Pemerintah bisa menolak penyetaraan ijazah dari perguruan tinggi luar negeri apabila prosedur perkuliahan dinilai tidak sesuai prinsip dan standar pendidikan tinggi di Indonesia. Untuk ijazah yang ditemukan bermasalah, pemerintah juga berhak meninjau kembali proses penyetaraannya sebelum mengambil keputusan membatalkan atau menyatakan sah.
Alasannya karena di dalam surat penetapan penyetaraan ijazah dari perguruan tinggi di luar negeri tercantum bahwa ijazah itu bisa ditinjau kembali jika pada suatu saat ditemukan permasalahan yang berisiko meragukan keabsahannya.
“Memang pemerintah negara yang mengeluarkan ijazah tersebut menyatakan sah, tetapi Indonesia tetap berhak menerima ataupun menolak penyetaraan ijazah tersebut,” kata Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi periode 1999-2007 Satryo Soemantri Brodjonegoro ketika dihubungi dari Jakarta, Minggu (24/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pendapat itu berkaitan dengan polemik keabsahan ijazah S-3 Rektor Universitas Manado Julyeta Paulina Amelia Runtuwene yang dipermasalahkan beberapa pihak sehingga diadukan ke Ombudsman RI. Ijazah itu didapat Julyeta dengan cara mengikuti program S-3 jarak jauh di Universite Marne la Valle, Perancis, yang murni berbasis riset di Indonesia pada 2003-2007.
Satryo mengatakan, ketika ia menjabat, aturan Ditjen Dikti tahun 1997 yang melarang kuliah jarak jauh masih berlaku. Kuliah jenis ini dilarang karena tidak ada sistem penjaminan mutu yang memastikan proses perkuliahan berjalan dengan benar.
Khusus untuk pendidikan jarak jauh dari perguruan tinggi luar negeri, Ditjen Dikti saat itu hanya mengizinkan perguruan tinggi yang memiliki program residensi. “Mahasiswa Indonesia harus berkuliah penuh selama minimal satu tahun di perguruan tinggi luar negeri, baru sisanya pulang ke Indonesia untuk penelitian dan penulisan disertasi,” kata Satryo.
Sementara itu, Dirjen Dikti periode 2010-2014 Djoko Santoso menjabarkan, semua dosen yang merupakan PNS wajib meminta izin ke perguruan tinggi tempat mereka bekerja apabila ingin melanjutkan kuliah.
Polemik mengenai kuliah S-3 yang ditempuh Julyeta masih berlangsung karena pihak pelapor tetap meragukan keabsahannya. Salah satu pelapor, Hanny Massie, mengungkapkan, Julyeta tidak pernah meminta izin melanjutkan kuliah kepada pimpinan Unima. Pada 2007, Julyeta menjabat sebagai Pembantu Dekan Fakultas Teknik Unima.
“Jika diberi izin kuliah, tentu ia harus melepas jabatan struktural selaku pembantu dekan,” kata Hanny, Kepala Subbagian Kepegawaian dan Keuangan Pascasarjana Unima yang dinonaktifkan sejak September 2017.
(DNE)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 September 2017, di halaman 11 dengan judul “Ijazah Bermasalah Bisa Ditinjau Ulang”.