Pendidikan Harus Membebaskan
Humanisme dalam pemikiran Romo YB Mangunwijaya selalu disertai religiositas. Tanpa religiositas tak mungkin humanisme bisa terefleksi dalam sikap dan tindakan manusia. Religiositas ini pula yang mendasari sikapnya dalam membuat karya sastra, karya arsitektur, dan pemikiran politiknya.
Demikian mengemuka dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Mangunwijaya, dalam rangkaian peringatan 15 tahun meninggalnya YB Mangunwijaya, di Hotel Santika Yogyakarta, Rabu (7/5). Pembicara dalam diskusi itu adalah filsuf A Sudiarja SJ, budayawan Bakdi Soemanto, aktivis lembaga swadaya masyarakat Binny Buchori, dan arsitek Erwinthon Napitupulu. Acara dipandu oleh penulis Bandung Mawardi.
A Sudiarja mengatakan, humanisme Mangunwijaya, yang akrab dipanggil Romo Mangun, diwarnai oleh sikap religiositas. Hal itu tak lepas dari status Romo Mangun sebagai imam Katolik. ”Namun, religiositas Romo Mangun tak bisa dikotakkan ke agama tertentu, tetapi lebih berupa kesadaran tentang hubungan manusia dengan Tuhan,” kata dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain itu, humanisme Romo Mangun juga diwarnai sikap nasionalisme terbuka. Sudiarja mengatakan, humanisme Mangunwijaya bukanlah konsep yang mengawang-awang, melainkan berakar pada kecintaan terhadap Indonesia. Kecintaan itu tak menghasilkan nasionalisme sempit yang menolak pengaruh budaya luar.
”Sikap dan pendirian humanis Romo Mangun masih relevan dengan masalah sekarang, termasuk dalam hal pendidikan,” kata dia.
Pendidikan multidimensi
Sudiarja menambahkan, Romo Mangun mencita-citakan pendidikan yang komprehensif dan multidimensi. Dalam versi Mangunwijaya, pendidikan haruslah membebaskan peserta didik dan menolak nilai-nilai lama yang tak lagi relevan. Hubungan guru-murid juga mesti diubah menjadi lebih cair dan penuh rasa kekeluargaan.
Dalam hal gerakan sosial, Binny Buchori menuturkan, sejumlah sikap Romo Mangun juga masih relevan untuk dijadikan landasan perjuangan. Saat membela masyarakat terpinggirkan di tepi Kali Code, Yogyakarta, misalnya, perjuangan Romo Mangun sangat terstruktur. ”Beliau, misalnya, sangat mementingkan jaringan, baik dengan sesama aktivis, media massa, maupun dengan penguasa,” kata dia.
Menurut Binny, Romo Mangun juga menekankan pentingnya analisis struktural dalam membela masyarakat kecil.
”Romo selalu berpesan agar perjuangan untuk rakyat kecil tidak hanya didasarkan pada rasa kasihan, tetapi juga berdasar pada analisis tentang kekuasaan dan modal yang menyebabkan penindasan terjadi,” ujar dia.
Bakdi Soemanto menyatakan, novel-novel Romo Mangun menggambarkan manusia sebagai sosok yang tak hitam-putih. Para tokoh dalam karya-karya itu dihadirkan sebagai sosok yang punya keberanian, tetapi terkadang ragu dalam mengambil sikap. ”Pandangan yang tak hitam-putih itu bisa memengaruhi pembaca agar terbebas dari stereotip tertentu tentang suku atau kelompok tertentu,” kata dia.
Erwinthon Napitupulu menyatakan, humanisme Romo Mangun juga tecermin dalam karya-karya arsitekturnya. Sebagai orang yang pernah belajar ilmu arsitektur secara formal, Romo Mangun memilih menggunakan arsitektur untuk kepentingan kemanusiaan.
”Karya-karya arsitektur Romo Mangun sering kali terkait aktivitasnya di bidang lain, seperti perjuangannya di Kali Code,” kata pria yang pernah meriset karya-karya arsitektur Mangunwijaya itu. (HRS/TOP)
Sumber: Kompas, 8 Mei 2014