Hujan Menandai Kemarau Basah akibat Menguatnya La Nina

- Editor

Jumat, 18 September 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Mendug tebal menggelayut di kawasan selatan Jakarta, sesaat sebelum hujan turun, Senin (23/12/2019). Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika atau BMKG memperkirakan sebagian besar wilayah Indonesia akan melewati perubahan cuaca ekstrem. Kondisi itu diprediksi berlangsung pada Desember 2019 hingga Januari 2020. Perubahan cuaca ekstrem ditengarai berlangsung pada siang hingga sore hari. Siklon phanfone di Samudera Pasifik, timur Filipina meningkatkan ekstremitas cuaca.

Kompas/Hendra A Setyawan (HAS)
23-12-2019

Mendug tebal menggelayut di kawasan selatan Jakarta, sesaat sebelum hujan turun, Senin (23/12/2019). Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika atau BMKG memperkirakan sebagian besar wilayah Indonesia akan melewati perubahan cuaca ekstrem. Kondisi itu diprediksi berlangsung pada Desember 2019 hingga Januari 2020. Perubahan cuaca ekstrem ditengarai berlangsung pada siang hingga sore hari. Siklon phanfone di Samudera Pasifik, timur Filipina meningkatkan ekstremitas cuaca. Kompas/Hendra A Setyawan (HAS) 23-12-2019

Hujan yang turun di Jakarta dan sekitarnya belum menjadi penanda berakhirnya kemarau atau datangnya musim hujan. Ini penanda kemarau basah serta penguatan fenomena La Nina.

Hujan yang melanda Jakarta dan sekitarnya beberapa hari terakhir dipicu munculnya suplai massa udara basah berlebih yang bersifat temporer. Ini juga menandai kemarau basah akibat menguatnya fenomena La Nina. Sekalipun hujan masih berpeluang terjadi dalam tiga hari ke depan, hal ini belum menandai datangnya musim hujan.

”Untuk Jakarta, saat ini sebenarnya belum masuk musim hujan. Prediksi awal musim hujan di Jakarta antara dasarian satu dan dasarian ketiga bulan Oktober,” kata Kepala Pusat Meteorologi Publik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Fachri Radjab.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menurut Fachri, hujan kali ini penyebab utamanya adalah faktor dinamika atmosfer temporer karena massa udara basah dan kondisi labilitas udara. ”Dalam tiga hari ke depan masih ada potensi hujan pada siang-malam hari, tetapi intensitasnya hanya ringan hingga sedang,” katanya.

Kepala Subbidang Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto mengatakan, dari sisi meteorologis, Jakarta masih ada di musim kemarau. ”Akumulasi curah hujan saat ini belum memenuhi syarat musim hujan. Dikatakan musim hujan jika curah akumulasi 30 hari lebih dari 150 milimeter dengan dominasi angin monsun Asia,” tuturnya.

Siswanto menambahkan, musim kemarau bukan berarti tidak ada hujan sama sekali. Hujan musim kemarau biasanya terjadi dalam waktu yang tidak lama dan tidak berlangsung terus-menerus atau berhari hari.

”Kecenderungan hujan di Jakarta kali ini, yang terjadi sore atau malam hari, adalah tipikal hujan konveksi, artinya ketika pemanasan cukup dan suplai uap air berlebih di permukaan,” ucapnya.

Menurut dia, suplai massa udara basah yang berlebih dapat dipengaruhi oleh faktor regional, di antaranya suhu muka laut yang hangat. Saat ini, suhu muka laut yang lebih hangat terpantau di perairan bagian utara Indonesia, sebelah barat Sumatera, dan perairan sekitar Jawa Barat-Lampung.

Ini akan menjadi suplai utama masa udara basah akibat proses penguapan yang lebih intens dibandingkan dengan wilayah perairan yang suhu muka lautnya lebih dingin. Faktor berikutnya, adanya pengumpulan masa udara basah di atas wilayah yang terjadi konvergensi angin secara lokal atau regional.

Keberadaan Siklon Tropis Noul di Laut China Selatan barat Filipina saat ini, selain menjadi penarik massa udara dan awan menuju pusat pusarannya, juga menciptakan sirkulasi angin yang lebih kuat, daerah belokan angin, dan konvergensi angin lokal di wilayah yang jauh dari pusat siklon tersebut. Ini dapat terpantau BMKG dari peta garis angin dan citra satelit awan-awan hujan.

”Sedang aktifnya gelombang atmosfer ekuator tropis MJO (Madden-Julian Oscillation) dan lainnya hingga sepekan ke depan di wilayah Indonesia, terutama bagian barat, tengah, dan utara dekat ekuator, juga menambah suplai uap air dan kondusif untuk pertumbuhan awan-awan besar,” paparnya.

Berbeda
Menurut Siswanto, sekalipun hujan kali ini temporer, ini juga menandai perbedaan karakter musim kemarau kali ini dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Analisis menunjukkan beberapa wilayah akumulasi hujan bulanan selama kemarau ini memang di atas normalnya, artinya lebih banyak dari musim kemarau pada umumnya.

Menurut Siswanto, saat ini terdapat peluang terjadi fenomena La Nina, yaitu mendinginnya suhu muka laut Samudra Pasifik ekuator bagian tengah dan menghangatnya suhu muka laut perairan Indonesia yang disertai fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) negatif. Fenomena IDO negatif ditandai dengan suhu muka laut di perairan barat Sumatera lebih hangat dibandingkan dengan suhu muka laut Samudra Hindia timur Afrika.

”Kejadian La Nina dan IOD negatif ini sama-sama menambah suplai massa uap air di wilayah Indonesia sehingga lebih kondusif untuk pertumbuhan awan-awan hujan meskipun nanti respons tiap wilayah akan berbeda-beda, sesuai dengan perkembangan dinamika cuacanya,” ujarnya menerangkan.

Selain Jakarta, beberapa daerah lain yang terpantau terjadi hujan di musim kemarau ini di antaranya sebagian besar Jawa dan Sumatera bagian selatan. ”Terpantau hujan musim kemarau kali ini lebih sering dari biasanya terjadi di wilayah Indonesia bagian barat,” ucapnya.

Meski demikian, beberapa wilayah juga masih terpantau mengalami musim kemarau berkepanjangan, bahkan ada wilayah yang masih tidak turun hujan lebih dari tiga bulan, dua bulan, dan sebulan. ”Ini umumnya berada di sebagian NTT, NTB, Bali, Jawa-Timur, Madura, DIY dan Jawa Tengah,” ujarnya.

Oleh AHMAD ARIF

Editor: ICHWAN SUSANTO

Sumber: Kompas, 18 September 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB