IGOS (Indonesia, Go Open Source!) adalah gerakan nasional atau program pemerintah dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi yang bertujuan mendorong penggunaan software berlisensi “merdeka” (Free Software) dan nterbuka” (Open Source) di kalangan pemerintahan termasuk dalam irnplementasi e-Gov, perusahaan, pendidikan, dan personal. AOSI (Asosiasi Open Source Indonesia) adalah perkumpulan perusahaan dan organisasi non perusahaan yang misinya sejalan dengan IGOS. Tulisan ini merupakan opini atau usulan penulis tentang kolaborasi antara gerakan IGOS dan AOSI dalam implementasi e-Government di Indonesia.
Review: Konsep Bisnis Open Source
Pertanyaan yang biasa mengemuka ketika pertama mengenal istilah FOSS (Free/Open Source Software) adalah bagairnana perusahaan penyedia jasa FOSS mendapatkan uang, dan bagaimana pengguna FOSS seperti pemerintah mendapatkan produk dan layanan purna jual atau dukungan teknisnya? Penyebab munculnya pertanyaan itu adalah kata Free dalam FOSS yang sering diterjemahkan sebagai gratis. Free dalam FOSS berasal dari kata freedom, yang berarti bebas atau merdeka dan terbuka. Lisensi software merdeka dan terbuka mengizinkan siapapun untuk menggunakan software itu, mempelajari cara kerjanya, memodifikasi atau mengembangkannya, dan menggandakan atau menyebarluaskannya. Pengembang software atau penyedia jasa TIK lainnya mendapatkan penghasilan dari pekerjaannya dalam membuat, memodifikasi, memberikan dukungan teknis, menyediakan pelatihan, dan jasa lainnya, bukan dari menjual lisensi. Pengguna tetap mengeluarkan biaya untuk memenuhi berbagai kebutuhannya, kecuali biaya Iisensi. Lisensi atau izin penggunaan software merdeka dan terbuka itulah yang gratis.
IGOS: Mandiri dan Netral
IGOS dapat dikatakan sebagai kesadaran pemerintah tentang pentingnya keberpihakan terhadap kemampuan dalam negeri atau kemandirian bangsa. IGOS juga dapat dikatakan kenetralan pemerintah terhadap vendor, karena FOSS adalah konsep berbagi (sharing) dalam pengembangan software. FOSS bukan nama program kom puter dan bukan nama vendor. Berpihak kepada FOSS berarti tidak berpihak ke vendor tertentu saja, karena siapapun dapat menyediakan produk jasa berbasis FOSS.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kemandiran dan kenetralan pemerintah akibat kebijakan yang lebih memprioritaskan FOSS akan membawa akibat positif di bidang lainnya, seperti tumbuhnya industri jasa pengembang software, penyedia dukungan teknis, penyedia jasa pelatihan, dan sebagainya. Prioritas kepada FOSS secara nasional juga akan mengurangi pengeluaran devisa nasional karena berkurangnya biaya lisensi.
AOSI: Siapa Penyedia Jasa FOSS?
Salah satu masalah pemerintah dan sekaligus peluang pelaku usaha jika pemerintah segera memprioritaskan penggunaan FOSS adalah masih belum terlihat banyak penyedia jasa TIK yang mendukung FOSS. Penulis menyebut “belum terlihat banyak” karena bisa jadi sudah banyak namun belum terlihat. Para penyedia jasa TIK secara umum dapat menyediakan jasa berbasis FOSS jika dibutuhkan. Proses belajar penyedia jasa TIK untuk menguasai FOSS tidak membutuhkan waktu lama. Isti-lah klise untuk ini adalah “ayam dan telor, siapa lebih dulu?” Pertengahan tahun 2008 ini, beberapa penggiat FOSS yang mewakili perusahaan atau lembaganya masing-masing mengambil inisiatif untuk berkolaborasi dalam pemberikan dukungan kepada pemerintah dan masyarakat tentang penggunaan dan pengembangan FOSS melalui AOSI (Asosiasi Open Source Indonesia). Sesuai namanya, AOSI bukan perusahaan, namun AOSI akan mendorong anggotanya dan perusa haan atau lembaga lain berani menyediakan jasa di bidang FOSS secara profesional. Para pendiri AOSI tidak menunggu peme-rintah secara total ke FOSS. Sebaliknya, AOSI didirikan untuk menumbuhkan bisnis (produk/jasa) TIK berbasis FOSS untuk memenuhi kebutuhan swasta dan pemerintah yang sedang atau akan mengimplementasikan TIK-nya berbasis FOSS.
