenarnya berpotensi sebagai bahan pangan.
Ikan nila (Oreochromis niloticus) dari Sungai Nil, Afrika. Lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah hasil pengembangan Thailand. Sementara patin siam (Pangasius sutchi) juga dari Thailand. Ikan-ikan inilah yang umum dibudidayakan di kalangan peternak ikan.
Kondisi tersebut menjadi salah satu gambaran ancaman bagi ikan-ikan lokal Indonesia. Peneliti budidaya ikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Fauzan Ali, pekan lalu, mengatakan, pertumbuhan yang lambat, rasa daging kurang sesuai selera, atau tubuh kecil menjadi alasan jamak ikan lokal tersingkir dari ranah budidaya.
Semua itu sebenarnya tentang minimnya riset. “Jika riset pengembangan strain unggul nila berhenti, misalnya, 10 tahun mendatang ikan itu juga akan bertubuh kecil,” ucap Fauzan.
Ikan bada, asang, gabus, dan sidat adalah sedikit dari ratusan jenis ikan lokal yang berupaya mendapat perhatian agar bisa lestari, dan sebagai balasannya, memberi manfaat gizi atau ekonomi bagi manusia. Ada yang manfaat ekonominya disadari, tetapi habitatnya dibiarkan terancam. Ada pula yang memang dianggap tidak begitu bermanfaat, tetapi ironisnya, negara lainlah yang mengistimewakan.
Ikan bada (Rasbora argyrotaenia) dan ikan asang (Osteochilus hasseltii) adalah penghuni asli Danau Maninjau, Sumatera Barat. Keduanya bisa menjadi sumber bahan pangan. Sayangnya, perhatian direbut ikan budidaya umum, salah satunya nila. “Di Danau Maninjau, banyak keramba budidaya antara lain nila dan mas,” ujar Fauzan.
Ikan gabus rawa.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Kompas (Kamis, 21/2/2002) memberitakan, akibat tingginya kandungan bahan organik di Maninjau, populasi fitoplankton meledak dan mencemari danau berkedalaman 220 meter itu. Ikan bada dan asang, ditambah ikan garing, pulari, dan rinuak, disebut sebagai spesies ikan asli yang terancam punah.
Kerusakan habitat juga terus mendesak populasi ikan gabus (Channa striata) di Jakarta dan sekitarnya. Masyarakat di tempat itu dulu sering menemukan gabus di sawah atau rawa. Namun, persawahan terus berkurang dan berganti perumahan, mengakibatkan populasi ikan gabus tergerus. Kuliner khas Betawi, yaitu gabus pucung dan gabus pecak, pun makin langka.
Lain lagi ikan sidat (Anguilla marmorata). Ikan itu tenar sebagai sumber pangan. Sayangnya, penghargaan tinggi justru diberikan oleh negara-negara asing, yaitu Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan. Masyarakat ketiga negara ini menggemari kuliner dari sidat. Budidaya di Indonesia pun kebanyakan untuk ekspor ke negara-negara itu.
Fauzan mencontohkan, Jepang mengincar sidat Indonesia mengingat 7 dari 13 jenis sidat dunia ada di Indonesia. Di sisi lain, jumlah sidat yang biasa dibudidayakan Jepang, yaitu Anguilla japonica, kian terbatas.
Pada 15-20 tahun lalu, Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan datang mencari sumber sidat di Indonesia. Saat itu, harga anakan sidat masih Rp 200 per kilogram. Sekarang, harga anakan Rp 4 juta-Rp 5 juta per kg.
Peneliti ikan air tawar LIPI, Renny K Hadiaty, mengatakan, setiap makhluk tercipta dengan peran masing-masing demi keseimbangan alam. Keterancaman jenis asli di satu tempat juga mengancam keseimbangan ekosistem.(J GALUH BIMANTARA)
——–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Juli 2015, di halaman 13 dengan judul “Yang Asli, yang Tersisih, dan yang Menuju Kepunahan”.