Memiliki ijazah perguruan tinggi secara mudah telah menggoda sebagian orang untuk berbuat curang. Muncullah ijazah ilegal atau ijazah palsu yang kian terungkap belakangan ini. Kasus terkini, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Adhy Niaga di Bekasi, Jawa Barat, yang terbukti meluluskan sejumlah mahasiswa meski satuan kredit semesternya belum mencukupi.
Ruang tunggu di STIE Adhy Niaga terletak di lantai tiga. Ukurannya sekitar 2,5 meter x 2 meter. Di dinding sebelah kanan jendela terpasang televisi layar datar. Di seberangnya, ada dua sofa berwarna abu-abu yang dipenuhi debu. Seekor tikus mengintip dari bingkai jendela, lalu berlari melintasi rak yang dipenuhi map berisi foto para wisudawan dari tahun 2010. Tikus itu lantas menyelinap di dapur di sebelah ruang tamu.
Suatu pagi pada awal Juni 2015, kampus itu lengang, padahal tengah berlangsung perkuliahan di satu kelas di lantai satu dan satu kelas lagi di lantai empat. Suara-suara kegiatan justru terdengar dari para karyawan di Studio Bekasi TV, yang menyewa sebagian lantai dasar di gedung tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Hari ini hari kejepit, jadi wajar mahasiswa yang datang hanya sedikit,” kata Faizi Michael, dosen Bahasa Inggris sekaligus penanggung jawab bidang kemahasiswaan STIE Adhy Niaga. Ketika ditanya mengenai jumlah mahasiswa di kampus itu, Faizi tidak bisa memberi angka pasti karena data tersebut dipegang para pemimpin STIE yang sedang tidak berada di kantor. Ia menyebutkan angka 2.000 hingga 3.000 mahasiswa.
Mudah dan biaya ringan
Seorang mahasiswi, yang tidak ingin disebutkan namanya, mengaku memilih berkuliah di STIE Adhy Niaga karena mendapat keringanan biaya. Dia hanya perlu membayar uang pendaftaran Rp 100.000 dan uang ujian akhir. Ia dibebaskan dari uang kuliah per semester. Kebijakan ini cukup membantu mahasiswi dengan orangtua berpenghasilan pas-pasan itu.
Beberapa mahasiswa lain menilai perkuliahan di kampus ini tidak terlalu berat. Tugas-tugas umumnya bisa diselesaikan dengan mudah dan mereka bisa lulus kuliah dalam empat tahun. Semua itu memikat kaum muda untuk kuliah di STIE Adhy Niaga meski gedung kampus itu berdebu dan memiliki enam ruang kuliah yang sebagian hanya berukuran 4 meter x 4 meter.
Berdasarkan data Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, STIE Adhy Niaga memiliki 3.000 mahasiswa program studi S-1 Manajemen, S-1 Akuntansi, dan D-3 Akuntansi.
Riga, dosen mata kuliah Statistika, mengaku biasanya mengajar 20 hingga 40 mahasiswa, sesuai rasio dosen dan mahasiswa ilmu sosial. Namun, kadang ia mengajar 50 hingga 70 mahasiswa. “Saya bisa mengendalikan para mahasiswa,” ucapnya.
Bagi Ungke, dosen Hukum Manajemen, menjadi dosen tamu di STIE Adhy Niaga untuk menambah pengalaman. Pekerjaan tetapnya adalah guru Sosiologi di salah satu SMA negeri di Bekasi. Jikapun perguruan tinggi itu diberi sanksi oleh Kemenristek dan Dikti, itu tidak akan terlalu berpengaruh terhadap kariernya.
Dibekukan
Inspeksi mendadak oleh Menristek dan Dikti Muhammad Nasir pada akhir Mei 2015 menemukan STIE Adhy Niaga meluluskan sejumlah mahasiswa yang menurut keterangan di pangkalan data Dikti belum memenuhi satuan kredit semester (SKS). Kampus itu diberi waktu dua pekan untuk menyerahkan data jumlah mahasiswa baru dan pindahan, penyusunan kalender akademik, silabus kuliah, serta kelengkapan satuan kredit semester. Namun, ternyata kampus itu tidak memenuhi.
