Realisasi Komitmen Mitigasi Bencana Rendah
Tingkat risiko bencana hidrometeorologi di Pulau Jawa terus meningkat. Selain faktor kepadatan penduduk dan model pembangunan yang abai terhadap daya dukung lingkungan, hal ini juga disebabkan kenaikan frekuensi hujan ekstrem.
Guru Besar Hidrologi Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sudibyakto, saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (24/6), menyebutkan, meski tak ada perubahan signifikan curah hujan tahunan dalam 30 tahun terakhir, terjadi pergeseran pola hujan di Pulau Jawa.
Curah hujan musim hujan makin rendah, sedangkan curah hujan musim kemarau cenderung meningkat. Selain itu, tren terjadi hujan ekstrem di Jawa dengan curah hujan di atas 200 milimeter per hari mencapai 70 persen. “Sebelumnya, tren hujan ekstrem kurang dari 40 persen,” ujarnya menegaskan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hujan yang terjadi pada pertengahan Juni 2016 sehingga memicu banjir dan longsor di sejumlah daerah di Jawa Tengah ini merupakan contoh perubahan pola cuaca itu. Padahal, pada pertengahan Juni, biasanya di Jawa memasuki kemarau. Ke depan, fenomena tersebut diperkirakan kian sering terjadi.
Hujan merata berpotensi terjadi pada kemarau tahun ini. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksinya sebagai kemarau basah, yakni curah hujan per bulan pada Juni-September bakal lebih tinggi, tapi belum taraf musim hujan (Kompas, 20/6).
Untuk menghadapi perubahan pola cuaca ini, menurut Sudibyakto, perlu perubahan pendekatan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). “Selama ini, DAS hanya sering dilihat sebagai kawasan di kanan-kiri sungai. Padahal, ini juga meliputi daerah tangkapan air hujan,” ujarnya.
Setiap DAS di Jawa, lanjut Sudibyakto, memiliki karakteristik lokal berbeda yang dipengaruhi morfologi penggunaan lahan, pola hujan, dan masyarakatnya. “Perlu riset-riset guna memahami karakteristik setiap daerah itu untuk kemudian diimplementasikan dalam kebijakan,” ujarnya.
Dalam pengurangan risiko bencana, pada prinsipnya, harus ada keseimbangan antara proses eksploitasi dan konservasi. Jika tak seimbang, akan terjadi defisit daya dukung alam sehingga tingkat risiko bertambah. Masalahnya, selama ini kebijakan pembangunan, pusat dan daerah, hanya untuk mengeksploitasi sumber daya alam.
Komitmen daerah
Terkait dengan pengurangan risiko bencana, menurut Direktur Pengurangan Risiko Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Lilik Kurniawan, pemerintah kabupaten, kota, dan provinsi di Jawa Tengah telah menandatangani komitmen untuk menjadikan wilayah mereka tangguh terhadap bencana. “Penandatanganan komitmen ini dilakukan tahun lalu. Gubernur Jawa Tengah juga ikut,” ujarnya.
Menurut Lilik, ada 71 indikator ketangguhan yang diajukan BNPB dan telah disetujui pemerintah daerah di Jawa Tengah. “Sekitar 90 persen di antaranya terkait pengurangan risiko bencana, termasuk menerapkan tata ruang berbasis risiko,” ujar Lilik.
Namun, komitmen itu masih di atas kertas dan minim implementasi. “Begitu dihadapkan pada kepentingan mendapatkan PAD (pendapatan asli daerah), ada kecenderungan komitmen itu diabaikan. Kebanyakan masih memikirkan keuntungan jangka pendek untuk meningkatkan pendapatan daerah dan mengabaikan aspek risiko,” ucapnya.
Jawa Tengah sebenarnya punya peta risiko bencana meski skalanya masih 1 : 250.000. “Untuk tingkat kabupaten atau kota, belum semuanya punya. Khusus untuk peta longsor, sudah disediakan PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi). Tantangan saat ini, bagaimana implementasinya di lapangan,” kata Lilik.
Sebagaimana diberitakan, Jawa termasuk pulau paling rentan terdampak bencana di Indonesia. Secara nasional, menurut BNPB, dalam kurun waktu 2002-2016, 52 persen kejadian bencana di Indonesia terjadi di Jawa. Di sisi lain, Jawa terus mengizinkan investasi bidang industri ekstraksi, yang menyebabkan daya dukung lingkungan pulau ini merosot.
Kajian yang dilakukan sejumlah ahli dari IPB dan Universitas Indonesia atas permintaan Menteri Koordinator Perekonomian tahun 2007-2008 telah merekomendasikan penghentian industri ekstraktif di Jawa. Alasannya, daya dukung lingkungan di Jawa sudah rusak. Itu dilatarbelakangi kerap terjadi banjir di Jawa.(AIK)
———
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Juni 2016, di halaman 14 dengan judul “Hujan Ekstrem Makin Sering”.