Ikatan Dokter Indonesia diminta agar tidak terlibat dalam menentukan standar ujian dan kelulusan sertifikasi dokter. Hal tersebut merupakan kewenangan kolegium kedokteran beserta perguruan tinggi.
“Saat ini, IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memonopoli segala urusan kedokteran dari hulu hingga hilir,” kata Laksono Trisnantoro, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, yang tampil sebagai saksi ahli dalam uji materi Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik kedokteran dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (14/6). Ia mewakili saksi pemohon Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Yoni Syukriani dan mantan Ketua Kolegium Dokter Indonesia Pandu Riono.
Menurut Laksono, kurikulum pendidikan kedokteran, standar kompetensi, dan materi ujian untuk menentukan kelulusan para sarjana kedokteran menjadi dokter hendaknya disusun oleh kolegium. Kolegium merupakan kumpulan dokter dan dosen yang ahli pada bidang-bidang tertentu. Mereka bekerja sama dengan fakultas kedokteran untuk membuat materi perkuliahan dan ujian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ahli lain, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia R Sjamsuhidajat menekankan, kolegium tak boleh berada di bawah pengaruh asosiasi profesi, seperti IDI. “Artinya, standar materi disusun secara independen yang mengacu pada bahan ajar serta standar kedokteran global,” ujar Sjamsuhidajat.
Menurut Pandu, dalam uji kompetensi, terdapat materi dari Asosiasi Institut Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) dan ujian oleh IDI. Ujian AIPKI dipermasalahkan karena banyak yang tidak lulus. Padahal, untuk mengambil pendidikan spesialis, universitas mewajibkan ada nilai AIPKI.
Saat ini, kolegium yang ada masih berada di bawah pengaruh IDI dalam pembentukan materi ujian dan standar kompetensinya. Padahal, idealnya organisasi profesi hanya mengurusi soal kesejahteraan anggota. Misalnya, menentukan tarif Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang adil untuk dokter, memastikan dokter mendapat perlindungan hukum yang layak, serta memudahkan dokter untuk memenuhi sarana dan prasarana kesehatan dalam berpraktik.
Laksono menekankan, hal ini tidak untuk mengerdilkan keberadaan IDI. Justru agar IDI fokus menjalankan tugas pelayanan terhadap anggota.
Sidang dihadiri hakim-hakim MK. Hakim Saldi Isra mengatakan, organisasi masyarakat yang memiliki kewenangan terlalu besar dan nyaris tanpa batas sangat rawan terjadi penyimpangan di dalam penerapan aturan. (DNE)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Juni 2017, di halaman 14 dengan judul “IDI Jangan Mengurusi Pendidikan”.