Hasil riset bisa disebut sebagai inovasi jika temuan atau invensi tersebut berhasil dikomersialisasi. Proses hilir ini yang masih menjadi tantangan di Indonesia.
Kelahiran sejumlah produk inovasi selama masa pandemi diapresiasi banyak pihak. Di tengah keterbatasan, bangsa Indonesia masih mampu menghasilkan karya-karya yang berguna untuk masyarakat dan dunia. Namun, hilirisasi produk tersebut masih menjadi tantangan.
Ketua Dewan Riset Nasional Bambang Setiadi, Senin (29/6/2020), mengingatkan sebuah hasil riset bisa disebut sebagai inovasi jika temuan atau invensi tersebut berhasil dikomersialisasi. Agar inovasi itu terwujud, tidak hanya dibutuhkan peran peneliti saja, namun juga pemerintah dan industri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Karena itu, proses produksi massal dan pemasaran karya-karya inovasi tersebut perlu segera disiapkan. Pemerintah dan industri dituntut berperan lebih besar dan bekerja dengan target yang jelas hingga sebagian besar temuan tersebut bisa dikomersialisasi. Demikian pula peneliti agar karya mereka bisa diproduksi dalam skala industri.
Beberapa diantara invensi tersebut sudah diproduksi, namun masih dalam jumlah kecil, belum masif. Kalaupun sudah diproduksi massal, maka pemasarannya juga butuh dukungan dan keberpihakan agar bisa bersaing dengan produk impor serupa yang kini mulai beradaptasi dengan situasi pandemi.
“Inovasi adalah sumber daya ekonomi masa depan,” tegas Bambang. Inovasi bisa digunakan sebagai pendorong ekonomi saat sumber daya alam habis atau untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya alam yang ada.
Selain kendala hilir, pada hulu yaitu pendanaan untuk riset dan inovasi di tanah air, pun kerap terkendala. Namun, di masa kedaruratan pandemi Covid-19 ini, kesamaan tujuan untuk mempercepat penanggulan membuat kendala tersebut terkikis..
Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri Handoko, Jumat lalu, mengatakan, anggaran kerap menjadi kendala sejumlah lembaga penelitian untuk melakukan riset dan inovasi. Di masa Covid-19 sekarang ini, anggaran riset turut “disesuaikan” dengan kebutuhan.
Ia mengatakan anggaran di luar penanganan Covid-19 yang sifatnya tidak mendesak, dicabut dan dialihkan untuk riset dengan tujuan penanganan Covid-19. Kebijakan ini, kata dia, juga tidak dipermasalahkan para peneliti.
“Kebijakan ini misalnya ada anggaran riset vaksin untuk hepatitis dialihkan menjadi riset vaksin untuk Covid-19. Kemudian ada anggaran riset radar dialihkan untuk riset image kondisi paru. Hal-hal ini justru yang menarik untuk riset,” ujarnya.
Handoko mengakui pandemi Covid-19 mengubah ekosistem penelitian. Kini kerjasama dan kolaborasi para periset dengan sejumlah pihak secara global maupun lokal menjadi relatif mudah. Perubahan ini khususnya terkait dengan riset di dunia kesehatan yang pada masa normal cenderung tertutup dan penuh kompetisi.
Dipermudah
Sekretaris Pusat Riset Bioteknologi Molekuler dan Informatika Universitas Padjajaran Muhammad Yusuf mengatakan pandemi Covid-19 menyadarkan berbagai pihak untuk memperhatikan dunia riset Indonesia, terutama yang berkaitan dengan penyakit dan kesehatan. Diantaranya terkait penyediaan an dana khusus dari Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan Kementerian Keuangan (LPDP).
Selain itu, kini perizinan penyediaan bahan baku terkait Covid-19 juga dipermudah untuk mempercepat penelitian. Kemudahan itu didapat dari rekomendasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
“Bisa dibilang saat pandemi ini koordinasi menjadi baik sekali. Semua pihak menawarkan bantuan agar kami bisa menyelesaikan riset dan dapat membantu Indonesia menghadapi pandemi,” ujarnya.
Saat tatap muka daring dengan Kompas, Senin (29/6/2020), Menteri Riset dan Teknologi/Kepala BRIN Bambang PS Brodjonegoro mengatakan pada masa Covid-19 ini kesenjangan antara kebutuhan industri/masyarakat dan penelitian mulai bisa didekatkan. Sejak awal pandemi, Maret 2020, pihaknya mempersiapkan Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 untuk menjaring, menyeleksi, dan membiayai usulan inovasi terkait penanggulangan Covid-19.
Pada tahap seleksi pendanaan hibah inovasi ini pihaknya melibatkan kalangan pelaku usaha sebagai penilai proposal. Sudut pandang industri ini memberi proyeksi potensi dan ekonomis usulan invensi.
Bambang mengatakan pemerintah tak sekadar membiayai riset tetapi juga membuka diri dalam pengadaan. Ia mencontohkan sejumlah hasil inovasi berupa ventilator, alat tes usap, dan laboratorium bergerak yang “dibeli” pemerintah untuk disebarkan ke sejumlah rumah sakit maupun daerah yang membutuhkan.
Pengadaan dalam jumlah besar tersebut bisa menurunkan harga produksi. Dampaknya diharapkan dapat memancing ketertarikan industri untuk memproduksinya secara massal.
Bambang mengatakan pihaknya pun mendorong penyerapan hasil inovasi dalam pengadaan pemerintah. Diantaranya berkoordinasi dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) untuk memasukkan secara khusus produk inovasi dalam katalog elektronik.
Dukungan hilirisasi lebih lanjut, lanjutnya, Kemenristek/BRIN sedang berdiskusi dengan Kementerian Perindustrian terkait perhitungan tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Bambang berharap TKDN tak hanya menghitung persentase material yang dihasilkan di Indonesia tetapi juga memasukkan unsur riset dan pengembangan. (MZW/TAN/RTG/MTK/ICH)
Oleh TIM KOMPAS
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 30 Juni 2020