Hujan Masih Berpotensi Lebat

- Editor

Senin, 20 Juni 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Waspadai Banjir dan Longsor
Karena anomali cuaca dan iklim, hujan berintensitas sedang-lebat terjadi saat wilayah Indonesia umumnya musim kemarau. Wilayah di Pulau Jawa yang baru longsor atau banjir perlu waspada, mengingat hujan sedang sampai lebat berpeluang terjadi hingga Selasa (21/6).

Secara umum, hujan sedang sampai lebat dua hari ke depan berpotensi turun di Jawa, Kalimantan Barat, sebagian Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tengah. “Beberapa hari lalu, awan hujan terkonsentrasi di Sumatera, lalu bergerak ke timur,” ucap prakirawan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Eko Hadi Santoso, Minggu (19/6).

Karena itu, intensitas hujan di Sumatera kini tak lagi selebat pekan lalu karena hujan sedang sampai lebat “berpindah”, terutama ke area Jawa dan sebagian Kalimantan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kamis lalu, banjir terjadi di Sumatera Barat, yakni Kota Padang, Kabupaten Pariaman, dan Kabupaten Agam. Hujan berintensitas ekstrem karena curah hujan di sekitar Padang mencapai 300 milimeter dalam 6-8 jam (sebagai perbandingan, nilai curah hujan setimbang antara penguapan dan hujan yang turun 150 mm per bulan).

Sementara hujan berintensitas lebat terjadi Sabtu (18/6), terutama di Jawa. Dalam siaran pers, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho menyebut, sementara ini 35 orang meninggal, 25 orang hilang, dan 14 orang terluka akibat banjir dan longsor di 16 daerah di Jawa Tengah karena hujan turun sejak Sabtu siang hingga malam.

Intensitas naik
Meningkatnya intensitas hujan, antara lain, terkait fenomena interaksi atmosfer dan lautan di Samudra Hindia, dikenal sebagai Dipole Mode atau Indian Ocean Dipole (IOD). Eko menjelaskan, indeks IOD bernilai negatif saat ini, yakni -0,84 derajat celsius. Karena negatif, suhu muka laut Samudra Hindia bagian barat (perairan timur Afrika) lebih dingin daripada di bagian timur (sebelah barat Sumatera).

Kondisi itu membuat massa udara mengalir kuat dari Samudra Hindia ke wilayah Indonesia bagian barat. Karena bersifat basah, aliran itu memperbesar potensi hujan dengan dampak menambah uap air di Sumatera Selatan dan Jawa Barat.

Faktor lain pemicu kenaikan intensitas hujan adalah aliran angin timuran (monsun Australia) yang bersifat dingin dan kering melemah. Normalnya, angin timuran dominan hingga Sumatera sehingga menekan potensi hujan dan jadi penanda musim kemarau. “Penyebabnya dalam kajian, kemungkinan melemah karena kalah kuat dengan aliran massa udara dari Samudra Hindia tadi,” ucap Eko.

Selain itu, ada anomali suhu muka laut di Indonesia. Musim kemarau ditandai mendinginnya suhu muka laut Indonesia umumnya, tapi kini suhu muka laut di sekitar Sumatera, Jawa, dan Kalimantan hangat sehingga menyediakan suplai uap air cukup untuk terbentuknya awan hujan. Biasanya, suhu muka laut saat kemarau 26-28 derajat celsius, kini 28-30 derajat celsius.

Menurut Eko, aliran massa udara basah dari Samudra Hindia karena nilai indeks IOD negatif intensif hingga sepekan ke depan, begitu juga hangatnya suhu muka laut perairan Indonesia. Namun, kondisi cuaca diperkirakan berangsur-angsur seperti musim kemarau normal sepekan ke depan, yakni setelah 21 Juni.

Menurut Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG Nurhayati, cuaca Indonesia saat ini juga terpengaruh fenomena Osilasi Madden-Julian (MJO) yang juga membuat massa udara basah mengalir dari Samudra Hindia. Jadi, MJO aktif sejak pekan lalu, memicu banjir di Kota Padang, Sumatera Selatan, dan Jawa bagian barat, termasuk Jakarta.

“Curah hujan tinggi di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) adalah dampak MJO, ditambah belokan angin di selatan Jawa,” kata Nurhayati. Pengaruh MJO akan menguat empat hari ke depan.

Hujan merata berpotensi terjadi pada kemarau tahun ini, mengingat BMKG memprediksinya sebagai kemarau basah, yakni curah hujan per bulan pada Juni- September bakal lebih tinggi, tapi belum pada taraf musim hujan. Faktor penyebab selain IOD negatif dan MJO yang sedang berlangsung yakni La Nina, yang diperkirakan muncul pada Juli-September. (JOG)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Juni 2016, di halaman 13 dengan judul “Hujan Masih Berpotensi Lebat”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 5 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB