Perhatian ilmuwan terhadap kehidupan keanekaragaman hayati (biodiversity) kini memperlihatkan kepedulian yang semakin dalam. Pengidentifikasian terhadap berbagai jenis tumbuhan maupun hewan semakin banyak dilakukan. Meski demikian masih banyak kendala yang nampaknya menjadi hambatan cukup serius, di antaranya ketika identifikasi itu meliputi berbagai jenis biodiversity yang hidup untuk lingkup antar negara.
Sebagai misal masalah Flora malesian, jenis tumbuhan yang hidup di beberapa negara di Asia, seperti Indonesia, Malaysia, Brunai Darussalam, Filipina maupun Singapura. Bukan saja kendala koordinasi kalangan ilmuwan antarnegara yang dibutuhkan, tapi juga ketersediaan ilmuwan itu sendiri untuk menghasilkan waktunya dalam mengidentifikasi jenis tumbuhan yang berjumlah puluhan ribu jenis. Belum lagi bila menemukan jenis baru yang belum ada dalam daftar kategori yang telah direncanakan sebelumnya.
Kesulitan identitikasi tersebut, sempat tercuat dalam pertemuan Second Flora Malesiana Symposium yang diadakan di kampus UGM, 7 hingga 12 September lalu. Dalam pertemuan yang dihadiri para ilmuwan biologi dari 39 lembaga riset beberapa negara Asia Tenggara, Amerika Serikat, lnggris, Belanda, serta Australia itu tercetus pula kesepakatan untuk memperpendek penyusunan buku pegangan tentangi Flora malesiana dari 200 tahun menjadi 20 tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sulitnya melakukan identifikasi tersebut,, terlihat terutama dari banyaknya jenis biodiversity yang adi di kawasan Malesiana, lebih-lebih di seluruh muka bumi. Saat ini saja ada sekitar 1,4 juta spesies organisme biodiversity yang hidup di seluruh dunia. Jumlah ini terdiri dari 1,03 juta spesies hewan dan 248 ribu spesies tanaman. Namun jumlah ini diperkirakan masih terlalu sediikit karena masih banyak yang belum ditemukan maupun diidentifikasi oleh para pakar. Perbedaan dan kekhasan masing-masing jenis spesies dalam habitatnya, menyebabkan masih banyak celah lokasi geografis yang belum sempat dijamah dan diteliti.
Di Indonesia sendiri sebagai negara kepulauan tropika basah diperkirakan merupakan negara paling kaya yang memiliki spesies. Paling tidak 10 persen dari jenis makhluk hidup di dunia terdapat di negara kita. Kurang lebih 800 jenis hewan menyusui (20 persen dari yang ada di seluruh dunia), 1.300 jenis burung, 1.000 jenis amfibi, 2.500 jenis ikan, 6.500 jenis keong dan 250.000 jenis serangga ditemukan di Indonesia. Kekayaan fauna total mencakup sokitar 300 ribu jenis.
Obat-obatan
Begitu juga dengan keadaan floranya, saat ini tercatat sekitar 40.000 jenis tumbuhan, dan 30.000 jenis di antaranya ada di Indonesia. Di samping itu sebanyak 26 persen dari jumlah itu telah dibudidayakan dan lebih dari 940 jenis tumbuhan untuk obat-obatan tradisional yang 74 persen di antaranya hidup secara liar.
“Kemampuan peneliti untuk mengidentifikasi jenis tumbuhan setiap tahunnya diperkirakan hanya sekitar 50 jenis,” kata Dr. Mien A Rifai, ahli Botani dari LIPI.
Sedikitnya jenis flora yang bisa diidentitikasi tersebut lanjutnya, terutama karena para peneliti menggunakan pendekatan yang mendalam agar hasil identifikasinya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Apalagi kalau sewaktu melakukan identifikasi tersebut, ditemukan jenis baru yang memerlukan ketelitian lebih besar lagi.
Di samping itu, untuk menemukan orang yang bersedia menghabiskan waktunya bergumul dengan dunia tumbuhan juga cukup sulit. Untuk Indonesia sendiri saat ini tercatat baru ada 3 orang yang bersedia melakukan identifikasi flora, khususnya jenis Malesiana yang ada di Indonesia. Mereka di antaranya adalah Johannes Mogae dan Dr A Elizabeth Wijaya dari Herbarium Bogor. Beberapa jenis flora yang akan diteliti adalah palem serta anggrek. Padahal untuk dapat mengidentifikasi berbagai jenis flora itu, setidaknya dibutuhkan sekitar 700 ilmuwan yang berasal dari berbagai negara.
Upaya untuk melakukan identitikasi terhadap Flora malesiana sebenarnya telah mulai dilakukan sejak tahun 1948. Namun selama itu baru bisa dihasilkan 10 jilid buku dari 50 jilid yang direncanakan. Namun menurut Mien Rifai, dari simposium itu juga telah disepakati untuk memperpendek jatah waktu penyusunan buku pegangan tentang Flora malesiana dari 200 tahun menjadi 20 tahun. Sehingga dijadwalkan buku pegangan itu bisa selesai dikerjakan dan diterbitkan pada tahun 2012.
Upaya memperpendek waktu penyusunan buku pegangan guna pengembanga ilmu pengetahuan memang cukup mendesak. Belum lagi munculnya kekhawatiran terhadap kemungkinan punahnya berbagai jenis Flora malesiana yang belum sempat diidentifikasi.
Untuk kepunahan yang bersifat alami saja, menurut catatan WWF (World Wide Fund for Nature) tahun 1990, setiap 100 tahun terjadi degradasi terhadap 90 spesies. Juga terdapat 400 spesies dan subspesies burung dan mamalia telah punah dalam waktu 400 tahun terakhir dengan kecepatan yang semakin meningkat. Kalau pada abad 17, 1 spesies punah untuk tiap 5 tahun, maka pada abad 20 ini telah berubah menjadi dua tahun untuk kepunahan 1 spesies. Belum lagi kepunahannya terjadi secara massal akibat modernisasi.
Sedangkan IUCN mengestimasi secara sangat konservatif yaitu sampai tahun 2050 akan terjadi kepunahan lebih dari 60 ribu spesies tumbuhan. Jika tiap spesies tumbuhan mempengaruhi 10 hingga 30 spesies hewan, maka pada tahun 2050 nanti secara keseluruhan akan terjadi kepunahan 660 ribu hingga 860 ribu spesies. Jumlah ini menunjukkan 25 ribu kali lebih besar tingkat kepunahan yang diakibatkan ulah manusia dibandingkan dengan cara alami yang terjadi secara evolutif.
Data prediksi tentang kepunahan itu memang lebih menyangkut kehidupan biodiversitas seecara umum, baik tumbuhan maupun hewan. Namun dengan data itu, juga bisa diprediksi kemungkinan kepunahan yang menimpa jenis Flora malesiana.
”Oleh karena itu identitikasn terhadap berbagai jenis Flora malesiana semakin penting, khususnya untuk pengembangan ilmu pengetahuan,” kata Prof Ir Gembong Tjitrosoepomo, guru besar Biologi UGM. (Yus/037)
Sumber: tidak diketahui nama medianya sebagai sumbernya, 26 September 1992