Setelah sekitar dua bulan tidak merasakan guyuran hujan, warga di sejumlah wilayah di Jakarta dan sekitarnya mendapat hujan yang berlangsung singkat, Jumat (31/7) malam. Dari pantauan, hujan yang signifikan sebenarnya turun di daerah Bogor, Jawa Barat, dan bersifat lokal atau hanya mencakup wilayah yang sempit. Hujan tersebut merupakan kejadian yang sangat jarang di tengah musim kemarau ini.
“Hujan bersifat lokal karena pantauan kami menunjukkan tidak ada faktor-faktor regional,” kata Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Edvin Aldrian, Sabtu (1/8).
Edwin tidak melihat fenomena Madden-Julian Oscillation (MJO) sebagai salah satu faktor regional menjadi penyebab hujan. MJO merupakan variabilitas atau fluktuasi di daerah iklim tropis berupa pergerakan di sekitar ekuator yang berlangsung pendek, dengan siklus sekitar 30-60 hari sekali.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menilai, hujan skala lokal itu dipengaruhi oleh faktor orografis, yakni karena adanya daerah Gunung Gede-Pangrango dan Gunung Salak di Jawa Barat. Selama musim kemarau ini, berembus angin muson dari Australia menuju Asia. Angin ini menuju daerah gunung-gunung tersebut, menyebabkan angin bergerak ke atas sehingga kemudian menjadi dingin.
Setelah melewati gunung, angin tersebut turun di daerah Bogor dan bertemu dengan angin laut yang bersifat panas sehingga memicu hujan deras. “Bahkan, ada laporan kejadian puting beliung yang memang bisa terjadi karena pertemuan angin dingin dan angin panas,” tutur Edvin.
Berdasarkan pantauan di pos pengamatan cuaca, curah hujan mencapai 93 milimeter di Dramaga, Bogor, dalam beberapa jam setelah hujan turun. Jumlah curah hujan ini tergolong besar mengingat curah hujan yang setimbang dengan air yang menguap diasumsikan sebesar 150 mm per bulan. Curah hujan juga terpantau di tempat lain, yaitu di Depok sebanyak 10 mm dan di Citayam 5 mm.
Sementara itu, walaupun warga Jakarta juga menikmati hujan, jumlah curah hujan tidak sesignifikan di Bogor. Menurut Edvin, intensitas hujan terlalu kecil sehingga tidak tercatat di pos pengamatan, antara lain yang ada Bandara Halim Perdanakusuma, Tanjung Priok, Kemayoran, Pondok Betung, serta di Bandara Soekarno-Hatta. Berdasarkan pantauan satelit, sel awan besar memang berada di wilayah Bogor.
Edvin menambahkan, meskipun hanya sebentar, hujan tersebut setidaknya menambah stok air di Bogor yang merupakan sumber air bagi daerah lain, termasuk Jakarta. Apalagi, Bendung Katulampa beberapa hari ini kering.
Meski demikian, kejadian hujan tersebut tidak bisa diandalkan karena merupakan dinamika cuaca yang sangat langka selama musim kemarau. “Kejadian puting beliung biasanya terjadi selama masa peralihan musim atau pancaroba,” ujar Edvin.
Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG Mulyono Rahadi Prabowo menuturkan, secara nasional, peluang hujan masih ada di beberapa daerah. Salah satunya, karena pengaruh topografi berupa pegunungan di beberapa tempat. Kondisi tersebut bisa memicu hujan orografis atau hujan pegunungan.
Hujan juga bisa dipengaruhi oleh angin muson Australia yang membawa massa uap air. Faktor ini berpengaruh bagi wilayah Sumatera, terutama di bagian utara.
Sementara itu, pakar geodinamika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Wahjoe Hantoro, berpendapat, potensi dampak kekeringan separah tahun 1997 masih belum terlihat bakal terulang tahun ini akibat berlangsungnya El Nino. Sebab, suhu di kawasan Indonesia dan Samudra Hindia masih relatif hangat. “Hingga Jumat (31/7), pantauan suhu muka laut hanya menandai anomali suhu gejala El Nino di Samudra Pasifik,” katanya.
Yuni Ikawati dan J Galuh Bimantara
Sumber: Kompas Siang | 1 Agustus 2015