Pada 3 Juni 2015, Muhammad Nasir membekukan STIE Adhy Niaga. “Kami larang untuk menerima mahasiswa baru sampai pengelolaan dibereskan,” ujarnya.
Pembekuan ini kian memojokkan posisi STIE Adhy Niaga yang statusnya sudah dinonaktifkan. Artinya, dalam pemeriksaan sebelumnya telah ditemukan pelanggaran standar pendidikan tinggi sehingga perguruan tinggi swasta tersebut tidak diberi dana hibah, kesempatan promosi kepada dosen, dan beasiswa.
Secara terpisah, Sekretaris Pelaksana Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah IV yang menangani wilayah Jawa Barat, Subahi Idris, mengungkapkan, STIE Adhy Niaga telah dua kali ditegur karena lalai memutakhirkan data riwayat perkuliahan mahasiswa.
Setiap PTS wajib mengunggah data per semester ke pangkalan data Kemenristek dan Dikti. Data itu merupakan penjelasan rinci mengenai jumlah mahasiswa, status, cara masuk ke perguruan tinggi, jumlah SKS setiap mahasiswa, serta nilai per mata kuliah mahasiswa.
Adhy Firdaus, Ketua Yayasan Adhy Niaga, menjelaskan, tanggung jawab pemutakhiran data sedang dialihkan dari pembantu ketua I ke pembantu ketua II. Ini mengakibatkan proses mengalami keteteran. “Untuk saat ini, kami akan fokus membenahi diri dulu,” ujarnya seusai rapat dengan Direktorat Jenderal Dikti.
Marak
Masalah di STIE Adhy Niaga hanya satu dari banyak kasus penerbitan ijazah ilegal di sejumlah kampus lain di negeri ini. Istilah ini mengacu pada ijazah yang dikeluarkan kampus terhadap mahasiswa yang belum memenuhi syarat lulus. Itu berbeda dengan ijazah palsu, yaitu ijazah yang memasukkan nama orang yang tidak pernah menyelesaikan kuliah di jurusan atau kampus tertentu.
Kedua jenis kecurangan itu terjadi di Indonesia. Litbang Harian Kompas mencatat, dalam 10 tahun ini, terdapat 27 kasus pemalsuan ijazah dan penerbitan ijazah ilegal. Beberapa kasus pemalsuan ijazah telah ditangani kepolisian, seperti di Tangerang, Nusa Tenggara Timur, dan Aceh.
Semua itu menyuguhkan tragedi dunia pendidikan. Sejumlah lembaga akademik, yang semestinya memuliakan kejujuran, justru menyokong kecurangan. Itu dipicu oleh atmosfer kerja yang terlalu mementingkan formalitas gelar, godaan materi, serta moralitas jalan pintas yang ingin meraih gelar, tanpa bersusah payah kuliah secara benar.
Bagaimana mengantisipasi masalah ini? Kemenristek dan Dikti tengah mempersiapkan inspeksi lagi ke 16 perguruan tinggi yang diduga juga menerbitkan ijazah ilegal dan ijazah palsu. Namun, inspeksi mendadak dan sanksi terhadap satu-dua perguruan tinggi pelanggar tidaklah cukup. Perlu sistem permanen untuk mengawasi, mengontrol, dan menindak ijazah ilegal dan palsu. Semua pihak, yaitu pemerintah, sivitas perguruan tinggi, juga masyarakat, hendaknya bahu-membahu untuk mewujudkan iklim akademik yang sehat dan mencerdaskan bangsa. Bukan jaringan yang menawarkan jalan pintas dan kepalsuan.–LARASWATI ARIADNE ANWAR
————————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Juni 2015, di halaman 12 dengan judul “Jangan Tergoda Jalan Pintas dan Kepalsuan”.