E-Gov Berbasis FOSS, kenapa tidak?
Banyak lembaga pemerintah, di pusat dan di daerah, telah dan sedang mengimplementasikan e-Government. Sebagian di antaranya telah memanfaatkan FOSS, misalnya untuk sistem informasi pengadaan (e-procure-ment), sistem informasi kepegawaian, sistem informasi pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah (Pilkada), dan sebagainya. Sebagian besar aplikasi yang berjalan di server, seperti web, email, proxy, domain name server, dan lain-lain juga telah menggunakan produk FOSS.
Sebagian pengelola komputer server dan mayoritas pengguna komputer desktop di pemerintahan masih lambat dalam memanfaatkan FOSS. Penulis melihat ada banyak penyebab lambatnya FOSS masuk ke komputer pernerintahan, tiga di antaranya sebagai berikut:
?Ketergantungan terhadap aplikasi yang hanya dapat dijalankan dengan sistem operasi proprietary. Misalnya aplikasi yang berhubungan dengan anggaran, aplikasi khusus yang belum tersedia penggantinya di sistem operasi FOSS, dan aplikasi lain yang telah ada dan membutuhkan proses tidak sederhana untuk membangun ulang seperti sistem kepegawaian.
? Keengganan pengguna untuk berubah atau belajar hal baru. Masalah ini sebenarnya juga terjadi ketika da.hulu ada perubahan dari sistem operasi DOS ke Windows. Dengan promosi atau sosialisasi yang kuat dari vendor besar seperti Microsoft tertiadap Windows, peralihan atau migrasi DOS ke Windows tidak seberat dari Windows ke Linux, misalnya. Hal itu disebabkan tidak atau belum ada perusahaan besar seperti Microsoft yang melakukan promosi secara besar-besaran terhadap produk-produk FOSS.
? Kekhawatiran akan kesulitan menda-patkan dukungan teknis, jika kemudian timbul masalah setelah bermigrasi ke FOSS, termasuk kekhawatiran perangkat keras yang tidak berfungsi karena kesulitan mendapatkan driver.
Penulis berharap AOSI akan mengambil peran sangat besar dalam membantu pemerintah mengatasi beberapa permasalahan seperti di atas. Bantuan AOSI tentu bukan berupa dana atau tenaga secara gratis, namun lebih kepada bantuan dalam bentukpenguatan kuantitas dan kualitas anggota AOSI untuk menyediakan jasa TIK berbasis FOSS secara profesional.
AOSI tentu tidak bisa sendirian dalam mengatasi permasalahan TIK dan FOSS di Indonesia.Meskipun AOSI telah menjadi “ayam”, tidak akan ada “telur” jika pemerintah tidak memiliki komitmen atau serius dalam memberikan perhatian lebih kepada FOSS. AOSI juga tidak ada artinya jika stake holder dunia TIK di Indonesia lainnya seperti para pengusaha komputer, para pelaku dunia pendidikan, dan perusahaan atau organisasi pengguna TIK umumnya tidak memiliki kepedulian terhadap software legal, kemandfran bangsa, dan penghematan devisa.
Kelemahan FOSS adalah tidak adanya penguasa tunggal dalam semua produk FOSS, sehingga promosi dan sosialisasi harus dilakukan secara bersama oleh semua pihak, mulai pengembang, penyedia dukungan teknis, pengguna, dan lembaga pemerintah. Lembaga pemerintah dapat mendukung dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang memihak kepada peng uatan industri dalam negeri, kemandirian,termasuk komitmen bagian pengadaan di setiap instansi pemerintah untuk lebih memihak ke kemampuan lokal dan penghematan devisa.
Keberhasilan implementasi FOSS di berbagai bidang, termasuk e-Gov, akan menguntungkan semua pihak, bukan hanya pelaku bisnis, karena legalitas, kemandirian, dan penghematan devisa telah menjadi prioritas kita sebagai bangsa Indonesia. Legalitas tidak semata-mata soal moral dan etika, namun juga pengakuan secara internasional dalal perdagangan dan penegakan hukum. Kemandiran akan menaikkan harga diri bangsa, karena tidak selalu bergantung kepada luar negeri. Pengehematan devisa tidak berarti memotong anggaran sehingga penurunan implementasi e-Gov, namun penghematan devisa berarti berputarnya uang lebih banyak di dalam negeri.
Rusmanto, Pemimpin Redaksi Majalah InfoLinux dan Ketua AOSI Email: rus@infolinux.co.id
Sumber: Warta e-Gov, No. 08, 15 Agustus – 15 September 2008