Apa yang terlintas di benak orangtua saat mendengar kata gim dan anak?” kata Aranggi Soemardjan, CEO & Founder Clevio.co, saat memulai diskusi bertajuk “Bermain adalah Belajar, Bukan Bermain Sambil Belajar”, Sabtu (15/10), di Gedung Kompas, Jakarta. Hal itu ditanyakannya di hadapan para orangtua yang tengah menunggu anak mereka mengikuti pelatihan bahasa pemrograman komputer (coding).
Pertanyaan Aranggi langsung disambut berbagai jawaban dari orangtua. Inti dari jawaban-jawaban itu ialah gara-gara gim, anak sulit diatur dan tidak mau berhenti bermain.
Salah satu orangtua, Anita (42), mengatakan, tak kurang dari lima jam per hari anaknya, Rizal, bermain gim di laptop dan gawai. Kesibukan Anita bekerja di sebuah bank di Jakarta membuatnya jarang memantau perkembangan gim yang dimainkan oleh anaknya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Keluhan serupa disampaikan Ani (41) yang kini mengarahkan kecanduan anaknya, Adil (11), terhadap gim pada kegiatan membuat gim. Saat ditemui di sela-sela Lomba Cipta Game “Organic Farming” di Gedung Kompas, Minggu (16/10), ia mengatakan, semula dirinya mengizinkan anaknya bermain gim untuk mengurangi obsesi Adil yang besar terhadap air. Anaknya yang duduk di kelas V SD itu menderita obsessive compulsive disorder (OCD) sejak kelas II SD.
“Awalnya saya memberlakukan sistem hadiah dan hukuman. Kalau anak mandi dalam waktu 30 menit, saya izinkan bermain gim karena biasanya dia mandi lebih dari satu jam dan berulang kali dalam sehari,” ujar Ani.
Sudah dua tahun Adil mengalami ketergantungan dengan gim. Setiap hari, berjam-jam Adil bermain gim di laptop dan gawai pemberian ayahnya.
Gim juga bisa dimainkan di tempat penyewaan. Di beberapa tempat penyewaan game online di Jakarta, mayoritas mereka yang datang ialah anak sekolah. Alwi (13) mengaku setidaknya dua kali bermain gim selama seminggu. “Orangtua tidak tahu kalau saya bermain game online,” katanya.
Terasah
Kegandrungan anak pada gim, menurut Aranggi, bukan hal yang harus dihindari. Jika anak-anak senang dengan gim, orangtua perlu mengarahkan minat tersebut pada hal positif, misalnya, mengajak anak membuat gim.
Aktivitas membuat gim dinilai membuat kecerdasan anak terasah karena anak diajak bermain logika. Cara ini sekaligus membuat anak terhindar dari gim kekerasan yang berdampak negatif. “Para orangtua harus mengetahui seluk beluk gim yang dimainkan anak-anak. Jangan sampai gara-gara gim, kekerasan dan pornografi menjadi hal yang biasa bagi anak-anak,” ujar Aranggi.
Menurut dia, ada efek dopamine dalam diri manusia yang memberikan dorongan dan motivasi sehingga membuat orang merasa ketagihan. Setelah berhasil melakukan sesuatu, anak juga akan merasa puas dan mengingatnya. Saat itu, muncul rasa ketagihan atau dorongan untuk mengulanginya.
“Hal yang negatif juga bisa membuat ketagihan karena efek dopamine. Yang perlu diperhatikan adalah apa yang dilakukan. Jangan sampai anak melakukan hal negatif dan selalu ingin mengulanginya,” tutur Aranggi.
Dalam kesempatan terpisah, psikolog keluarga Anna Surti Ariani menuturkan, gim memberikan anak tantangan sehingga mereka tertarik dan sulit berhenti. Di dunia gim, anak merasa berkuasa karena bisa berbuat segala sesuatu seperti yang dikehendakinya tanpa ada orang yang melarangnya.
Menurut Anna, idealnya, anak berusia lebih dari enam tahun bermain gim maksimal 2 jam per hari, sedangkan anak berusia 2-5 tahun bermain gim satu jam setiap harinya. Anak berusia kurang dari dua tahun tidak diperbolehkan sama sekali untuk bermain gim. Jika anak bermain gim lebih dari waktu tersebut dan mengarah kepada kecanduan, gim menjadi berbahaya bagi masa depannya. “Kecanduan gim membuat anak kesulitan mengontrol emosi dan mudah marah,” kata Anna.
Melarang anak bermain gim, menurut dia, bukan solusi karena anak lahir di era teknologi. Namun, anak perlu diajak untuk mengatur waktu yang seimbang antara bermain gim dan kehidupan sosial. (C09)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Oktober 2016, di halaman 12 dengan judul “Hindarkan Anak dari Kecanduan pada Gim”.